Sumber ilustrasi: pixabay
6 Juni 2025 20.05. WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Sate adalah salah satu hidangan khas yang telah dikenal luas, baik di dalam negeri maupun mancanegara. Dalam bentuknya yang paling dasar, sate terdiri dari potongan-potongan kecil daging yang ditusuk menggunakan lidi atau tusukan bambu – dalam kasus sate klathak Bantul, dengan menggunakan jeruji sepeda, lalu dipanggang di atas bara api hingga matang. Sajian ini kemudian disajikan dengan berbagai bumbu dan pelengkap, menjadikannya hidangan yang kaya akan rasa, aroma, dan nilai budaya.
Secara etimologis, kata “sate” diyakini berasal dari bahasa Jawa. Sebagian menyebut sangat berkait dengan perkataan sak biting, yang berarti satu tusuk. Ada yang menyebut bahwa sate pertama kali dikenal di daerah Ponorogo, Jawa Timur, dan dari sana menyebar ke berbagai penjuru daerah, menyesuaikan diri dengan selera, bahan lokal, serta teknik masak masing-masing daerah. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa setiap daerah punya kisahnya sendiri. Bahkan ada klaim bahwa kita dikenal sebagai negara dengan variasi sate terbanyak di dunia.
Bahan baku utama sate sangat beragam. Daging yang digunakan bisa berasal dari ayam, kambing, sapi, domba, hingga jenis-jenis daging yang lebih eksotik seperti kelinci, kuda, dan hewan lainnya. Selain itu, bahan lain seperti telur puyuh, ikan, cumi-cumi, dan jeroan juga sering dijadikan bahan dasar sate. Teknik memasak sate pun khas dan tradisional. Setelah daging dibumbui dan ditusuk, sate dibakar di atas bara arang kayu, yang memberi aroma “asap” yang menggugah selera. Proses pembakaran ini biasanya dilakukan sambil membolak-balik sate dan mengolesi kembali bumbu, agar bumbu meresap sempurna dan daging matang merata.
Penyajian sate umumnya dilengkapi dengan saus khas, seperti bumbu kacang yang gurih-manis atau kecap manis yang dicampur dengan irisan bawang merah, cabai rawit, dan jeruk limau. Sebagai pelengkap, sate biasa disajikan bersama nasi putih, lontong, atau ketupat. Di beberapa daerah, sate bahkan dihidangkan dengan kuah gulai atau sambal khas.
***
Salah satu keistimewaan paling mencolok dari sate terletak pada kemampuannya menembus batas kelas sosial dan menyatukan orang-orang dari latar belakang yang sangat berbeda. Sate adalah salah satu dari sedikit hidangan yang dengan mudah ditemukan di dua ujung spektrum sosial-ekonomi: dari gerobak pedagang kaki lima di sudut gang, hingga meja restoran mewah di hotel berbintang. Dalam wujud dan rasanya, sate tidak mengalami degradasi nilai. Dapat dikatakan bahwa sate tetap nikmat, tetap penuh makna, dan tetap dirayakan dalam berbagai bentuk pertemuan sosial, baik formal maupun non-formal.
Fenomena ini menjadikan sate sebagai kuliner yang berwatak egaliter, tidak mengenal sekat kekayaan atau status. Dalam satu piring sate, bisa duduk berdampingan buruh bangunan dan direktur perusahaan, petani dan pejabat, warga biasa dan tokoh masyarakat. Dalam konteks ini, sate menghadirkan bukan hanya rasa, tetapi juga ruang perjumpaan. Sate (mampu) mencairkan batas-batas yang kerap memisahkan orang dalam kehidupan sosial sehari-hari.
Dalam perayaan Idul Adha, makna ini menjadi semakin kuat. Kurban sebagai ibadah mengandung semangat distribusi dan keadilan sosial, daging disebar kepada siapa saja, terutama mereka yang jarang atau tidak mampu membelinya di hari biasa. Ketika daging kurban itu kemudian diolah menjadi sate, dan disantap bersama dalam suasana syukur, menjadi lambang konkret dari pembagian rezeki yang adil dan merata. Tidak penting siapa yang memotong daging atau siapa yang membumbui; yang penting adalah kebersamaan yang tercipta dari tindakan berbagi.
Lebih jauh, kemampuan sate untuk menjembatani kelas sosial juga berbicara tentang nilai keterhubungan dalam budaya Indonesia. Bahwa makanan, dalam hal ini sate, bukan hanya soal rasa, tapi juga tentang relasi, antara manusia dengan manusia, antara masa lalu dengan masa kini, dan antara nilai spiritual dengan kenyataan hidup. Sate seakan wujud dari bentuk keseimbangan: sederhana tapi dalam, lokal tapi universal, murah tapi berharga.
Sate mengajarkan bahwa nilai-nilai luhur seperti kesetaraan, solidaritas, dan gotong royong bisa diwujudkan dalam bentuk yang sangat sehari-hari. Tidak membutuhkan panggung megah untuk menyampaikan pesannya; cukup arang yang menyala, bumbu yang menyatu, dan orang-orang yang berkumpul dengan hati terbuka. Maka ketika kita menyantap sate di hari Idul Adha, yang kita rayakan bukan hanya rasa, tetapi juga ikatan antara sesama manusia, dan antara manusia dengan nilai-nilai kemanusiaan. Selamat Idul Adha 10 Zulhijah 1446 H. (Siti Badriyah, dari berbagai sumber).