Sumber ilustrasi: unsplash
18 Mei 2025 15.55 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Ada pertanyaan yang menarik: apa artinya kejuruan menyeduh kopi bagi pemuda/i desa? Apakah artinya, generasi muda desa harus berlomba untuk belajar menyeduh kopi, atau seperti apa? Bagaimana dengan desa yang tidak bisa menghasilkan kopi? Bukankah hanya akan membuat anak-anak desa menjadi punya ketergantungan? Jadi, apa artinya suatu kejuruan menyeduh kopi?
Menyeduh Kopi
Sebagian dari kita barangkali menganggap kegiatan menyeduh kopi hanyalah masalah yang sederhana, yakni meletakkan kopi di cangkir dan kemudian menyiram air panas kepadanya: jadilah secangkir kopi. Penyeduh tidak perlu repot-repot, cukup menyediakan gula dan segala yang lain, dan mempersilakan sang peminum kopi untuk melengkapinya sendiri. Sederhana sekali. Tapi, apakah sesederhana itu?
Rupanya kenyataan tidak bekerja dengan pikiran sederhana itu. Apa yang dianggap sederhana, dipelajari. Misalnya: apa yang terjadi ketika bubuk kopi disiram air panas? Apa yang membuat aroma kopi keluar semerbak? Apakah jenis kopinya, ataukah cara menyiramnya? Jika karena jenis kopi, pertanyaannya, jenis apa saja yang mengeluarkan harus semerbak? Dan, bagaimana rasa dari yang harum itu? Apakah pahit, asam, atau ragam rasa buah-buahan? Apabila cara menyiram kopi berpengaruh, maka bagaimana cara yang paling baik, sehingga seluruh cita rasa kopi keluar dan memberi rasa nikmat bagi yang meminumnya?
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang kini mulai bergerilya dalam banyak peristiwa dan pengalaman. Kita akan menjumpai juga dalam dunia kuliner. Akibatnya, dunia kuliner, bukan lagi tentang makan sebagaimana yang dulu dimengerti, akan tetapi menjadi suatu gaya hidup tersendiri. Makanan tidak lagi tentang unsurnya. Tidak lagi tentang cara memasaknya. Akan tetapi tentang bagaimana diolah, dan bagaimana disajikan. Bahkan, penamaan makanan menjadi penting. Apa yang paling mengejutkan adalah bahwa bagi sebagian orang, makan bukan peristiwa metabolism atau peristiwa “mulut”, melainkan peristiwa pikiran. Demikian itulah yang terjadi pada kopi.
Kompetisi
World of Coffee Jakarta 2025 yang berlangsung pada 15-17 Mei 2025 di Jakarta International Convention Center (JICC), adalah kegiatan yang tidak hanya mempromosikan produk kopi nasional, tetapi juga membuka pangsa global bagi produk lain merupakan bagian dari rantai pasok hilirisasi produk kopi. Dalam rangkaian kegiatan tersebut barista Indonesia, Bayu Prawiro, menjadi pemenang kedua World Brewers Cup 2025, sementara gelar juara diraih George Jinyang Peng asal China.
Ada dua yang dapat dilihat dari berita tersebut: (1) Pencapaian Bayu Prawiro sebagai pemenang kedua dalam ajang bergengsi World Brewers Cup 2025. Peristiwa Bayu, dapat dilihat sebagai peristiwa yang lebih dari sekedar “ketrampilan”, akan tetapi juga tentang kopi sebagai keseluruhannya, dimana kita menjadi bagian dalam “narasi besar kopi”.
(2) oleh karena yang pertama itu, maka dapat dikatakan bahwa peristiwa tersebut memberikan bukti bahwa talenta Indonesia dalam dunia kopi telah diakui di panggung internasional. Keberhasilan ini tidak hanya menjadi kebanggaan nasional, tetapi juga momentum strategis untuk mengangkat potensi kopi lokal, khususnya dari desa-desa penghasil kopi di Indonesia. Reputasi kopi Indonesia yang mendunia membuka peluang besar bagi usaha mikro dan koperasi desa untuk mengembangkan rantai nilai kopi — dari budidaya, pascapanen, hingga teknik seduh berkualitas tinggi seperti yang ditampilkan dalam kompetisi tersebut.
Desa
Kompetisi yang ditandai oleh pencapaian Bayu, seharusnya dapat menjadi inspirasi kuat bagi generasi muda desa untuk kembali melihat potensi desanya, bukan sebagai tempat yang tertinggal, melainkan sebagai pusat inovasi berbasis kekayaan alam.
Pertama, dalam hal kopi dan industri kopi, sudah tentu pengalaman kompetisi tersebut, dapat menjadi “model”, hal mengingat ada tren yang terus berkembang, yakni tradisi minum kopi yang makin meluas, dan sebagian telah menjadikan minum kopi sebagai gaya hidup dan status sosial. Hal ini berarti, bahwa jika digunakan pandangan yang pragmatis, seharusnya dapat dilihat sebagai peluang bagi usaha kopi – baik pada tingkat kecil maupun besar.
Dengan pelatihan barista, kewirausahaan kopi, dan akses pasar digital, anak muda desa bisa bertransformasi dari petani global — pengolah dan penyaji kopi spesialti yang berdaya saing. Dukungan dari pemerintah daerah dan lembaga keuangan mikro dalam bentuk pelatihan, inkubasi usaha, serta pembiayaan UMKM akan sangat vital untuk mewujudkan ekosistem kopi desa yang tangguh dan mendunia.
Kedua, dalam hal yang lebih luas, dapat dikatakan bahwa pengalaman kopi tersebut menunjukkan bahwa segala sesuatu yang mendapatkan perhatian lebih dan usaha dengan ketekunan, maka pada akhirnya akan dicapai sesuatu yang bermakna. Pada titik inilah, angkatan muda dituntut untuk lebih terang dalam melihat apa yang menjadi kekuatan desa, dan tidak lagi melihat masa depan di luar desa. Pengalaman kopi di atas, seharusnya dapat menjadi inspirasi, yang membuat generasi muda desa, menjadi kekuatan ekonomi baru, yang mampu menggerakkan desa untuk menjadi masa depan yang serba kecukupan, penuh keadilan dan berkelanjutan. (Siti Badriyah, dari berbagai sumber).