Produksi Pengetahuan dan Reproduksi Sosial

Sumber ilustrasi: Dokumentasi Pribadi

Oleh: Pinurba Parama Pratiyudha, S.Sos., M.A.
Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fisipol, Universitas Gadjah Mada
25 Oktober 2025 13.20 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Tulisan ini adalah respons telat atas tulisan Desanomia dengan judul Refleksi Pendidikan Kita. Dalam salah satu bagian dalam tulisan tersebut tersebutlah:

“…Ketika pendidikan menjadi sekadar sarana menuju kerja, maka manusia diubah menjadi alat produksi. Keberadaan subyek dikerdilkan menjadi nilai tukar. Pendidikan kehilangan perannya sebagai penjaga ruang batin, pelindung kebebasan berpikir, dan penjembatan antara manusia dengan realitas. Yang tersisa adalah sistem yang efisien tetapi hampa, penuh aktivitas tetapi miskin makna…

Pendidikan yang sejatinya memiliki posisi bisnis inti pada aktivitas yang berpusat pada pengetahuan ternyata telah tereduksi praktiknya sebagai sarana kerja semata. Lebih jauh lagi dimaknai pula bagaimana keberadaan proses berpikir akhirnya terbawa pada sistem aktivitas yang minim artikulasi sama sekali. Akhirnya secara garis besar intepretasi penulis atas tulisan tersebut membawa pertanyaan: mau dibawa ke mana pendidikan kita? Pertanyaan yang mungkin berbulan-bulan belum membawa pada satu refleksi tersendiri hingga saat ini.

Namun ibarat kebenaran yang bersifat timbul daripada diciptakan, muncul satu diskusi menarik dengan salah satu rekan akademisi mengulas eksistensi beberapa waktu lalu. Inti utama diskusi itu sebenarnya cukup mendasar: di mana peran akademisi saat ini dalam proses produksi pengetahuan? Pertanyaan ini kemudian menemukan suatu argumen menarik: bagaimana produksi pengetahuan mampu terjaga ketika reproduksi sosial harus diamankan terlebih dahulu. Hal inilah yang kemudian melempar kembali saya pada tulisan di Desanomia tadi, dan akhirnya saya lamat-lamat mencerna. Apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana semua ini berkelindan?

Produksi pengetahuan pada makna umum yang sering dipraktikkan oleh beberapa akademisi adalah bentuk dari bagaimana dunia akademisi – salah satunya adalah pendidikan tinggi – mampu memproses penciptaan, pembaruan, ataupun kesahihan suatu pengetahuan sehingga kemudian kontekstual ataupun bisa pada hal lain disebut dengan kebaharuan. Memang pada hakikatnya suatu pengetahuan tidaklah berhenti namun tercipta terus menerus seiring realitas sosial yang berkembang pula, dan pada hakikatnya pula pengetahuan itu selalu hadir bermukim pula pada manusia itu sendiri.

Sebagai suatu institusi yang berlandas pada nilai-nilai kesepakatan yang telah dikonsepkan dalam Pancasila, filsafat pengetahuan yang telah berkembang, dan nilai-nilai kebudayaan dengan berbasis kasunyatan (kenyataan) institusi pendidikan tinggi di Indonesia memiliki emban untuk memproduksi pengetahuan yang kontekstual sekaligus berkelindan pada tujuan kebangsaan yang tertuang pada pembukaan UUD 1945. Hal ini yang kemudian terejawantahkan dalam praktik Tri Dharma Perguruan Tinggi yang telah disepakati: pengajaran, penelitian, dan pengabdian.

Akan tetapi dalam emban tugas yang luhur tersebut, kaum akademisi dan pendidik tinggi ini seakan tersandera oleh kebutuhan reproduksi sosial. Pada makna yang umum reproduksi sosial dilihat sebagai dasar bagaimana manusia secara individu menjaga aktivitas dan proses yang memungkinkan keberlangsungan hidupnya sehari-hari dan generasi berikutnya. Dengan secara sederhana seorang manusia – seperti halnya para akademisi dan pengajar pendidikan tinggi – ialah seorang manusia yang membutuhkan situasi yang menjaga stabilitas kehidupannya. Dalam dunia yang berbasis pada ekonomi uang saat ini maka proses reproduksi sosial ini direalisasi melalui aktivitas mencari uang, menjaga stabilitas keluarga, maupun diri sendiri supaya tidak masuk pada kondisi rentan.

Hal ini yang kemudian merujuk pada suatu pertanyaan besar: bagaimana seorang akademisi mampu untuk melakukan produksi pengetahuan secara idealis, kalau perutnya yang pragmatis belum terisi?

Pemisahan aktivitas produksi pengetahuan dan reproduksi sosial menjadi realitas yang umum dilihat dalam dunia pendidikan tinggi akhir-akhir ini. Merefleksikan pada tulisan “Refleksi Pendidikan” kita sejatinya menjadikan produksi ‘pengetahuan menjadi produk yang dikemas untuk dijual, bukan kebenaran yang harus dikejar.’ Akhirnya tidak bisa dilepas bagaimana pula akademisi kita saat ini terjebak pada aktivitas-aktivitas berbasis pengejaran pasar tanpa kemudian kembali pada hakikat dasar sebagai pencari kebenaran. Karena memang tidak bisa dipungkiri pun orientasi pasar adalah kebutuhan untuk mengisi perut.

Satu hal yang kemudian dilupakan oleh akademisi kita saat ini ialah hakikat produksi pengetahuan itulah yang menciptakan reproduksi sosial. Pengetahuan manusia mula-mula atas rasa lapar yang kemudian membawa pada aktivitas sosial berburu dan meramu, dan dalam aktivitas mencari makan tersebut manusia menciptakan pengetahuan baru tentang tanaman dan hewan yang menciptakan aktivitas sosial lain yaitu bercocok tanam dan beternak. Roda proses inilah yang sejatinya berulang terjadi dalam peradaban manusia. Sehingga sejatinya pula lagi bahwa proses produksi pengetahuan dalam pencarian kebenaran yang kontekstual membawa pada reproduksi sosial yang lebih lanjut lagi.

Pada titik ini pula akademisi kita perlu merefleksikan secara kontekstual antara produksi pengetahuan dan reproduksi sosial. Kedua hal ini bukanlah abstraksi yang terpisah namun sebenarnya saling bertaut satu sama lain. Kita tidak perlu takut perut kita lapar asal kemudian pengetahuan yang kita produksi ialah berbasis pada realitas yang sedang muncul. Hal ini pula yang kemudian perlu kita sadari kembali bahwa pengetahuan yang bermukim pada realita dan bersifat kontekstual dapat menjadi ide jembatan penghubung kembali atas dua abstraksi yang seakan terpisah tersebut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *