Siklus Kemiskinan yang Tak Berujung di Amazon

Desanomia [17.3.2025] Di wilayah Amazon Brasil, masyarakat terperangkap dalam siklus kemiskinan yang sulit diputus. Deforestasi memicu kemiskinan, dan kemiskinan pada akhirnya mendorong lebih banyak deforestasi.

Saat ini, lebih dari seperlima hutan hujan di Brasil telah lenyap, dan sektor agribisnis — termasuk perkebunan kedelai komersial dan peternakan sapi — menjadi salah satu penyebab utamanya. Sebagai sektor ekonomi terbesar di negara itu, agribisnis berkontribusi besar pada pembukaan lahan yang masif, mempercepat hilangnya kawasan hutan yang berharga.

Akibatnya, penduduk setempat berada dalam posisi yang rentan. Dari total 28 juta jiwa yang tinggal di wilayah Amazon Brasil, sekitar 11,8 juta orang hidup dalam kemiskinan ekstrem. Banyak di antara mereka adalah petani subsisten yang bergantung pada praktik membakar hutan untuk membuka lahan pertanian guna memenuhi kebutuhan keluarga. Karena tidak mampu membeli pupuk, tanah yang mereka kelola cepat menjadi tandus, sehingga mereka terpaksa membuka lahan baru, melanggengkan siklus deforestasi yang merusak lingkungan.

Menurut Tereza Campello, Direktur Divisi Sosio-Lingkungan di BNDES (Bank Pembangunan Nasional Brasil) yang juga bertanggung jawab atas Amazon Fund, masalah sosial yang melanda Amazon tidak bisa diabaikan jika ingin menghentikan deforestasi. “Kita banyak berbicara tentang krisis iklim, tetapi ada juga krisis sosial yang terjadi di wilayah Amazon,” ujarnya. “Tidak mungkin kita bisa menjaga hutan tetap lestari tanpa memastikan pendapatan, pekerjaan yang layak, dan kondisi hidup yang baik bagi jutaan penduduk yang tinggal di sana.”

Amazon Fund: Harapan bagi Amazon yang Berkelanjutan

Amazon Fund menjadi tumpuan utama Brasil dalam upaya mempromosikan ekonomi berbasis lingkungan yang berkelanjutan. Dana yang mencapai sekitar 4 miliar real Brasil (sekitar $710 juta USD) ini berasal dari kontribusi negara-negara seperti Norwegia, Jerman, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat.

Amazon Fund menjadi instrumen penting dalam mendukung ambisi pemerintah Brasil untuk menghentikan deforestasi pada tahun 2030. Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva, juga berharap dana ini dapat membantunya mengembalikan Brasil ke posisi terdepan dalam negosiasi iklim global.

Namun, nasib Amazon Fund sangat bergantung pada kemauan politik. Dana ini pertama kali diluncurkan oleh Lula pada masa jabatan pertamanya pada tahun 2008. Namun, kontribusi dari negara asing dihentikan pada tahun 2019 ketika pemerintahan Presiden Jair Bolsonaro mengendurkan kebijakan konservasi lingkungan.

Setelah kembali menjabat pada Januari 2023, Lula segera menghidupkan kembali Amazon Fund. Meski dana ini kini mengalir kembali, banyak pihak berpendapat bahwa skala program yang didanai Amazon Fund masih jauh dari cukup untuk mengatasi krisis sosial yang melanda kawasan Amazon.

Pohon Babassu: Harapan bagi Ekonomi Berkelanjutan

Salah satu upaya yang didukung Amazon Fund adalah pemanfaatan pohon babassu, yang terbukti menjadi alternatif berkelanjutan bagi praktik pertanian yang merusak lingkungan. Pohon babassu memiliki keunggulan unik; selain tumbuh subur di kawasan hutan lebat Amazon, pohon ini juga mampu bertahan di lahan yang telah gundul akibat deforestasi.

Setiap bagian dari pohon babassu memiliki nilai ekonomi. Daunnya dapat dianyam menjadi atap dan tikar, kacang babassu mengandung minyak yang dapat dimakan atau diolah menjadi tepung, sementara cangkang kosongnya dapat dijadikan arang untuk memasak.

Di negara yang memiliki keanekaragaman pohon yang luar biasa, pohon babassu menonjol karena keunggulan ini. Masyarakat di Maranhão, salah satu dari sembilan negara bagian di wilayah Amazon Legal, telah lama mengandalkan babassu sebagai sumber pendapatan tambahan.

