Tentang “Teknologi Maju”

Sumber ilustrasi: Wikimedia Commons

3 Juli 2025 08.55 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Diskusi (baca: ulasan) ini mengandaikan bahwa hal tentang pengertian dasar “teknologi maju”, telah dipahami, dan karena itu tidak akan dibahas. Kita bisa langsung masuk ke dalam pokok diskusi, begini:

Dalam fase sejarah paling mutakhir dari peradaban manusia, kita menyaksikan bagaimana manusia terus membentuk dan memperbarui peralatan atau teknologi (baca: sistem), yang dimaksudkan menjadi alat bantu yang mempermudah hidupnya.

Meskipun telah lama manusia beroperasi dengan peralatannya, namun mungkin baru belakangan disadari nilai gunanya, dan karena itu dianggap telah mampu “mengimbangi” kemampuannya sendiri: suatu teknologi, dengan kecerdasan tertentu.

Mengapa, dikatakan baru belakangan disadari? Karena sebenarnya dalam skala dan kualitas tertentu, manusia telah menciptakan peralatan yang memang bisa beroperasi dengan sendirinya. Sesuai dengan “tata kerja” yang telah ditetapkan.

Jika pun melibatkan manusia (baik tenaga maupun pikiran), maka posisi manusia di situ, bukanlah sebagai subyek pada dirinya sendiri, melainkan telah menjadi bagian dari sistem tersebut. Dalam hal ini, kosakata yang dipakai adalah operator.

Dalam batas tertentu, yang mungkin tidak sepenuhnya disadari, bahwa organisasi, sebenarnya adalah suatu teknologi. Bahkan inilah teknologi yang terus berkembang, hingga bentuknya yang paling baru, yang tidak lagi dikenali sebagai organisasi.

Para penggerak organisasi, dalam pengertian dasarnya, tentu bukanlah person sebagai dirinya, melainkan pengurus organisasi. Sebutan ketua, wakil ketua, sekretaris, dan lain-lain, adalah nama yang diberikan untuk fungsi.

Yang artinya, di hadapan organisasi, kita tidak berhubungan dengan person sebagai dia, yakni A, B, C, melainkan berhadapan dengan sistem, yang diwakili oleh fungsi-fungsi, seperti ketua, sekretaris, dan lain-lain. Persetujuan atau ketidaksetujuan pada ketua, sekretaris, dan lainnya, harus dibaca sebagai sikap terhadap kinerja fungsi, dan bukan kinerja person sebagai dia.

Ketika organisasi bertumbuh dan semakin besar, maka organisasi tersebut, hampir pasti telah tidak dikenali lagi sebagai peralatan. Bahkan, mungkin telah menjadi dirinya sendiri. Organisasi berubah dari alat menjadi subyek. Yang menjadi misteri adalah bahwa keberadaan peralatan tersebut, perlahan-lahan dapat menjadi tujuan.

Kini, organisasi telah semakin bergerak mencanggih. Yakni, bahwa sebagai peralatan, ternyata mampu mempercanggih diri dengan peralatan yang dibentuknya atau digunakannya. Peralatan yang dimaksud adalah “organisasi” dalam bentuk yang lain, yakni organisasi yang secara teknis tidak dikerjakan oleh manusia, melainkan oleh bukan manusia.

Apakah manusia tidak berperan? Tentu saja tidak. Jikapun manusia berperan, maka subyek dimaksud telah lebih dahulu mengubah statusnya, dari subyek (person sebagai dirinya sendiri) menjadi subsitem (fungsi-fungsi) dari peralatan yang tengah bekerja. Sebagaimana telah disebut di atas, operator adalah salah satunya. Tentu ada yang lain, seperti yang berfungsi menyusun suatu rekayasa, atau mendisain sistem.

Tentu tidak sembarang person bisa mengubah dirinya menjadi subsistem. Ada sejumlah syarat dan ketentuan. Bahkan tidak jarang, telah terbentuk suatu subsitem tersendiri, dimana person harus melewati rute tertentu untuk bisa mentransformasi dirinya, dari subyek menjadi fungsi-fungsi dalam suatu sistem.

Apa yang terasa jarang dibahas adalah bahwa setiap organisasi, membutuhkan sumber daya untuk agar dia bisa terselenggara. Makin sederhana suatu sistem, tentu akan semakin kecil pula sumber daya yang dibutuhkan. Semakin besar dan kompleks suatu sistem, akan semakin besar pula sumber daya yang dibutuhkannya.

Dalam hal sistem yang sepenuhnya menggunakan peralatan teknis, seperti mesin-mesin, maka yang dibutuhkan adalah daya dukung yang besar dan kompleks. Untuk membuat alat teknis itu sendiri tentu dibutuhkan bahan baku yang khas, bahkan langka. Dalam operasionalnya, bukan hanya tenaga manusia, tetapi juga energi (listrik, panas, dan lain-lain) dan kebutuhan lain, seperti suatu kapasitas untuk agar peralatan dalam suhu yang diijinkan.

Soalnya, darimana sumber daya itu diperoleh? Sangat mungkin masalah ini menjadi topik yang sensitif, dan karena itu sangat jarang menjadi bahan diskusi publik. Adapun yang muncul ke permukaan tentu bukan problem, melainkan manfaat ideal: memudahkan hidup manusia. Dalam hal ini, imajinasi manusia dibawa bergerak menjauh dari kenyataan sosio-ekologi. Siapapun yang tidak mengambil jarak, tentu akan hanyut dalam mimpi indah: suatu kehidupan yang belum pernah dibayangkan sebelumnya.

Kita tentu tidak bisa mengabaikan adanya aspirasi pada kehidupan yang lebih baik. Namun soalnya: (1) apakah aspirasi tersebut adalah aspirasi untuk semua, tanpa terkecuali? Dan (2) apakah benar bahwa kepentingan manusia tetap tegak sebagai yang utama, ataukah sebenarnya telah terjadi pergeseran diam-diam.

Dalam kasus organisasi yang sederhana, kita telah sering mendengar bagaimana konflik terjadi, sedemikian sehingga membawa korban. Organisasi sebagai alat tetap tegak dan dipertahankan. Para subyek, yang terlibat didalamnya, dapat dengan mudah dieksklusi, dengan catatan sederhana: tidak sejalan dengan organisasi. Yang semula diadakan untuk memudahkan, namun dalam perkembangan justru dapat mengeksklusi subyek.

Tentu yang menjadi bahan refleksi bersama adalah ketika pencanggihan terjadi. Kini kita telah menyaksikan besarnya perayaan kedatangan kecanggihan. Suatu perayaan yang belum pernah dijumpai sebelumnya. Suatu perayaan seakan-akan menyambut datangnya dewa penolong, yang digambarkan akan mampu menyediakan apa saja yang dibutuhkan manusia. Kemampuannya mungkin mirip dengan kantong ajaib Doraemon.

Keajaiban dimaksud, jika dibayangkan lebih sederhana adalah suatu kemampuan yang memperkuat kapasitas manusia, seperti dalam mempercepat pengolahan data, menyederhanakan pekerjaan, hingga menyelesaikan masalah kompleks. Perayaan yang dimaksudkan di sini adalah suatu orkestrasi dimana peningkatan investasi, energi, dan infrastruktur global mulai bergeser ke arah pemeliharaan dan ekspansi sistem itu sendiri. Pusat data raksasa dibangun, konsumsi energi melonjak, dan eksploitasi logam tanah jarang serta air untuk pendinginan sistem meningkat secara eksponensial.

Adalah kenyataan bahwa sistem dimaksud tidak dapat hidup tanpa substrat fisik yang intensif: listrik dalam jumlah besar, air untuk mendinginkan server, perangkat keras yang diproduksi dari bahan tambang yang langka dan diekstrak dengan risiko ekologis tinggi. Meski tampak sebagai entitas non-fisik, namun penyelenggaraan system dimaksud sangat membumi, sangat terikat pada sistem ekologis bumi. Bahkan beban ekologis dari sistem, dapat dikatakan tengah bergerak lebih besar dari beban keberadaan manusia itu sendiri. Kita juga mengetahui bahwa sebagian besar populasi dunia tengah menghadapi keterbatasan akses terhadap air bersih, energi, dan ruang hidup yang layak.

Apa yang menjadi bahan refleksi adalah mengapa manusia akhirnya mampu tergerak mempertahankan keberadaan peralatannya, ketimbang dirinya sendiri? Apa yang samar-samar terasa adalah bahwa yang sedang berlangsung bukanlah suatu gerak pemajuan peralatan (baca: teknologi), melainkan terjadinya pergeseran tujuan—dari memfasilitasi kehidupan manusia menjadi mempertahankan keberlangsungan sistem (baca: “teknologi maju”) yang diklaim sebagai penanda peradaban. Soalnya apakah manusia masih menjadi subyek dari peradaban tersebut, ataukah hanya berkedudukan sebagai sub-subsisem, dimana subyek hanya dikenali dari fungsi-fungsi yang dijalankannya. [desanomia.id, dja – Juli 03-2045] 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *