Sumber ilustrasi: pixabay
10 Juni 2025 14.50 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Apa itu seleksi? Dalam kamus Bahasa dikatakan bahwa seleksi adalah (1) pemilihan (untuk mendapatkan yang terbaik), penyaringan; (2) metode dan prosedur yang dipakai oleh bagian personalia (kantor pemerintah, perusahaan, dan sebagainya) waktu memilih orang untuk mengisi lowongan pekerjaan. Apa makna yang lebih mendasar dari perkataan tersebut? Untuk mengeksplorasinya, kita akan menggunakan eksperimen pikiran berikut:
Katakan saja hanya ada dua ruang yang dibatasi oleh sebuah dinding, yakni: ruang X dan ruang Y. Gerak hanya satu arah, yakni dari X ke Y. Ada sebuah pintu yang tersedia untuk mengakses. Tidak ada alternatif. Hanya yang berhasil melewati pintu yang bisa mencapai Y. Ada yang berhasil masuk ke Y dan ada yang tidak berhasil atau tetap di X. Dalam kasus tertentu, yang telah ada di ruang Y, dapat terlempar kembali ke ruang X, lewat pintu khusus. Siapakah yang pada akhirnya dapat berpindah dari X ke Y?
Jika dibaca dengan lebih seksama, tampaknya ada beberapa asumsi yang mungkin, yakni:
Pertama, bahwa ruang X dan ruang Y, adalah ruang yang sama, alias tidak ada perbedaan. Tidak ada yang lebih baik dari yang lain. Atau persisnya, ruang Y tidak lebih baik dari ruang X, dan demikian sebaliknya. Apakah kemungkinan ini benar-benar tersedia dari deskripsi di atas? Rupanya tidak.
Keberadaan: (1) dinding pembatas. Untuk apa ada dinding pembatas, jika kedua ruang sama persis? Akan sulit dipahami jika kedua ruang yang sama diberi dinding pembatas. (2) adanya pernyataan bahwa gerak hanya satu arah, yakni dari X ke Y. Hal ini mengindikasikan adanya dorong untuk pergi ke Y, alias tidak diberi ruang kemungkinan yang lain untuk tidak berdiam atau menetap di X, melainkan harus bergerak dari X ke Y; dan (3) adanya pintu yang memberikan akses agar dari X dapat mencapai Y.
Kedua, bahwa secara implisit digambarkan bahwa ruang Y lebih baik dari ruang X, sedemikian rupa sehingga ada dorongan untuk pergi ke Y, dari X. Dinding dan pintu yang tersedia, menjadi semacam tantangan bagi siapa saja yang ada di X, untuk menemukan cara agar bisa melewati pintu tersebut. Dan dari penjelasan tersebut, dapat ditangkap ketentuan implisit, bahwa pintu hanya bisa dilewati dengan cara tertentu.
Mengapa? Karena dikatakan bahwa (a) ada yang berhasil masuk ke ruang Y melalui pintu tersebut; dan (a) ada yang tidak berhasil. Perkataan “berhasil” di sini, dapat dibaca sebagai adanya ketentuan, yang harus diikuti bagi siapa saja (dari X) yang ingin mencapai Y. Hanya saja memang tidak dijelaskan dengan rinci, apa ketentuan tersebut? Ketentuan dengan demikian adalah pintu substantial, yang sesungguhnya menjadi pengendali dari pintu fisik tersebut. Pintu akan terbuka, jika bisa mengatasi pintu substansinya atau mengatasi ketentuan yang ada.
***
Jika dari analisis tersebut lebih dimungkinkan untuk melihat bahwa ruang Y lebih baik daripada ruang X, sedemikian rupa sehingga menempatkannya menjadi “tujuan” atau arah yang dituju dari gerak yang ada di ruang X, maka persoalan yang dapat diangkat menjadi refleksi adalah:
(1) Apa dan dimana letak kebaikan Y jika dibandingkan dengan X? Apakah kebaikan tersebut bersifat universal dan normatif, sehingga mau tidak mau yang ada di X harus bergerak masuk ke Y?
(2) Apakah benar-benar tidak ada pilihan lain dari yang ada di X, kecuali berpindah atau bergerak ke Y? Jika tidak ada pilihan, mengapa demikian? Mengapa keadaan yang diberikan adalah keadaan yang sudah terbelah, dan tidak opsi lain? Jika Y lebih baik, mengapa harus ada yang di X? Dan mengapa yang di X, diharuskan ke Y dengan tanpa pilihan?
Apa yang hendak ditunjukkan di sini adalah bahwa dalam tubuh eksperimen tersebut, sebenarnya telah memuat “ketidakseimbangan” atau bahkan ketidak-fair-an. Keadaan yang sedari awal telah menempatkan X: (1) ada di bawah Y, atau katakana saja berkualitas lebih rendah dari Y; dan (2) ada keharusan implisit dimana X harus bergerak ke Y, dan tidak ada ketentuan lain yang memungkinkan X punya opsi lain, seperti misalnya tetap ada di X. Dalam ketiadaan opsi itulah, X digiring oleh keadaan untuk bergerak ke Y.
Apa resiko yang ada di depan mata? Pertama adalah bahwa hanya mereka yang memenuhi ketentuan atau kualifikasi dari pintu yang tersedia, yang akan dapat lolos. Kedua, secara natural dapat diduga bahwa tidak semua anggota X akan punya kapasitas yang dibutuhkan untuk bisa lolos, atau memenuhi kualifikasi, sedemikian rupa sehingga ada anggota X yang tidak dapat pindah ke Y. Keadaan yang terakhir ini, hampir bisa dipastikan bahwa sepanjang waktu dia akan menerima posisi sebagai “yang berada di bawah Y”.
***
Apabila keadaan tersebut diterima begitu saja, maka yang akan terjadi adalah suatu perlombaan di antara yang ada di X. Perlombaan yang dimaksud adalah upaya tiap-tiap yang ada di X, yang menyadari bahwa sesuatu harus dilakukan agar bisa tiba di Y. Bagaimana dengan yang tidak peduli, atau yang tidak punya kemampuan untuk mengikuti perlombaan? Dalam hal ini, rasanya baik untuk diperiksa beberapa kemungkinan. Pertama, membagi X menjadi dua kelompok, yakni: (a) yang menyadari dan berkehendak segera menuju Y; (b) yang tidak menyadari, dan karena itu tidak persiapan khusus atas apa yang hendak terjadi selanjutnya.
Dua kondisi ini dengan sendirinya akan membentuk dua arus besar. Yakni:
(1) mereka yang menyadari dan pada dirinya telah diinternalisasi doktrin kompetisi. Suatu doktrin yang tidak lain menjadi kompetisi adalah keutamaan. Mereka yang berhasil dan dianggap punya kehebatan adalah mereka yang berhasil menang “perang”, alias mampu mengeksklusi yang lain. Karena itu, segala cara dilakukan untuk mengalahkan yang lain dan agar tampil sebagai pemenang; dan
(2) mereka yang tidak menyadari dan karena itu tidak ada pada dirinya suatu kemendesakan untuk melakukan persiapan yang sistematis dan terukur. Apa yang disebut sebagai persiapan dengan arah meningkatkan kesiapan untuk mengatasi ketentuan yang ada tidak terjadi secara sengaja dan sistematis.
Pada yang pertama, bisa saja terjadi dimana yang berhasil mengatasi jumlahnya besar. Dan karena tidak ada kejelasan, maka tidak menutup kemungkinan diterapkannya sistem kuota, sehingga yang berhasil pun masih harus menerima kenyataan dimana tempat tidak tersedia, sehingga kompetisi pertama dilanjutkan kompetisi kedua. Yang bisa dipastikan bahwa tidak semua yang telah mengatasi ketentuan pertama bisa lolos.
Pada yang kedua, dapat dipastikan bahwa pada sebagian besar tidak akan mampu mengatasi ketentuan, dan hanya sebagian (mungkin sebagian kecil) yang bisa mengatasi. Namun, sebagaimana telah dijelaskan di atas, tentang kemungkinan adanya kompetisi tahap kedua, maka peluang untuk lolos menjadi bertambah kecil, karena kompetisi menjadi lebih bertingkat. Dan pada akhirnya tetap saja tidak semua bisa masuk ke Y.
Secara demikian, dapat dikatakan bahwa pada kemungkinan pertama ini, terdapat kemungkinan besar dimana yang bisa lolos atau mengatasi ketentuan, berjumlah lebih sedikit dibandingkan dengan yang tidak lolos. Tentu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana jika tidak lolos, sementara ketentuan dasarnya adalah bahwa dari X harus ke Y, dan Y ditafsirkan lebih baik dari X? Apakah kesemuanya pada akhir akan tetap menerima keadaannya yang sudah selalu akan ada dalam kategori yang menurunkan martabatnya?
Kedua, membagi X menjadi dua kelompok, yakni: (a) punya kemampuan, dan; (b) yang tidak punya kemampuan – umumnya dilihat dari: (a) kapasitas finansial; (b) kapasitas sosial-politik. Apa yang akan terjadi pada keadaan ini? Tentu akan sangat mudah diduga. Dengan kategori yang demikian, maka peluang untuk bisa mengatasi ketentuan pintu masuk, sangat ditentukan oleh kemampuan, dan artinya hanya yang punya kemampuan (makin tinggi) akan makin berpeluang lolos. Dan dengan begitu juga telah jelas tampak bahwa tidak semua yang ada di X akan bisa lolos, karena distribusi kemampuan tidak merata. Dan bagi mereka yang akhirnya tetap ada di X, adalah (a) mereka yang masuk dalam kategori tidak cukup kemampuan atau bahkan sama sekali tidak punya kemampuan; dan (b) keadaan ini membuat yang tidak lolos menyandang dua keadaan sekaligus, yakni tidak mampu dan tetap di X, yang dinyatakan lebih rendah daripada Y.
***
Eksperimen sederhana ini, sebenarnya ingin mengungkapkan dampak strategis dari suatu kompetisi. Dari optik inilah kita akan dapat melihat dunia kerja, dunia pendidikan dan hidup sosial di masyarakat. Akan ada golongan yang bisa berpindah dan dengan itu mendapatkan privilege, dan ada yang tidak, dan karena itu sepanjang hidupnya dalam derajat martabat yang selalu ada di bawah. Dunia tanpa sadar mengembangkan mekanisme seleksi. Hanya yang berhasil menang yang akan tetap eksis. Apakah sistem ini yang akan menjadi masa depan kita? [Desanomia – 10.6.25 – TM]