Menurut Agenor Nepomuceno, juru bicara organisasi nirlaba Assema yang mengelola beberapa proyek Amazon Fund di Maranhão, keberadaan pohon babassu sangat penting bagi masyarakat setempat. “Ada lebih banyak kemiskinan di komunitas yang memiliki lebih sedikit pohon babassu,” katanya, menyoroti bahwa kawasan yang telah kehilangan banyak pohon babassu cenderung memiliki tingkat kemiskinan yang lebih tinggi.

Memanfaatkan Babassu untuk Bertahan Hidup

Setiap pagi, ribuan penduduk di Lago do Junco, sebuah daerah pedesaan di Maranhão, memasuki hutan untuk mengumpulkan kacang babassu yang jatuh dari pohon setinggi 30 meter. Sementara mereka bekerja, sebagian perempuan menyanyikan lagu tradisional yang mencerminkan sejarah daerah tersebut sebagai tempat pelarian budak Afrika pada masa lalu:

“Tak seorang pun mendengar jeritanku / Mereka tidak tahu penindasanku, bersembunyi di hutan ini, lapar, memecah kelapa / Aku bersembunyi di antara pepohonan, lapar, memecah kelapa.”

Bagi penduduk seperti Dora de Matos Teixeira, memecahkan kacang babassu menjadi pekerjaan utama untuk menghidupi keluarganya. Dengan menggunakan palu kayu kasar, ia menempatkan kacang babassu di atas logam tajam dan memukulnya berulang kali hingga berhasil memisahkan biji dari cangkangnya. Jika dikerjakan dengan tekun, seorang quebradeira de coco (pemecah kelapa) seperti Dora bisa memperoleh penghasilan sekitar $5 USD per hari — jumlah yang cukup untuk membesarkan dua anaknya.

“Pekerjaan ini sangat melelahkan,” kata Dora. “Punggung saya sering terasa sakit.”

Upaya Kolektif dan Dampak Positif

Untuk meningkatkan potensi ekonomi kacang babassu, Amazon Fund mendanai proyek senilai 5 juta real Brasil sebagai langkah strategis untuk memperkuat rantai pasokan babassu di negara bagian Maranhão. Proyek ini dirancang untuk membantu masyarakat setempat mengoptimalkan pemanfaatan babassu, sehingga dapat menjadi sumber pendapatan yang lebih stabil dan berkelanjutan.

Dana tersebut dialokasikan untuk berbagai aspek penting, termasuk pembelian peralatan ekstraksi minyak baru yang lebih modern dan efisien. Peralatan ini mampu meningkatkan kapasitas produksi minyak babassu sekaligus memastikan proses ekstraksi dilakukan dengan standar kebersihan dan kualitas yang lebih baik.

Selain itu, sebagian dana digunakan untuk mendirikan laboratorium kimia kecil yang berfungsi untuk menguji kualitas minyak babassu agar dapat disertifikasi sebagai produk organik. Sertifikasi ini sangat penting karena membuka peluang pemasaran yang lebih luas, khususnya bagi perusahaan yang mencari bahan baku alami untuk produk kecantikan, makanan, atau energi ramah lingkungan. Dengan sertifikasi organik, produk minyak babassu menjadi lebih bernilai di pasar domestik maupun internasional, sehingga berpotensi mendongkrak pendapatan petani dan pekerja lokal.

Proyek ini dijalankan melalui kerja sama dengan koperasi lokal bernama COPPALJ, yang telah berperan penting dalam mengorganisir komunitas pemanen babassu di Maranhão. Koperasi ini didirikan pada awal 1990-an dan kini beranggotakan 248 keluarga yang bergantung pada hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Melalui bantuan Amazon Fund, koperasi ini mampu memperluas jaringan pemasoknya. Saat ini, COPPALJ membeli kacang babassu dari sekitar 1.000 pemasok lokal, dengan harga sekitar 4 real Brasil per kilogram. Jumlah ini tiga kali lebih tinggi dibandingkan harga yang diterima oleh pemanen babassu di komunitas lain yang belum bergabung dengan koperasi. Harga yang lebih baik ini menjadi faktor kunci dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Dampak positif dari proyek ini sangat terasa di kalangan anggota koperasi. Menurut Direktur COPPALJ, Conceição de Maria Alves, kondisi kehidupan masyarakat jauh lebih baik sejak koperasi mulai beroperasi dan berkembang. Ia mengenang masa-masa sulit sebelum koperasi berdiri, ketika penduduk hanya memiliki sedikit pilihan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka.

“Dulu hidup kami sangat sulit,” kata Conceição dengan nada mengingat masa-masa sulit yang pernah ia lalui. “Kami hanya makan sekali sehari, hanya dengan nasi.” Kini, berkat dukungan Amazon Fund dan perkembangan koperasi, banyak keluarga di komunitas tersebut mampu menikmati kehidupan yang lebih layak. Dengan penghasilan yang lebih stabil, mereka kini memiliki akses yang lebih baik terhadap makanan bergizi, pendidikan anak-anak, dan kebutuhan sehari-hari lainnya.

Keberhasilan proyek ini menunjukkan bahwa dengan pendekatan yang tepat, potensi ekonomi lokal yang berbasis sumber daya alam dapat dikembangkan secara berkelanjutan, tanpa harus mengorbankan kelestarian lingkungan. Model seperti ini tidak hanya memberikan dampak ekonomi yang nyata bagi masyarakat, tetapi juga membantu mengurangi praktik-praktik yang merusak lingkungan, seperti deforestasi dan penebangan liar.

Langkah Menuju Masa Depan yang Lebih Baik

Selain mendukung ekonomi berbasis babassu, Amazon Fund juga mendanai berbagai proyek reboisasi yang dirancang untuk menghidupkan kembali lahan yang telah rusak akibat deforestasi. Salah satu langkah penting dalam program ini adalah pembagian bibit pohon buah dan kayu asli Amazon kepada petani lokal. Upaya ini tidak hanya bertujuan untuk menghijaukan kembali kawasan yang telah gundul, tetapi juga untuk menciptakan sumber pendapatan jangka panjang bagi masyarakat setempat.

Para petani yang bergabung dalam program ini menerima lebih dari sekadar bibit pohon. Mereka juga dibekali dengan berbagai peralatan pertanian serta pelatihan intensif tentang teknik pengelolaan lahan yang berkelanjutan. Pelatihan ini mencakup praktik-praktik seperti penanaman dengan pola yang mempertahankan kesuburan tanah, metode pemupukan alami, hingga cara mengelola air secara efisien agar tanaman dapat tumbuh optimal tanpa merusak ekosistem sekitar.

Program ini memberikan manfaat besar bagi petani seperti José Ramos Leitão, seorang warga di kota kecil Bacabal, sekitar dua jam perjalanan dari Lago do Junco. Sebelumnya, Ramos Leitão mengandalkan cara-cara tradisional yang merusak lingkungan untuk menghidupi keluarganya. Ia terbiasa menebang dan membakar hutan untuk membuka lahan pertanian baru. Praktik ini sering disebut sebagai metode tebang-bakar, yang meskipun cepat memberikan hasil, membuat tanah menjadi tandus dalam waktu singkat. Setelah tanah tidak lagi subur, Ramos Leitão akan berpindah ke lokasi baru dan mengulangi pola yang sama, sehingga secara tidak langsung turut mempercepat deforestasi di wilayah tersebut.

Namun, lima tahun lalu, hidup Ramos Leitão mulai berubah setelah ia bergabung dengan program reboisasi yang didukung oleh Amazon Fund. Dengan bimbingan dari para penyuluh pertanian yang terlatih, ia beralih menanam berbagai jenis pohon seperti açaí, kakao, mangga, dan sirsak. Tanaman ini memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan tanaman semusim yang sebelumnya ia tanam. Pohon-pohon ini tidak hanya lebih tahan terhadap kondisi tanah yang beragam, tetapi juga tidak memerlukan penanaman ulang setiap tahun, sehingga mengurangi kebutuhan untuk membuka lahan baru.

Pohon-pohon tersebut juga memberikan hasil yang lebih stabil. Panen buah dari pohon açaí dan kakao, misalnya, tidak hanya mencukupi kebutuhan keluarganya, tetapi juga menghasilkan surplus yang dapat dijual ke pasar lokal, menciptakan sumber pendapatan tambahan yang berkelanjutan. Hasil penjualannya digunakan Ramos Leitão untuk memperbaiki rumah, membeli perlengkapan sekolah bagi anak-anaknya, dan bahkan menabung untuk masa depan.

Kini, Ramos Leitão tidak lagi bergantung pada praktik tebang-bakar yang merusak lingkungan. “Saat ini, saya marah jika melihat kebakaran hutan,” ujarnya, menandakan perubahan besar dalam cara pandangnya terhadap hutan yang dulu ia anggap sebagai hambatan bagi pertanian.

Bagi Ramos Leitão, hutan kini bukan lagi lahan yang harus dibuka, melainkan aset berharga yang perlu dijaga dan dimanfaatkan dengan cara yang lebih bijaksana. “Ketika saya meninggal nanti,” katanya penuh harap, “saya berharap anak-anak saya tidak menjual tanah ini, tetapi hidup darinya.” (NJD)

Sumber: Bloomberg

Link: https://www.bloomberg.com/features/2024-brazil-amazon-rainforest-protection-poverty/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *