Urbanisasi dan Masa Depan Desa

Ada pertanyaan lama yang terus saja muncul mengusik pikiran, yakni mengapa harus ada urbanisasi? Atau sederhananya mengapa orang desa harus pergi ke kota untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik? Mungkin di sini kita bisa berdebat tentang apa itu kehidupan yang lebih baik. Namun faktanya, dari waktu ke waktu, arus manusia terus bertambah dari segi jumlah. Bahkan di beberapa kota “besar” memberikan kesaksian tentang kenyataan tersebut dengan menolak kehadiran “pendatang” untuk mencari kerja di kota tersebut. Meskipun tentu sikap menolak dapat dipersoalkan, namun fakta bahwa arus masuk orang tidak dapat diingkari.

Franky and Jane dalam lagu “Seperti Mata Air Kehilangan Sungai”, menggambarkan suatu ironi, yakni: “Petani mencari kerja di kota//Orang kota mencari kekayaan di desa”. Apakah hal tersebut sepenuhnya benar? Tentu masing-masing kita dapat menjadi saksi. Sebagai contoh: apakah minat angkatan muda desa untuk bertani meningkat dari segi jumlah? Apakah pada umumnya mereka yang mengenyam pendidikan tinggi akan tetap tinggal di desa dan mengembangkan desanya? Apakah para orang tua di desa berminat memberikan nasehat pada anak-anaknya untuk membentuk masa depan di desa?

Sebaliknya, sebagian kita dapat memberikan kesaksian tentang arus orang dari desa ke kota, terutama pada momen paska lebaran. Tradisi mudik, mungkin juga adalah saksi tentang jumlah mereka yang tinggal di kota dan menggunakan momen liburan lebaran untuk kembali ke desa. Baik untuk melepaskan rasa rindu, tetapi juga mungkin untuk berbagi rejeki. Dan yang kerapkali terjadi adalah ketika kembali ke kota, terdapat kisah dimana sanak keluarga atau tetangga, yang ingin ikut mengadu nasib di kota. Arus ini, dapat dikatakan merupakan arus tenaga kerja yang akan mengisi sektor informal atau pekerja untuk industri dengan upah murah.

Senyatanya nasib baik tidak selalu bersama mereka yang datang dari desa. Bahkan tidak jarang sebaliknya. Jika ada kesempatan untuk bertemu dengan mereka yang mengadu nasib di kota besar, maka mungkin akan terungkap bagaimana perjuangan hidup yang tidak mudah. Barangkali tidak berlebih jika dikatakan bahwa sebagian besar dari mereka akhirnya mengisi lapis terbawah dari piramida sosial kota. Apabila keadaan itu yang terjadi, mengapa rasa ingin meninggalkan desa untuk mengadu nasib di kota tetap saja tumbuh? Benarkah desa benar-benar tidak bisa menjadi masa depan bagi orang-orang desa?

Makna

Pertanyaan tersebut bisa saja dianggap sebagai suatu kelancangan, karena berpotensi menggali lebih tentang apa yang sesungguhnya terjadi? Tentu tidak terhindarkan untuk mencari tahu, apa pandangan orang desa tentang segala sesuatu di luar sana (di luar desa). Bagaimana orang desa membuat perbandingan. Apa makna pendidikan yang masuk ke desa. Apakah pendidikan membuat peserta didik menjadi lebih cinta desa, atau sebaliknya, yakni membuat peserta didik makin tidak mengenal desanya atau tanah kelahirannya.

Untuk mengurainya, mungkin kita bisa mendekati masalah tersebut, melalui apa yang dapat disebut sebagai sesuatu yang datang dari luar desa. Satu, pendidikan. Dalam kerangka hidup bernegara, tentu saja negara, sesuai dengan kewajiban yang dirumuskannya, wajib menyelenggarakan pendidikan. Arahnya untuk meningkatkan kualitas manusia. Dan karena pendidikan untuk seluruh warga, maka tidak terhindar pendidikan tersebut berwatak nasional dan bukan lokal.

Apa masalahnya? Pada dirinya pendidikan tersebut tidak punya masalah, karena demikian itulah kedudukannya dalam kerangka negara. Yang menjadi soal adalah bagaiman orang desa merespon pendidikan tersebut. Apakah desa berkesempatan untuk memeriksa kurikulum dan menimbang maknanya terkait dengan keberadaan desa sebagai entitas yang memiliki sejarah tersendiri? Sudah tentu desa tidak dapat melakukan itu semua, dan dalam posisinya, desa tentu tidak bisa menolak dan dengan begitu pendidikan terselenggara.

Peserta didik sendiri pada akhirnya ikut dalam pendidikan nasional tersebut. Cita-cita negara terkait dengan kemajuan, dan perbandingannya dengan negara-negara maju lainnya, telah membuat peserta didik memiliki horison baru yang melampaui desanya. Dari sana pula lukisan masa depan dibentuk, yang secara umum dapat dikatakan bahwa masa depannya bukan lagi di desa, karena desanya dianggap terbelakang, tradisional dan miskin. Persepsi yang demikian itu menyebar, dan makin memarjinalisasi makna desa itu sendiri.

Dua, ekonomi baru. Sebenarnya ekonomi desa bukanlah ekonomi kuno. Ekonomi desa dapat dikatakan ekonomi biasa, yang ditandai dengan adanya pasar desa, dimana pertukaran barang dan jasa berlangsung. Meskipun kecil, namun dalam beberapa kasus, pertukaran barang dengan barang, mungkin masih bisa ditemui. Hal yang jelas bahwa gairah untuk mengakumulasi tidak memimpin pergerakan ekonomi. Sebagian peneliti menyebutnya sebagai susbsisten. Ada motif non ekonomi yang ikut bekerja.

Soalnya tentu bukan pada kinerja ekonomi itu sendiri, melainkan makin terintegrasinya ekonomi desa ke dalam ekonomi nasional dan bahkan global. Hal ini membuat apa yang dihasilkan desa nilainya tidak ditentukan oleh desa itu sendiri, sebaliknya oleh kekuatan di luar desa itu sendiri. Apa yang dirasakan dan tidak terjelaskan adalah suatu kenyataan dimana apa yang mereka simpan, dari waktu ke waktu, ternyata mengalami penurunan daya tukar. Tentu yang dikenal hanyalah kenaikan harga. Kenyataan itulah yang membuat ekonomi desa terus menurun. Dan bagi warga, makin tampak bahwa cahaya tidak datang dari desa, tetapi dari luar.

Tiga, bahasa. Bahasa merupakan pembentuk utama identitas sosial dan cara manusia memahami realitas. Dalam praktek sehari-hari yang bekerja di sini adalah bahwa bahasa yang berdaya guna hanyalah bahasa yang terkait dengan mobilitas sosial dan ekonomi, sehingga bahasa lokal dianggap “kurang berguna” di dunia modern. Ketika bahasa ibu mulai ditinggalkan, makna sosial dan kultural yang tertanam dalam bahasa tersebut turut terkikis.

Bahasa ibu tidak sekadar alat komunikasi, tetapi juga identitas kultural yang memperkuat rasa memiliki terhadap desa sebagai ruang hidup. Ketika bahasa ini digantikan, cara berpikir dan berperilaku juga bergeser. Keadaan tersebut makin diperkuat dengan tidak digunakannya bahasa ibu dalam pendidikan, media, dan administrasi, yang secara demikian komunikasi utama tidak menggunakan bahasa ibu. Memudarnya bahasa ini berarti terputusnya pengetahuan yang berakar pada konteks lokal. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa makna telah tidak lagi sepenuhnya dalam genggaman desa.

Ketiga hal tersebut tentu hanya sebagian dari penanda telah terjadinya pergeseran makna, yang dapat dikatakan sebagai penyumbang persepsi desa terhadap dirinya sendiri. Memudarnya makna desa bagi dirinya sendiri, dapat dikatakan menjadi salah satu penyebab dari tergerusnya kepercayaan orang desa pada desa. Bagi orang desa, secara perlahan-lahan seperti tengah terbentuk “rasa rendah” dibandingkan dengan apa yang dari luar. Dan pada sisi yang lain, untuk mencapai posisi tertentu, dianggap telah tidak mungkin lagi mengandalkan desa, alias melihat bahwa hanya dengan “ke luar” maka maksud bisa dicapai.

Keajaiban Desa

Memang akan mudah dianggap klise jika diajukan usulan: mengembalikan makna kepada desa? Tetapi, akan sangat sulit diterima jika anjuran menahan laju urbanisasi dilakukan dengan tidak mengubah apa-apa. Anjuran tersebut seperti tengah mengatasi hak setiap warga untuk tumbuh mengoptimalkan seluruh potensi yang ada pada dirinya. Lebih langkah membuat kota anti pada orang desa, dengan cara menjaga pintu masuk, dan memulangkan orang desa yang ingin mengadu nasib di kota. Karena itulah, mengatasi urbanisasi harus dilihat lewat sudut pandang yang tepat.

Soal yang perlu diajukan sebagai pokok diskusi adalah benarkah desa pada dirinya tidak punya masa depan? Benarkah desa harus mendapatkan dukungan dari luar agar dapat tumbuh dan mengoptimalkan seluruh potensi yang dimilikinya? Apakah desa membutuhkan pengetahuan dari luar desa agar dapat mengidentifikasi realitas diri dan potensinya? Apakah desa membutuhkan bantuan modal untuk dapat membiayai berbagai langkah untuk meningkatkan posisinya? Dan berbagai pertanyaan lain yang layak diajukan kepada desa dan para pihak di luar desa.

Untuk mendiskusikan pokok soal tersebut, kita bisa pergi ke masa lalu, untuk melihat bagaimana posisi desa dalam sejarah pangan dan pertanian. Meskipun suatu riset sejarah dibutuhkan, agar diperoleh gambar lebih rinci, akan tetapi dari gambaran umum yang telah ditampilkan, dapat dikatakan bahwa desa sejak masa silam memiliki daya tarik tersendiri, bahkan armada dari Eropa bersedia bersabung nyawa untuk sampai ke desa-desa untuk mendapatkan bahan pangan atau hasil-hasil pertanian dan perkebunan. Sejarah juga mencatat, bagaimana kinerja kolonialisme dalam memperlakukan desa. Apa artinya?

Jika kita mengamati perkembangan dunia pariwisata terutama dengan berkembangnya “desa wisata”, apa sebenarnya yang sedang terjadi? Banyak orang pergi ke desa untuk melihat secara langsung keindahan desa, terutama hamparan padi yang menguning. Tidak hanya itu, udara segar juga diburu. Bahkan para pemilik kapital yang cukup membuat penginapan berbintang, yang mempertahankan suasana desa. Pada sisi yang lain, kuliner desa juga dicari. Malah ada rumah makan yang menggunakan kata desa untuk menambah cita rasa para pengunjungnya. Apa arti semua itu?

Apabila kita bisa membuat refleksi bersama yang berbasis pada kearifan, maka mungkin akan diperoleh makna yang selama ini tersembunyi, terutama oleh arus deras informasi, dan berbagai gempuran gaya hidup baru, yang sangat mungkin membuat desa makin marjinal. Yakni bahwa sebenarnya desa, pada dirinya, terkandung suatu keajaiban. Apa yang dimaksud dengan keajaiban? Yakni desa memiliki kemampuan untuk hidup berkelanjutan sebagai suatu komunitas, yang mengandalkan kekuatan internalnya. Apa yang jarang dilihat dengan cermat adalah bahwa di desa terdapat tiga kekuatan produk pangan, yakni tenaga kerja, lahan dan air.

Lebih dari itu. Tata produksi pangan desa, dapat dikatakan adalah suatu sistem yang menjadi bagian dari kebudayaannya, yang artinya berdasarkan dan sekaligus membentuk sistem pengetahuan lokal, dan pada saat yang sama menyadari keberadaannya dalam realitas ekologis setempat. Apa yang ingin ditegaskan di sini adalah bahwa keajaiban desa tidak saja tentang kekuatan produksinya, melainkan juga tentang keberlanjutannya. Secara demikian, dapat dikatakan bahwa desa sebenarnya adalah masa depan yang menjanjikan. Karena dengan formasi tersebut kecukupan, keadilan dan keberlanjutan bisa diwujudkan di desa.

Mungkinkan desa menemukan kembali keajaibannya dan dengan itu desa dapat menawarkan hari depan yang lebih baik dan lebih bermakna? [Desanomia – 15.3.25 – TM]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *