Polimatik, Spesialisasi, dan Pertanian Desa

Oleh: Pinurba Parama Pratiyudha

Pengantar: Lahirnya Polimatik dalam Ilmu Pengetahuan

Sejarah bercerita bahwa sosok Plato dan Aristoteles menjadi salah satu akar dasar dari perkembangan ilmu filsafat modern, khususnya Filsafat Barat. Bagi kelompok ilmu sosial kedua sosok ini menjadi dasar fundamental dari berkembangnya ilmu dasar rasio berpikir, ilmu kenegaraan, dan kebenaran yang bekerja dalam masyarakat. Namun pada sisi lain, Plato dan Aristoteles juga menjadi peletak dasar dari filsafat ilmu pasti yang membangkitkan era Pencerahan Eropa 1,5 abad kemudian. Kedua sosok ini, khususnya Aristoteles, mengawali pemahaman-pemahaman dasar akan logika kausalitas, pemahaman dasar akan elemen kimiawi, hingga logika dasar dari berkembangnya ilmu fisika. Kontribusi-kontribusi luas tersebut yang kemudian menjadikan mereka disebut sebagai polymath atau polimatik.

Polimatik merupakan istilah yang disematkan kepada mereka yang memiliki konsen pada pengembangan ilmu pengetahuan yang meluas. Mereka yang disebut polimatik cenderung tidak berkutat pada satu ranah ilmu namun juga mengembangkan pemikiran-pemikiran kepada ranah ilmu lainnya. Selain Plato dan Aristoteles, sosok polimatik lainnya dapat kita temukan pada nama-nama besar seperti Ibn Sina, Leonardo da Vinci, Isaac Newton, Friederich Engels, hingga Albert Einsten. Sebut saja Ibn Sina, selain menjadi peletak dasar dalam berkembangnya ilmu medis beliau juga memiliki kontribusi dalam perkembangan ilmu astronomi dan sastra pada masa keemasan Filsafat Islam. Isaac Newton pun selain dipuja sebagai pencetus hukum gravitas dan fisika dasar, juga pada beberapa kesempatan sering menuliskan diktat-diktat teologi.

Era Pencerahan Eropa (Renaissance) menjadi era kejayaan lahirnya polimatik oleh karena munculnya pergerakan ilmu pengetahuan terkait kebebasan berpikir. Era ini menjadi awal berkembangnya ilmu pengetahuan dan metode-metode kajian yang kemudian membangun dasar pada era modern saat ini. Akan tetapi pada perkembangan waktu, ilmu pengetahuan yang semakin meluas menuntut sumber daya yang banyak dari para ilmuwan untuk berpikir. Tidak bisa lagi sebuah pengetahuan seperti pengetahuan medis dikembangkan seorang seperti Ibn Sina, pengetahuan sudah menjadi milik bersama dan harus digerakkan bersama pula. Pada proses inilah kemudian lahirnya spesialisasi fokus kajian dan menandai berakhirnya era polimatik.

Spesialisasi Ilmu Pengetahuan dan Perkembangannya

Munculnya ilmuwan-ilmuwan yang semakin terspesialisasi kemudian menuntut suatu pola kerja baru dalam tradisi berpikir. Permasalahan sosial yang semakin beragam pula menjadikan peran ilmu pengetahuan harus semakin meluas, sembari semakin terspesialisasi ruang bergeraknya. Hal inilah yang kemudian melahirkan pola kerja berpikir baru yang sering dimaknai dengan multidisipliner. Para ahli gizi, para ahli sosial, para ahli kesehatan dan para ahli kebijakan harus bekerja secara bersama dalam mengembangkan keilmuan yang menjawab persoalan stunting. Kerja-kerja pengetahuan dituntut kemudian harus melibatkan suatu kerja yang kolektif dalam menciptakan suatu pandangan yang luas akan suatu fenomena sehingga dapat melahirkan solusi yang komprehensif dan holistik.

Akan tetapi, idealisme kerja-kerja multidisipliner masih menemui banyak tantangan di dalam praktiknya. Penyatuan proses berpikir yang melibatkan berbagai kepala cukup memakan waktu dan energi oleh karena adanya perbedaan latar belakang berpikir masing-masing. Setiap ahli akhirnya membutuhkan waktu untuk memahami persepsi satu sama lain yang juga kadang kala menguras banyak energi. Hal ini kemudian menjadi sebuah penghambat ketika suatu masalah perlu untuk dijawab pada waktu yang singkat. Contoh sederhana ialah ketika Pandemi COVID-19 menjadi sebuah ruang perdebatan yang berkepanjangan antara ahli epidemiologi, ahli kesehatan, ahli politik, dan ahli ekonomi hanya untuk suatu saran akan kebijakan yang perlu diambil.

Tidak hanya perbedaan berpikir pada rumpun ilmu yang menjadi tantangan, seringkali ditemukan perbedaan ranting ilmu turut menghambat kerja kolektif di sesama rumpun ilmu. Dinamika berpikir demikian paling kentara pada rumpun ilmu sosio-humaniora seperti contoh perbedaan berpikir seorang antropolog dengan seorang sosiolog. Seorang antropolog cenderung akan menangkap fenomena secara grounded dan mengedepankan deskripsi ruang kajiannya. Hal ini berbeda dengan seorang sosiolog yang cenderung menggunakan basis teori sebagai kacamata konstruksi atas suatu fenomena. Perbedaan epistemologi ini kemudian menjadi suatu masalah ketika menyentuh ruang aksiologi. Cara pandang antropolog dalam merumuskan suatu aksiologi akan cenderung berangkat dari realita-realita yang sudah ada dengan melakukan intervensi berbasis kebiasaan. Berbeda dengan seorang sosiolog yang cenderung bertolak dari asumsi solusi dari sintesis teori dan temuan dalam membangun aksiologi.

Dalam konteks ilmu sosial perbedaan cara berpikir ini semakin runyam ketika sudah memasuki ruang ideologi pemikiran. Seorang ahli ilmu sosial yang mendedikasikan diri pada pemikiran kapitalisme akan cenderung berdebat dengan ahli sosial marxisme dalam merumuskan solusi kemiskinan. Pada tujuan perkembangan ilmu perdebatan semacam ini penting dan diperlukan, namun pada konteks untuk penciptaan aksiologi dinamika tersebut menjadi suatu tantangan yang kadang kala menghambat lahirnya solusi yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini akan semakin menjadi parah kerunyamannya ketika dalil paradigma tersebut sudah dijadikan sebagai ideologi personal sehingga akan bertambah susah untuk mencapai mufakat. Fenomena-fenomena seperti ini yang menciptakan konotasi negatif akan makna menara gading.

Belajar Menjadi Polimatik dari Pertanian Desa

Jauh dari perdebatan rumit kaum intelektual di gedung-gedung akademik sana, terlembagakan suatu laku sosial yang sederhana namun hidup dalam keseharian para petani di desa. Bilamana kita diam sejenak dalam debat dan meluncur jauh ke pelosok desa masih akan kita temukan para pembelajar kehidupan yang tidak mengenal batasan-batasan fakultatif dalam berpikir. Para petani desa – sedari dahulu kala – mengembangkan pola pengetahuan yang tidak hanya berputar pada persoalan pertanian, akan tetapi mereka juga mengembangkan pengetahuan akan membaca situasi alam, membaca pola hujan, hingga mentranslasikan pertanian dalam kearifan sosial mereka. Berkembangnya, pengetahuan pertanian keseharian mereka turut membangun suatu kearifan dalam tata pemerintahan yang pada masyarakat Jawa dicontohkan sebagai: desa mawa cara, negara, mawa tata.

Praktik-praktik polimatik tersebut tidak hanya lestari sebagai suatu kearifan lokal pun juga berkembang sebagai pola para petani untuk bertahan hidup. Pada era modern saat ini bisa kita lihat bagaimana kesadaran bertani yang semakin terjepit oleh berbagai krisis menuntut secara naluriah para petani untuk berkembang di luar jalur berpikir dasar mereka. Sebut saja seperti adanya praktik integrated farming yang tidak membatasi pertanian hanya sekedar perkara menanam, pemahaman soal penjualan hasil bumi melalui media modern, hingga praktik rekayasa pertanian atas perubahan iklim. Hal ini semua menjadi contoh dari adanya dinamika berpikir pertanian yang sebenarnya holistik dan berkembang.

