sumber ilustrasi: unsplash
30 Apr 2025 10.00 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Desanomia [30.4.2025] Di tengah meningkatnya ancaman perubahan iklim global, ilmuwan dan praktisi pertanian mulai menyoroti kembali peran krusial tanah sebagai penyimpan karbon yang selama ini diabaikan. Salah satu yang menekuni bidang ini secara serius adalah Annalisa Stevenson, mahasiswa doktoral dari University of Wisconsin–Madison, yang meyakini bahwa tanah adalah fondasi kehidupan dan dapat menjadi alat strategis dalam mitigasi perubahan iklim.
Tanah tidak hanya menjadi tempat tumbuh tanaman, tetapi juga bagian penting dari siklus karbon. Melalui fotosintesis, tanaman menyerap karbon dioksida (CO₂) dari atmosfer, dan ketika organisme mati dan terurai, karbon dapat kembali ke udara dalam bentuk CO₂ atau metana (CH₄), dua gas rumah kaca utama. Namun, tanah memiliki kapasitas alami untuk menyimpan karbon dalam jumlah besar, bahkan dua kali lebih banyak dari gabungan karbon yang terdapat di atmosfer dan seluruh tumbuhan hidup.
Masalah muncul ketika aktivitas manusia, seperti pembajakan tanah dan penggundulan hutan, mempercepat pelepasan karbon ke udara. Hal ini tidak hanya merusak kesehatan tanah tetapi juga memperburuk krisis iklim. Para peneliti mencatat bahwa sebagian besar tanah pertanian saat ini hanya menyimpan 50 hingga 70 persen dari karbon yang dahulu ada ketika lahan masih berupa ekosistem alami. Oleh karena itu, upaya mengembalikan karbon ke dalam tanah menjadi sangat mendesak.
Petani seperti Mitchell Hora dari Iowa telah memulai langkah konkret melalui praktik pertanian regeneratif. Ia menerapkan sistem tanpa bajak, menanam tanaman penutup, melakukan rotasi tanaman, serta melibatkan ternak dalam sistem tanam. Menurut pengalamannya, tanah yang dikelola secara regeneratif tidak hanya lebih subur dan produktif, tetapi juga lebih tangguh terhadap cuaca ekstrem dan lebih hemat dalam penggunaan pupuk.
Praktik tanpa bajak yang diterapkan sejak tahun 1978 oleh keluarga Hora awalnya bertujuan menghemat biaya, namun lambat laun terbukti memiliki dampak ekologi yang signifikan. Dengan tetap menjaga tanaman penutup dan menghindari pengolahan tanah secara berlebihan, mereka berhasil mempertahankan struktur tanah dan mencegah erosi. Saat ini, sebagian ladang yang mereka kelola bahkan menunjukkan hasil negatif dalam skor intensitas karbon, menandakan bahwa lahan tersebut menyerap lebih banyak karbon daripada yang dilepaskan.
Namun, tidak semua hasil eksperimen menunjukkan keberhasilan yang sama. Penelitian selama 20 tahun oleh Wenjuan Huang di Iowa State University menemukan bahwa meskipun ladang-ladang uji coba menerima tambahan karbon dari tanaman penutup dan pupuk kandang, kandungan karbon dalam tanah tidak meningkat secara signifikan. Hal ini disebabkan karena aktivitas mikroba justru meningkat, menyebabkan karbon cepat terurai dan kembali ke atmosfer. Namun demikian, penelitiannya juga menunjukkan bahwa nitrogen yang dilepaskan dari proses ini justru mendukung pertumbuhan tanaman secara alami, mengurangi ketergantungan pada pupuk sintetis.
Pendekatan lain ditunjukkan oleh Annalisa Stevenson yang membandingkan kandungan karbon di tanah pertanian, hutan yang tak pernah digarap, dan hutan yang sebelumnya merupakan lahan pertanian. Hasilnya menunjukkan bahwa tanah yang tidak pernah digarap memiliki kandungan karbon tertinggi, terutama karena keberadaan partikel tanah liat yang mampu melindungi materi organik dari penguraian mikroba. Hal ini mengindikasikan bahwa pemulihan tanah bisa memakan waktu puluhan hingga ratusan tahun.
Upaya inovatif juga dilakukan oleh peternakan Spruce Haven di New York yang mengolah kotoran sapi menjadi biochar, bahan seperti arang yang kaya karbon dan tahan lama. Biochar ini mampu meningkatkan kesuburan tanah dan berfungsi sebagai penyimpan karbon jangka panjang, serupa dengan peran tanah liat dalam melindungi materi organik dari degradasi. Inisiatif ini menunjukkan bagaimana limbah pertanian dapat diubah menjadi aset lingkungan melalui teknologi sederhana namun efektif.
Meskipun pendekatan seperti pertanian regeneratif, penggunaan biochar, dan pengelolaan mikroba tanah menjanjikan hasil yang menggembirakan, para ilmuwan tetap mengingatkan bahwa sistem tanah sangat kompleks dan belum sepenuhnya dipahami. Simulasi komputer yang digunakan untuk mengukur intensitas karbon masih memiliki keterbatasan, dan respons tanah terhadap perlakuan tertentu tidak selalu dapat diprediksi.
Buah Pikiran
Dalam konteks krisis iklim yang semakin mendesak, pergeseran perhatian ke arah tanah sebagai sekutu dalam mitigasi perubahan iklim merupakan langkah yang tidak hanya penting, tetapi juga strategis. Tanah bukan sekadar medium fisik pertumbuhan tanaman, melainkan ekosistem dinamis yang menyimpan potensi luar biasa sebagai penyerap karbon. Namun demikian, pemanfaatannya tidak bisa bersifat simplistis. Pendekatan ilmiah yang komprehensif, disertai dengan kebijakan agrikultur berkelanjutan, menjadi fondasi yang perlu dibangun agar tanah benar-benar mampu memainkan perannya secara optimal dalam agenda iklim global.
Lebih jauh, penting untuk diperhatikan bahwa solusi berbasis tanah bukanlah pengganti dari kewajiban kita mengurangi emisi dari sumber utama seperti pembakaran bahan bakar fosil. Sebaliknya, pendekatan ini perlu dilihat sebagai pelengkap yang terintegrasi dalam kerangka transisi ekologi secara menyeluruh. Dengan menggabungkan pengetahuan ilmiah, kearifan petani lokal, serta komitmen politik yang kuat, tanah dapat menjadi medan strategis baru dalam perjuangan menuju masa depan yang lebih stabil secara ekologis dan berkelanjutan secara sosial. (NJD)
Sumber: ScienceNewsExplores
Link: https://www.snexplores.org/article/farm-soil-carbon-climate-superhero