Teknologi Baru dan AI Jadi Alternatif Riset Tanpa Hewan

Sumber ilustrasi: pixabay

11 Juni 2025 07.45 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Desanomia [11.6.2025] Tahukah anda bahwa ketika ilmuwan hendak menguji keampuhan suatu jenis obat atau percobaan-percobaan lainnya mereka akan menggunakan hewan laboratorium. Hewan-hewan ini telah menjadi tulang punggung dalam penelitian ilmiah selama ini. Mulai dari katak yang membantu pemahaman komunikasi sel, hingga babi yang berperan dalam pengembangan CT scan. Hewan seperti kucing, burung, dan katak digunakan untuk memahami sinyal saraf. Akan tetapi era baru riset mulai terbuka. Dengan teknologi terkini, ilmuwan dimungkinkan untuk melakukan penelitian tanpa ketergantungan pada hewan, dengan hasil yang lebih akurat dan efisien.

Setiap tahun, jutaan hewan digunakan dalam penelitian di Amerika Serikat, khususnya untuk ilmu dasar dan pengujian keamanan makanan serta obat-obatan. Sebelum obat diberikan ke manusia, hewan dijadikan perantara pertama. Tentunya jumlah ini memuncul pertanyaan besar: apakah hewan benar-benar representatif bagi tubuh manusia? Keingintahuan ini mendorong ilmuwan untuk mencari pendekatan baru yang lebih relevan bagi manusia.

Selain pertimbangan etika, alasan praktis lainya seperti biaya tinggi, waktu yang lama, dan kompleksitas perawatan hewan juga mendorong perubahan. Dari sisi ilmiah, perbedaan respons biologis antara manusia dan hewan menjadi sorotan. Nicole Kleinstreuer dari National Institutes of Health (NIH) mengatakan bahwa manusia bukanlah tikus seberat 68 kilogram. Kleinstreuer sendiri memimpin program nasional untuk mencari metode riset alternatif berbasis biologi manusia.

Perbedaan ini bukan asumsi belaka. Aspirin, sebagai contoh, aman untuk manusia akan tetapi beracun bagi tikus. Sebaliknya, beberapa obat yang aman untuk tikus ternyata tidak bekerja pada manusia. Diperkirakan, lebih dari 90% obat kanker yang berhasil di hewan tidak efektif untuk manusia. Inilah sebabnya mengapa pendekatan baru berbasis biologi manusia mulai dikembangkan secara serius oleh kelompok seperti yang dipimpin Kleinstreuer.

Dorongan menuju riset bebas hewan juga diperkuat secara hukum. Pada tahun 2022, Kongres AS menghapus kewajiban uji coba hewan sebelum uji coba manusia untuk obat-obatan baru. Sejak itu, para peneliti didorong untuk mencari metode terbaik, yang tidak selalu berarti memakai hewan laboratorium. Pada 10 April 2024, FDA pun mengumumkan dimulainya penggantian uji hewan pada beberapa obat tertentu.

Sejak tahun 1959, konsep “tiga R”: reduction, refinement, dan replacement, menjadi acuan dalam riset biomedis. Akan tetapi selama puluhan tahun, realisasi prinsip ini sangat sulit. Dengan adanya kemajuan seperti mini organ di chip dan kecerdasan buatan (AI), memungkinkan penelitian berjalan tanpa atau dengan lebih sedikit hewan. Kemajuan ini bukan sekadar perubahan etika, namun juga suatu lompatan dalam akurasi ilmiah.

Kecerdasan buatan menjadi kunci penting dalam transformasi ini. AI tidak menggantikan ilmuwan, akan tetapi mempercepat proses seperti pencarian data atau simulasi interaksi kimia. AI dapat menganalisis basis data besar untuk memprediksi bagaimana zat tertentu akan bereaksi pada tubuh manusia tanpa harus mengujinya dulu pada hewan. Akurasi AI dalam menilai toksisitas bahan kimia bahkan sudah mencapai 87%, yang dimana angka ini lebih baik daripada pengujian hewan berulang kali.

Peran AI juga sangat krusial dalam pengembangan vaksin, termasuk vaksin COVID-19. Proses yang biasanya butuh satu dekade, berhasil dipangkas menjadi kurang dari satu tahun. AI membantu menyaring ratusan ribu epitope, bagian dari virus yang dapat dikenali sistem imun, hanya dalam waktu singkat. Hasilnya, dua vaksin COVID-19 bisa dikembangkan dengan sangat sedikit pengujian hewan, efisien dalam biaya dan waktu.

Studi terbaru menunjukkan AI bahkan bisa sepenuhnya menggantikan hewan dalam tahap awal pengujian obat. Tahun 2023, sebuah riset melatih AI dengan data dari 8.000 tikus untuk memprediksi efek samping obat baru, seperti kerusakan hati. Tanpa satu pun tikus hidup, AI menjalankan simulasi pada 100.000 “tikus virtual” dan hasilnya hampir identik dengan uji nyata. Di masa depan, AI bisa membantu menentukan dosis obat paling aman langsung untuk manusia.

Transformasi riset ilmiah menuju metode non-hewan adalah perkembangan besar dalam dunia sains dan kemanusiaan. Dengan AI dan model biologis manusia, penelitian menjadi lebih relevan, cepat, dan hemat biaya, tanpa mengorbankan makhluk hidup lain. Lebih dari sekadar kemajuan teknologi, ini adalah evolusi moral dan efisiensi.

Dengan adanya perkembangan ini, produk yang lebih cepat dikembangkan, obat yang lebih aman, serta metode pengujian yang lebih etis akan segera menjadi standar. Dalam jangka panjang, keadaan ini dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap produk kesehatan dan mempercepat respons terhadap krisis medis seperti pandemi yang merupakan kabar baik bagi masa depan kesehatan global. (NJD)

Sumber: ScienceNewsExplore

Link: https://www.snexplores.org/article/research-tech-replace-lab-animals

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *