Sumber ilustrasi: freepik
2 Juni 2025 09.40 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Tulisan “Desa: Satu Wilayah dan Hanya Itu” (desanomia.id, 27/5/25), telah mendapatkan respon yang sangat baik dan bersifat memperluas dengan elaborasi filosofis [lihat Dr. Untoro Hariadi, dalam bentuk artikel dengan judul: Hidup Bersama Batas-batas (desanomia.id, 31/5/25]. Ulasan ini hendak menambah ulasan terkait dengan gagasan tentang konstitusi sosio-ekologi setempat. Apa yang hendak ditekankan di sini adalah bahwa gagasan tersebut bukan datang dari kritik, melainkan datang dari kesadaran. Gagasan dimaksud meskipun mungkin bisa ditafsirkan dengan cara yang berbeda, namun tetaplah perlu pertama-tama disadari letak kemunculannya, yakni suatu kesadaran tentang apa yang paling mungkin dalam kebermukiman.
***
Dalam setiap kebermukiman komunitas yang tumbuh secara organik, sudah selalu terdapat suatu tata hidup yang membentuk cara bersama untuk tinggal, bekerja, berbagi, dan saling menjaga. Tata hidup ini bukan sekadar kebiasaan, bukan pula hukum dalam pengertian yuridis, tetapi konstitusi yang hidup, yang tumbuh bersama ritme tanah dan pengalaman bersama, dan yang menopang keberlangsungan komunitas dalam ruang (ekologi) dan seluruh yang dialaminya. Inilah yang dapat kita sebut sebagai konstitusi sosio-ekologi setempat: bukan dokumen, bukan kontrak sosial, bukan pula konstruksi politis, tetapi pola kesadaran hidup yang terbit dari kebermukiman.
Konstitusi sosio-ekologi setempat lahir bukan dari kritik atau reaksi terhadap modernitas (dengan seluruh tubuh dan agendanya), tetapi dari kesadaran akan keterhubungan yang tak terpisahkan antara manusia dan lingkungan hidupnya, antara ekonomi sebagai cara berbagi kehidupan, epistemologi sebagai cara mengenali kenyataan, dan ekologi sebagai tanah di mana semua berlangsung. Dalam ruang ini, ekonomi tidak pernah netral, karena merupakan pengaturan bersama atas sumber kehidupan yang terbatas, dijalankan dengan rasa hormat terhadap batas-batas ekologis. Epistemologi pun tidak berada di menara gading, melainkan harus diletakkan sebagai ingatan kolektif, pengamatan musim, tanda langit, petunjuk leluhur, dan kebijaksanaan yang disimpan dalam tubuh, bahasa, dan ritus. Ekologi bukan objek yang dikelola, tetapi tubuh bersama tempat hidup berakar. Dari ketiganya, tumbuh cara hidup yang utuh, yang tidak didikte oleh tujuan luar, melainkan dituntun oleh ritme (siklus) dalam keberlangsungan hidup bersama.
Dalam konstitusi sosio-ekologi setempat, tidak ada hukum yang dilekatkan dari luar, sebab aturan hidup lahir dari dalam kehidupan itu sendiri. Aturan-aturan ini bersifat normatif bukan karena disahkan, tetapi karena dihayati; bukan karena dipaksakan, tetapi karena dianggap wajar dan layak oleh komunitas yang menghidupinya. Norma tidak terpisah dari tindakan, sebab tindakan sehari-hari [menanam, memanen, merawat, berbagi, berdoa] sendirilah bentuk dari ketundukan terhadap tata hidup bersama itu. Otoritas pun bukan perkara struktur, tetapi perkara pengakuan terhadap wibawa yang muncul dari kesetiaan, pengalaman, dan kebermanfaatan. Maka jikapun digunakan istilah kekuasaan, maka yang dimaksud bukanlah dalam pengertian konvensional dan konkret, atau dalam konteks ini tidak relevan jika dimengerti sebagai hak untuk memerintah; lebih tepat dipahami sebagai kemampuan menuntun kehidupan tanpa merusaknya. Sebuah bentuk tanggung jawab, bukan dominasi.
Yang disebut “konstitusi” di sini bukanlah sistem hukum tertulis, tetapi kerangka batin kolektif: seperangkat pengertian yang membentuk pola tindakan, pembagian ruang, musim ritus, dan cara menyelesaikan pertentangan tanpa merusak jaringan kehidupan. Konstitusi ini hidup karena terus dibaharui melalui praktik dan dialog lintas generasi. Norma dasar yang tidak memerlukan legitimasi dari luar karena akar legitimasinya adalah kebertahanan hidup komunitas itu sendiri. Tentu tidak perlu dibandingkan, diukur, atau disepadankan dengan sistem norma yang lain, karena keberadaannya tidak bersaing, melainkan berdiri sendiri sebagai dunia dalam dirinya sendiri, yakni dunia yang berdenyut bersama waktu dan tanah.
Dengan demikian, jika diajukan pertanyaan, apakah konstitusi sosio-ekonomi setempat mungkin? Maka pertanyaan tersebut perlu digeser, karena pertanyaannya bukan apakah konstitusi sosio-ekologi setempat “mungkin”, tetapi apakah kita masih sanggup mendengarkan keberadaannya, dan apakah kita bersedia menanggalkan cara berpikir yang memisahkan hukum dari hidup, pengetahuan dari pengalaman, dan politik dari tempat. Kesadaran kebermukiman adalah kesadaran yang tidak berpindah-pindah: tumbuh bersama dalam ekologi yang sama, pohon yang sama, dan sungai yang sama, dan dari situlah terbentuk seluruh kerangka nilai dan tindakan. Maka konstitusi ini tidak memerlukan pembenaran, karena tidak mengklaim universalitas, hanya keutuhannya sendiri.
Sikap yang demikian tentu bukan sikap eksklusif. Karena dalam dimensinya terdalam sikap tersebut mencerminkan inklusifitas. Suatu sikap yang dituntun oleh realitas sosio-ekologi setempat. Oleh sebab itu, tidak perlu dikontestasi dengan abstraksi, akan tetapi gagasan tersebut lebih punya makna jika dipandang sepenuhnya sebagai kesadaran dalam kedewasaaan. Dalam kerangka berpikir tersebut, rasanya kita tidak menjelaskan secara berlebihan, karena berpotensi salah dimengerti. Oleh sebab itu, cukuplah dengan kesadaran, atau cukup menghidupi kesadaran dengan tekun dan setia. Dan dalam kesetiaan itulah etika muncul, bukan sebagai aturan moral, melainkan sebagai pengertian mendalam: bahwa hidup bukan untuk dikuasai, tetapi untuk dialami bersama sebagai kenyataan yang sudah selalu begitu.
***
Lantas bagaimana konstitusi dalam kerangka ini dimaknai? Apakah konstitusi di sini menggunakan pengertian yang konvensional, ataukah ada pengertian yang perlu dibangun bersama? Tentu saja kita membutuhkan pengertian tersendiri. Sekali lagi bukan untuk eksklusif, melainkan agar tidak disalah mengerti.
Kembali kita kepada pokok, bahwa di tempat-tempat di mana manusia tidak hanya tinggal tetapi bermukim, tidak hanya hidup tetapi menyatu, kehidupan tidak dibentuk oleh perintah atau rancangan, melainkan oleh kesadaran yang tumbuh dari tanah itu sendiri. Di sana, relasi antara manusia, tanah, air, angin, dan sesama makhluk membentuk suatu tatanan yang tidak ditulis namun dijalani, tidak disahkan namun dihormati.
Tatanan yang dimaksud, bukanlah hukum dalam pengertian legal-formal, dan bukan pula budaya dalam pengertian ekspresi simbolik belaka. Mungkin lebih mendalam, lebih dasar, dan lebih mengikat, karena dapat dikatakan menyusun cara hidup itu sendiri. Inilah yang dalam pengertian tertentu dapat disebut sebagai konstitusi sosio-ekologi setempat: bukan dokumen hukum, bukan kesepakatan politik, tetapi pola hidup yang menubuh sebagai pengetahuan, batas, dan tanggung jawab yang dijalankan secara kolektif.
Berbeda dengan pengertian konstitusi yang mainstream, yakni sebagai teks tertulis yang menetapkan pembagian kekuasaan, hak warga, dan sistem hukum. Konstitusi sosio-ekologi setempat tidak berdiri di atas kehendak politik atau legalitas institusional. Bukan pula produk dari kontrak sosial atau perumusan rasional, melainkan hasil dari interaksi yang terus-menerus antara manusia dan ruang hidupnya, antara pengetahuan dan pengalaman, antara keberbatasan dan keberlanjutan. Dalam pengertian ini, konstitusi bukan hasil kritik terhadap sistem mainstream, tetapi penjelmaan dari kesadaran kebermukiman itu sendiri, yakni kesadaran bahwa hidup bersama harus dibangun dari keterhubungan, bukan dari kekuasaan konkret; dari batas dan ritme, bukan dari kontrol dan pengaturan.
Untuk memahami konstitusi dalam kerangka ini, kita harus bergerak dari fondasi terdalam kehidupan manusia: ekologi, ekonomi, dan epistemologi. Ekologi adalah ruang hidup itu sendiri, tanah, air, udara, makhluk-makhluk lain, yang menjadi syarat dan penopang kehidupan. Ekonomi adalah cara kita mengelola dan membagikan sumber daya yang ada dalam batas-batas yang ditentukan oleh ekologi itu. Epistemologi adalah cara kita memahami, mengenang, dan mewariskan pengetahuan tentang bagaimana hidup dengan benar di dalam ruang itu. Dari interaksi tiga poros ini, yang tidak pernah terpisah dalam praktik hidup komunitas, lahirlah struktur hidup yang kita sebut sebagai konstitusi sosio-ekologi setempat.
Konstitusi sosio-ekologi setempat dapat didefinisikan sebagai pola dasar kehidupan bersama yang tumbuh dari kesadaran komunitas atas keterhubungan antara tempat, kehidupan, dan pengetahuan, sebagai landasan yang tak tertulis namun mengikat dalam menjalani, menjaga, dan meneruskan tata hidup yang selaras dengan ekologi. Tidak berbentuk teks, tetapi hadir sebagai struktur yang dihayati (dialami) dan dijalani: dalam bagaimana tanah dibuka dan ditutup, bagaimana air dialirkan dan dibagi, bagaimana hasil panen disimpan dan diserahkan, bagaimana satu sama lain saling mengingatkan jika ada yang melampaui batas. Dalam semua itu, tidak ada hukum dalam arti institusional, tetapi ada aturan yang dijalankan dengan kesadaran dan rasa hormat—karena tahu bahwa melanggar berarti merusak sesuatu yang lebih besar daripada diri sendiri.
Unsur-unsur konstitusi ini menyatu dalam tindakan sehari-hari: pembagian ruang hidup, waktu tanam dan panen, bentuk otoritas yang berdasarkan pengalaman dan pengakuan, pengetahuan yang diwariskan melalui ritus dan bahasa lokal, serta etika yang dibentuk oleh kesadaran bahwa semua tindakan memiliki akibat ekologis dan sosial. Konstitusi ini tidak berasal dari kehendak legislatif, melainkan dari pengertian kolektif yang diperoleh melalui hidup bersama dalam ruang dan waktu yang berkesinambungan.
Etika yang muncul dari konstitusi ini pun bukan hasil dari ajaran yang dilekatkan dari luar, tetapi berakar pada kepekaan yang lahir dari relasi. Tahu kapan mengambil berarti tahu kapan memberi kembali. Tahu apa yang cukup berarti tahu bahwa yang lebih bukan keberuntungan, tetapi ancaman. Dalam pengertian ini, sekali lagi, etika bukan perintah, tetapi pemahaman tentang tanggung jawab yang muncul dari kedekatan dengan sumber kehidupan itu sendiri.
Karena itu, dalam konstitusi sosio-ekologi setempat, tidak dikenal konsep kekuasaan dalam pengertian administratif atau legal. Yang ada adalah otoritas sosio-ekologi, yakni otoritas yang muncul dari pengabdian, pengertian, dan kebermanfaatan. Seorang tidak diangkat atau dipilih, tetapi dikenali dari cara hidupnya yang menjadi teladan. Pribadi yang tidak memerintah, tetapi menuntun. Otoritas bukan diberikan, tetapi diakui melalui praktik menjaga kehidupan bersama.
Dalam dunia yang kini terperangkap dalam krisis ekologis, keretakan sosial, dan kekeringan makna, mungkin sudah saatnya kita berhenti mencari solusi dalam tataran sistem, dan mulai mendengarkan kembali konstitusi yang telah lama ada: konstitusi yang tidak lahir dari laboratorium atau meja perundingan, tetapi dari kesetiaan manusia kepada tanah, air, dan kehidupan itu sendiri. Konstitusi ini tidak mengatur hidup, tetapi mengalir di dalamnya. Dan karena itu, bukan masa lalu yang harus ditinggalkan, melainkan masa depan yang harus dijalani kembali, dengan penghormatan, kesabaran, dan kesetiaan yang mendalam. [Desanomia – 2.6.25 – TM]