Akan terlepas dari contoh-contoh tersebut perlu kita perhatikan pula bahwa proses pembelajaran hidup dalam pertanian masih belum menjadi polimatik yang paripurna. Kesadaran-kesadaran para petani dalam ‘pengembangan diri’ mereka tidak lepas pula dari kondisi keterhimpitan atas situasi yang tidak berkeadilan. Pembelajaran atas integreated farming semisal, banyak berangkat dari tuntutan perubahan alam dibarengi dengan ketergantungan yang tidak berkeadilan atas sumberdaya pertanian (e.g. pupuk, bibit, vitamin tanaman). Sehingga dapat dikatakan pola pikir polimatik tersebut ‘lestari’ di era modern oleh karena ‘the power of kepepet’.

Praktik polimatik ini juga menjadi lemah ketika jarak antara intelektual dengan realitas masyarakat semakin jauh. Tugas tidak tertulis dari para intelektual di Indonesia – mengutip dari Muhammad Hatta – ialah berkontribusi pada pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Secara lebih detail tugas ini berkaitan dengan membangun suatu kajian yang memvalidasi ataupun meluruskan praktik-praktik kemasyarakatan yang muncul. Hal ini juga sebenarnya selaras dengan konteks paradigma ilmu pengetahuan yang berangkat dari pemahaman atas berkembangnya realitas atau amatan yang tampak. Ketika para intelektual cenderung ‘beronani’ dengan ilmu mereka dibalik gedung-gedung akademik, di sinilah secara mendasar mereka juga menyangkal hakikat berkembangnya ilmu yang selalu berangkat dari amatan atas realitas.

Penutup: Sebuah Manifesto Menuju Diskusi Polimatik

Mempertemukan kembali para intelektual dengan realitas, khususnya realitas pertanian, menjadi suatu panggilan penting yang perlu dilakukan. Fenomena spesialisasi pengetahuan dan fragmentasi pemikiran telah menjadikan para intelektual kita terjebak dalam kerja-kerja akademis yang semu. Ilmu pengetahuan hanyalah menjadi hal yang ajeg ketika hanya berhenti pada penerbitan jurnal-jurnal ilmiah tanpa adanya artikulasi keterdampakan yang nyata. Pembelajaran kembali atas realitas secara langsung pula akan membuka sekat-sekat keras perdebatan tidak selesai hanya oleh karena spesialisasi ilmu dan paradigma berpikir.

Perihal spesialisasi atau perbedaan pola berpikir tidaklah perlu diperdebatkan pula karena kembali lagi, sangat berat pula kita melahirkan polimatik seperti era Pencerahan Eropa ketika ilmu semakin meluas dan berkembang. Selain itu perdebatan pemikiran dan dalil ilmu juga masih perlu dilanjutkan di dalam dunia akademik, oleh karena hal tersebut juga menjadi esensi dari lahirnya dunia tersebut. Namun dalam ranah aksiologi perdebatan ini janganlah kemudian menjadi penghambat secara common sense dalam menghadirkan upaya-upaya untuk menjawab suatu permasalahan. Kebijaksanaan intelektual perlu ditekankan kembali dalam praktik nyata sebagai cara bagaimana ilmu-ilmu yang dikembangkan dalam publikasi ilmiah bisa disesuaikan dengan tepat pada realitas.

Dengan dibangunnya ruang pertemuan antara intelektual dan para petani juga memberi kesempatan pada berkembangnya ilmu pengetahuan. Semakin dekat para pemikir atas realitas, maka semakin luas pula kekayaan perspektif berpikir yang berkembang. Adanya dinamika ini pula kemudian dapat mendorong pada pemahaman keilmuan yang tidak hanya kemudian dimonopoli oleh para intelektual namun juga menjadi milik para petani (dan masyarakat lainnya). Inilah yang kemudian melahirkan suatu diskursus baru juga bagaimana polimatik bukan sebagai suatu identitas kerja yang personal namun sebagai suatu identitas kerja yang kolektif antara intelektual dan masyarakat.

Pinurba Parama Pratiyudha, S.Sos., M.A.
Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fisipol, UGM

One thought on “Polimatik, Spesialisasi, dan Pertanian Desa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *