Sumber ilustrasi: pixabay
Oleh: A. Ekasatya Dharma
30 Mei 2025 11.15 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Otoritas ekonomi, berupaya mengejar target pertumbuhan, khususnya pada Triwulan II (Q2) tahun 2025, yang berada pada kisaran 5 persen – tentu target ini dipandang sebagai antara untuk mencapai pertumbuhan 8 persen. Dan sebagaimana diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi (nasional) sementara ini masih mengandalkan konsumsi masyarakat. Oleh sebab itulah, untuk memanfaatkan momentum libur sekolah yang berlangsung selama Juni hingga Juli 2025, otoritas meluncurkan stimulus ekonomi. Yang dimaksud adalah:
1. Diskon Transportasi
Terdapat 3 jenis Diskon Transportasi selama 2 bulan pada momen libur sekolah (sekitar awal Juni 2025 s.d. pertengahan Juli 2025) antara lain:
- Diskon Tiket Kereta sebesar 30%.
- Diskon Tiket Pesawat berupa PPN DTP 6%.
- Diskon Tiket Angkutan Laut sebesar 50%.
Penyelenggaranya: Kementerian Perhubungan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian BUMN.
2. Diskon Tarif Tol
Diskon Tarif Tol sebesar 20% untuk sekitar 110 juta pengendara selama 2 bulan pada momen liburan sekolah (sekitar awal Juni 2025 s.d. pertengahan Juli 2025). Skema program serupa dengan pemberlakuan diskon pada Nataru dan Lebaran.
Penyelenggaranya: Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perhubungan.
3. Diskon Tarif Listrik
Diskon Tarif Listrik sebesar 50% kepada sekitar 79,3 juta rumah tangga (pelanggan ≤1300 VA). Pemberlakuan diskon listrik mengikuti skema program diskon listrik Januari–Februari 2025, berlaku pada: 5 Juni 2025 sampai 31 Juli 2025.
Penyelenggaranya: Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan PLN.
4. Penebalan Bantuan Sosial dan Pemberian Bantuan Pangan
Tambahan Kartu Sembako sebesar Rp 200.000/bulan untuk sekitar 18,3 juta KPM, diberikan selama 2 bulan. Dan Bantuan Pangan 10 kg beras untuk sekitar 18,3 juta KPM.
Penyelenggaranya: Kementerian Sosial, Bapanas (dalam koordinasi dengan Kemenko Pangan, Kementerian Pertanian, dan BULOG), terkait stimulus Bantuan Pangan dan SPHP selama 2 bulan (Juni–Juli 2025).
5. Bantuan Subsidi Upah (BSU)
Bantuan Subsidi Upah sebesar Rp 150.000/bulan untuk sekitar:
- 17 juta pekerja dengan gaji sampai dengan Rp 3,5 juta atau setara UMP/kabupaten/kota.
- 3,4 juta guru honorer, berlaku selama 2 bulan (Juni–Juli 2025).
BSU akan disalurkan dalam satu kali penyaluran pada bulan Juni 2025.
Penyelenggaranya: Kementerian Keuangan, Kementerian Ketenagakerjaan, BPJS Ketenagakerjaan (untuk pekerja), serta Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dan Kementerian Agama (untuk guru honorer).
6. Perpanjangan Diskon Iuran JKK
Perpanjangan diskon 50% iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) bagi pekerja sektor padat karya, selama 6 bulan (periode Agustus 2025 s.d. Januari 2026).
Penyelenggaranya: Kementerian Ketenagakerjaan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Dampak?
Apa dampak ekonomi yang diharapkan dari masing-masing stimulus dalam bentuk diskon tersebut? Publik mungkin bisa menduga: (1) Pada diskon transportasi umum, sangat mungkin diharapkan: (a) secara mikro, diskon akan langsung menurunkan harga transaksi, mendorong elastisitas permintaan transportasi, khususnya bagi masyarakat menengah ke bawah. Ini memperluas aksesibilitas antarwilayah dan meningkatkan mobilitas domestic; dan (b) pada makro, diharapkan ada potensi peningkatan konsumsi rumah tangga melalui belanja wisata dan perjalanan lokal, serta multiplier effect pada sektor pariwisata, UMKM, dan perdagangan daerah.
(2) Pada diskon tarif tol. Sekitar 110 juta pengendara akan menikmati potongan harga tol selama dua bulan, dengan skema yang mirip dengan periode Lebaran dan Nataru. Dalam kasus ini, sangat mungkin diharapkan akan mendorong efisiensi biaya logistik dan perjalanan antar kota, yang dapat menurunkan harga barang di beberapa wilayah karena penurunan ongkos distribusi. Hal ini mungkin diharapkan dapat mendorong kegiatan ekonomi daerah dan peningkatan arus wisatawan domestik (terutama melalui jalur darat).
(3) Pada diskon tarif listrik. Diskon ini berlaku bagi sekitar 79,3 juta rumah tangga berdaya ≤1300 VA, selama 5 Juni hingga 31 Juli 2025. Apa yang mungkin diharapkan adalah (a) konsumsi rumah tangga meningkat karena terdapat ruang fiskal dalam anggaran keluarga (saving effect); (b) potensi penurunan tekanan inflasi energi dalam kelompok administered prices; (c) peningkatan disposable income yang dapat diarahkan untuk konsumsi atau tabungan produktif.
(4) Pada bantuan sosial dan bantuan pangan. Langkah menambah atau tambahan Kartu Sembako Rp 200.000/bulan selama dua bulan kepada 18,3 juta KPM (Keluarga Penerima Manfaat). Dan Distribusi 10 kg beras/bulan untuk jumlah KPM yang sama. Apa yang tampak diharapkan adalah: (a) mengatasi potensi kerawanan pangan dan kemiskinan musiman yang sering meningkat pada masa libur sekolah; dan (b) menjaga permintaan domestik, terutama di segmen makanan pokok, yang berdampak positif pada stabilitas harga pangan dan keseimbangan pasokan-permintaan.
(5) Pada Bantuan Subsidi Upah (BSU). Sebesar Rp 150.000/bulan bagi sekitar 17 juta pekerja formal dengan upah maksimal Rp 3,5 juta, serta 3,4 juta guru honorer selama dua bulan (disalurkan sekaligus pada Juni 2025). Apa yang hendak diperkuat, antara lain: (a) Menjaga daya beli kelas pekerja, terutama di tengah tekanan biaya hidup; (b) Stimulus langsung untuk mendorong belanja konsumsi masyarakat produktif, yang memiliki kecenderungan marginal konsumsi tinggi (MPC tinggi); dan (c) Mengurangi tekanan PHK dan mendorong stabilitas tenaga kerja di sektor informal-formal bawah.
Dan (6) Pada perpanjangan Diskon Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). Diskon 50% iuran JKK bagi pekerja sektor padat karya, berlaku selama Agustus 2025 – Januari 2026. Arahnya dapat dibaca: (a) Meringankan beban pengusaha sektor padat karya, mendorong retensi tenaga kerja; dan (b) Meningkatkan likuiditas usaha, terutama manufaktur dan industri padat tenaga kerja seperti tekstil, alas kaki, dan makanan minuman.
Secara keseluruhan, sangat mungkin upaya ini, diarahkan untuk:
Pertama, dari sisi pertumbuhan eknomi: Dorongan konsumsi rumah tangga yang membentuk >50% PDB Indonesia berpotensi mempercepat laju pertumbuhan kuartal III 2025. Kedua, dari sisi inflasi: Tekanan inflasi bisa tertahan, terutama pada sektor energi (listrik) dan pangan, namun potensi demand-pull inflation pada transportasi dan barang konsumsi meningkat. Ketiga, dari sisi anggaran pemerintah: Memerlukan belanja fiskal tambahan jangka pendek, namun dengan multiplier jangka menengah jika konsumsi dan produksi meningkat. Keempat, dari sisi stabilitas dan kepercayaan publik: Meningkatkan kepercayaan publik terhadap kebijakan fiskal responsif; mengurangi kerentanan sosial pada kelompok rentan dan pekerja informal.
Catatan
Langkah otoritas ekonomi tersebut tentu perlu diapresiasi. Namun, sebagai langkah publik, tentu saja tidak lepas dari pertanyaan publik. Beberapa pertanyaan yang penting menjadi perhatian adalah: Pertama, tentang sumber pembiayaan. Dalam kerangka ini otoritas ekonomi memang dalam isu kredibilitas fiskal. Mengapa? Karena dalam pemahaman publik, ada keterbatasan ruang fiskal, baik karena beban hutang jatuh tempo, maupun karena pendapatan yang mengalami kontraksi. Apa yang dikhawatirkan publik adalah bahwa jika langkah nampak sebagai upaya yang tidak jelas sumber pembiayaannya, maka tidak menutup kemungkinan ada pencetakan uang baru dan atau pelebaran defisit fiskal. Dalam soal ini publik membutuhkan semacam keterbukaan fiskal. Yang dalam konteks manajemen ekspektasi pasar dan kredibilitas anggaran, ketertutupan sumber dana dapat merusak kepercayaan investor dan masyarakat terhadap kesinambungan fiskal.
Kedua, terkait isu efektivitas stimulus dan keadilan distribusi. Memang dalam soal pilihan sasaran, diskusi sangat terbuka. Mengapa, karena hal ini menyangkut berbagai pertimbangan yang kompleks. Namun demikian, suara publik sangat perlu didengar, terutama terkait: (a) bahwa terbuka penapsiran untuk melihat bahwa stimulus bersifat konsumtif dan regresif (tidak progresif secara sosial); (b) bahwa kelompok rentan pedesaan, seperti petani, nelayan dan kelompok rentan lain, terasa kurang tersentuh; dan (c) bahwa terutama terkait dengan diskon listrik, diharapkan menyentuh lapisan yang lebih luas, agar lebih adil.
Ketiga, terkait dengan politik elektoral. Dalam soal ini, tidak terhindarkan adanya persepsi, bahwa langkah ekonomi dipandang sebagai tindakan politik electoral, antara lain: (i) sekedar untuk menciptakan persepsi “pemerintah hadir”, tetapi dengan efektivitas jangka pendek; (ii) sebenarnya tidak menciptakan kapasitas produktif baru atau mendorong pertumbuhan jangka panjang. Apakah demikian? Tentu waktu yang akan menunjukkannya. (dari berbagai sumber)