Komunitas Strategis

Dalam suatu obrolan berkembang pertanyaan penting penuh makna: apakah desa masih punya masa depan? Mengapa pertanyaan ini masih diajukan di tengah optimisme yang berkembang setelah terbitnya UU Desa pada 2014 yang lalu (lebih dari satu dasawarsa)? Bukanlah dana dan program Pembangunan yang masuk desa bertambah-tambah, baik dalam jumlah maupun dari keragaman jenis program. Bukankah perhatian pada desa telah semakin besar, terlebih ketika agenda swasembada pangan disorong ke depan, agar dapat diwujudkan pada 2025 ini. Lantas, mengapa sayup-sayup muncul pertanyaan tentang masa depan desa?

Jika kita andaikan bahwa pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang valid, maka kita perlu mencari tahu, hal apa yang memungkinkan pertanyaan tersebut muncul? Beberapa keadaan berikut barangkali dapat dipertimbangkan:

  • Satu, pertumbuhan populasi dan kesenjangan sosial. Meskipun di beberapa negeri muncul masalah yang dapat disebut sebagai “depopulasi”, namun secara umum jumlah penduduk planet bumi meningkat dengan pesat. Dalam konteks Indonesia, kini populasi diperkirakan 283,49 juta jiwa – data Januari 2025. Pada dua dasawarsa yang lalu diperkirakan sekitar 230.9 juta, yang artinya dalam dua puluh tahun bertambah sekitar lima puluh juta jiwa. Laju pertumbuhan penduduk tentang membawa dampak pada meningkatnya kebutuhan akan pangan, energi dan air, serta sumber daya lainnya. Tantangannya tentu tidak hanya soal ketersediaan, melainkan juga distribusi kebutuhan dasar dan sumber-sumber kemakmuran. Pada kenyataannya ketersediaan, tidak disertai dengan distribusi sumber daya yang adil. Akibatnya kesenjangan terjadi, baik kesenjangan sosial, kesenjangan wilayah dan kesenjangan kota dan desa.
  • Dua, perubahan iklim dan ancaman terhadap keamanan pangan. Perubahan iklim secara nyata telah mengganggu pola tanam, mengurangi produktivitas lahan, dan meningkatkan risiko gagal panen. Dampak ini sangat terasa bagi komunitas agramaritim, khususnya pertanian yang bergantung pada sistem pertanian berbasis cuaca dan musim. Hendak ditegaskan di sini bahwa perubahan iklim juga memperparah ketidakpastian dalam ketersediaan air, mengancam ketahanan pangan, dan memaksa petani untuk beradaptasi dengan kondisi yang sulit diprediksi. Situasi ini tentu memberikan dampak yang lebih jauh, yakni terjadinya keadaan yang tidak sejalan, yakni kebutuhan akan ketersediaan pangan telah mendorong langkah akselerasi, dan persis langkah itulah yang akan makin menyumbang kerusakan daya dukung lingkungan.
  • Tiga, ekonomi moneter dan perang mata uang yang memarjinalisasi produsen pangan. Tentu saja hal ini membutuhkan riset tersendiri. Namun, kenyataan bahwa nilai uang terus mengalami fluktuasi. Penurunan nilai yang signifikan tentu akan memberi dampak pada kemampuan daya beli para produsen pangan. Pada sisi yang lain, hasil produksi bahan pangan tidak sepenuhnya dalam kendali para produsen, akan tetapi ada mekanisme yang mengaturnya. Salah satu akibat yang bersifat rutin adalah bahwa ketika panen, harga justru jatuh dan akibatnya para produsen tidak dapat menikmati hasil kerjanya. Secara sederhana hendak dikatakan bahwa sistem ekonomi yang bekerja, yang berfokus pada nilai moneter kerap “mengabaikan” nilai intrinsik dari hasil pertanian dan kerja komunitas produsen pangan.
  • Empat, dominasi teknologi dan ancaman terhadap akar sosial-ekologis. Tidak bisa dihindari dan tidak bisa diingkari, suatu kenyataan dimana pikiran manusia berkembang. Berbagai masalah yang datang, dihadapi dengan cara membuat alat-alat bantu. Yang menjadi tantangan adalah bahwa alat bantu yang diciptakan, punya sifat eksklusi. Yakni bahwa teknologi maju, meskipun menawarkan efisiensi dan kemudahan, juga berpotensi menggeser pola pikir dan gaya hidup komunitas yang berakar pada nilai sosial dan ekologi. Ketergantungan berlebihan pada teknologi dapat mencabut komunitas dari hubungan yang intim dengan ekosistemnya.
  • Lima, politik yang mengikis solidaritas dan kebersamaan. Dalam kondisi di mana politik menjadi sangat dominan (serba politik), komunitas sering kali terpecah akibat kepentingan politik yang membelah solidaritas sosial. Persaingan politik yang berlebihan dapat menciptakan ketegangan sosial, melemahkan kepercayaan, dan menghambat kolaborasi yang seharusnya menjadi kekuatan utama komunitas. Apa yang berpotensi hilang? Yakni pendekatan “saling percaya” atau rasa percaya, yang digantikan oleh pendekatan “tidak saling percaya” atau “rasa saling curiga”. Ujungnya adalah dominasi dan eksklusi, dan bukan hidup bersama dalam realitas sosio-ekologi setempat.

Respon

Jika lima keadaan yang berkembang tersebut dapat diterima sebagai kecenderungan yang bergerak dalam realitas, maka pertanyaan yang muncul menjadi masuk akal. Jika keadaan tidak mendapatkan respon yang baik dan benar, maka bukan tidak mungkin desa akan menjadi sejarah. Soalnya, apakah eksklusi atas desa, hanya akan berdampak pada des aitu sendiri, ataukah akan membawa pengaruh pada tatanan yang lebih luas? Kita layak berpandangan bahwa desa merupakan bagian dari sistem global, yang secara demikian marjinalisasi atau bahkan eksklusi pada desa, tidak saja berdampak pada desa, melainkan juga akan memiliki dampak besar pada tatanan dunia. Sebaliknya, ketika desa memberikan respon, maka hal itu, tidak hanya akan menjadi jalan bagi desa untuk eksis secara berkelanjutan, bermakna bagi desa itu sendiri, melainkan juga berpotensi untuk ikut mendorong transformasi menuju tata dunia baru, yang lebih menyadari realitas bumi, sebagai ruang hidup berkelanjutan umat manusia.

Apakah respon dimungkinkan? Pertama, bahwa tidak sebagaimana pandangan lama yang menganggap atau yang memotret desa (dalam hal ini kaum petani), sebagai komunitas subsisten (bertahan dalam kondisi yang ada), atau pandangan yang menganggap bahwa elemen-elemen dari komunitas cenderung berpikir secara rasional dalam menghadapi realitas dan senantiasa berusaha mencapai keuntungan dalam kondisi tersebut. Kita mengambil pandangan bahwa sejarah desa sebenarnya menjelaskan suatu kenyataan dimana desa pada masa lalunya sebenarnya berorientasi pada keberlanjutan, dengan mengelola sumber daya secara natural, atau dalam batas tertentu dapat dikatakan berbasis regenerasi sosial-ekologis. Tentu pernyataan ini membutuhkan riset tersendiri, namun jika kita memeriksa kondisi desa di beberapa daerah, memang dapat dilihat jejak dari sistem pertanian yang bersifat regeneratif dan dapat dikatakan berpegang pada prinsip kecukupan.

Kedua, apabila kita meninjau kembali peristiwa awal pembentukan negara, dimana dalam konstitusi awal, khususnya sebagaimana yang dinyatakan oleh bagian penjelasan pasal 18 UUD’45, terungkap sikap negara, yang mengakui dan menghormati keberadaan negara. Pengakuan tersebut dapat dibaca sebagai pernyataan bahwa desa secara factual bukan lah hasil konstruksi negara. Dan dari sikap itu, rasanya tidak berlebihan jika dibaca pula bahwa negara, dalam hal ini, tidak sekedar memasukkan desa dalam wilayah negara, melainkan juga adanya komitmen dari negara untuk menjaga desa dengan segala keutuhannya. Makna tersebut merujuk pada pernyataan negara yang mengatakan bahwa segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut. Tentu sikap negara tersebut bukan suatu sikap tanpa dasar dan bukan sikap sejenis janji dalam kampanye politik, terlebih jika diletakkan dalam kenyataan bahwa negara berdasarkan pada Pancasila.

Dengan dua hal tersebut, kita ingin mengatakan bahwa secara internal dan eksternal, desa memiliki potensi untuk memberikan respon terhadap situasi yang berkembang. Secara internal bermakna bahwa desa pada dirinya memuat prinsip dan gagasan yang memungkinkannya berkembang dalam realitas sosio-ekologisnya. Secara eksternal, negara memberikan jaminan untuk suatu proteksi, sehingga segala upaya desa untuk bergerak dalam koridor sosio-ekologisnya, tentu akan mendapatkan dukungan dan perlindungan. Jika demikian, maka yang akan menjadi tantangan selanjutnya adalah kesadaran apa yang perlu dihadirkan oleh desa, atau cara pandang seperti apa yang dibutuhkan, agar desa dapat memberikan respon strategis, yang secara demikian dapat dikatakan bahwa desa sesungguhnya adalah komunitas strategis.

  • Satu, desa sebagai ruang hidup yang menyadari peran strategisnya. Pemikiran ini menempatkan desa bukan sekadar sebagai ruang yang statis, tetapi sebagai penyangga kehidupan yang berperan vital dalam menjaga keberlanjutan sosial, ekonomi, dan ekologis. Desa memiliki keajaiban berupa adanya tiga elemen fundamental yang menjadi kekuatan dalam produksi pangan: tenaga kerja, tanah, dan air – sebuah kombinasi yang secara historis terbukti menopang kehidupan. Ketika desa mampu membangun formasi ideal atas seluruh kekuatan yang ada, maka keberadaan desa akan menciptakan potensi luar biasa yang memungkinkan desa menjadi pusat produksi pangan, ruang konservasi ekologis, sekaligus wilayah yang mampu menciptakan model ekonomi yang berkelanjutan.
  • Dua, menyadari bahwa seharusnyalah pangan menjadi basis utama dari nilai uang. Konsep ini menyoroti bahwa pangan bukan sekadar komoditas ekonomi, melainkan memiliki nilai yang jauh lebih fundamental: sebagai sumber kehidupan, identitas budaya, dan penopang stabilitas sosial. Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan perang mata uang, pangan menjadi basis nilai utama dari ekonomi, mengingat posisi pangan yang langsung terkait dengan kelangsungan hidup manusia. Komunitas yang berorientasi pada kecukupan pangan berkelanjutan tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, tetapi juga memiliki posisi strategis dalam menghadapi ketidakstabilan ekonomi global.
  • Tiga, ekonomi desa adalah ekonomi masa depan. Desa yang memahami ruang hidupnya sebagai ekosistem yang utuh akan mampu mengembangkan model ekonomi yang lebih tahan terhadap guncangan eksternal. Berbeda dengan ekonomi moneter yang rentan terhadap spekulasi, ekonomi desa berorientasi pada produksi yang berkelanjutan, distribusi yang adil, dan konsumsi yang bijak. Bahkan desa yang mengelola sumber daya lokal dengan cerdas mampu menjadi penopang kehidupan kota dan kawasan urban yang semakin bergantung pada suplai pangan, air, dan sumber daya alam.
  • Empat, pengetahuan lokal sebagai kekuatan masa depan. Pengetahuan lokal adalah modal intelektual yang berakar pada pengalaman panjang dalam mengelola sumber daya alam, pola tanam, mitigasi bencana, hingga praktik sosial yang berkelanjutan. Berbeda dari pandangan modern yang menganggap pengetahuan lokal sebagai “kuno”, komunitas strategis menempatkan pengetahuan ini sebagai modal inovasi yang dapat dipadukan dengan teknologi modern. Pengetahuan ini tidak hanya berfungsi untuk menjaga tradisi, tetapi juga mampu menciptakan solusi natural yang berbasis pada kearifan sosial-ekologis.
  • Lima, komunitas bukan lagi sekadar komunitas subsisten, tetapi berkelanjutan. Konsep ini menegaskan bahwa komunitas tidak cukup hanya “bertahan hidup” (subsistensi), melainkan harus mampu merancang sistem sosial-ekonomi yang berorientasi pada keberlanjutan. Keberlanjutan ini melibatkan pemenuhan kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak generasi mendatang. Komunitas yang berkelanjutan tidak hanya berfokus pada produksi pangan, tetapi juga pada regenerasi tanah, konservasi air, dan pengelolaan sumber daya yang bertanggung jawab.
  • Enam, komunitas yang berpikir jauh ke depan, bukan sekadar kalkulatif. Komunitas strategis tidak berorientasi pada keuntungan sesaat, tetapi mengembangkan pola pikir yang berorientasi pada visi jangka panjang. Alih-alih mengadopsi mentalitas untung-rugi yang berisiko menciptakan praktik eksploitasi sumber daya, komunitas strategis mengutamakan pendekatan yang berbasis keseimbangan sosial, ekologi, dan ekonomi. Pemikiran ini menciptakan ruang bagi inovasi yang tidak hanya menguntungkan komunitas saat ini, tetapi juga melindungi hak-hak generasi mendatang.

Apakah keenam kesadaran tersebut berlebih-lebihan? Tentu saja keenampnya akan tampak sebagai berlebihan jika ada biasa “mainstream” yang berkuasa dalam pikiran kita. Maksudnya adalah bahwa pada kebanyakan pandangan, senantiasa menempatkan desa pada posisi subordinat, yang seakan-akan desa tidak memiliki cukup kemampuan untuk melihat dunia yang kompleks. Pandangan yang demikian ini dapat dengan mudah ditemukan ketika memberikan penilaian kerja produksi pangan. Kerja petani di sawah, pada kebanyakan pihak dianggap sebagai hanya kerja fisik atau kerja otot. Sangat jarang atau bahkan mungkin tidak ada yang menganggap kerja tani adalah kerja utuh, yakni kerja gabungan antara fisik dan intelektual. Apa yang jarang disadari, meskipun terlihat nyata, bahwa petani menghadirkan yang tidak ada menjadi ada. Suatu kerja yang bisa dikatakan kerja “menciptakan”. Kerja tani bukan kerja dari pikiran menjadi pikiran, melainkan dari suatu “ketiadaan” menjadi “ada” (panen). Dan hasil kerjanya bisa dinikmati oleh semua orang: untuk bisa makan hasil pertanian, anda tidak perlu mencapai kualitas tertentu.

Apabila dimungkinkan, lantas bagaimana mewujudkannya, agar benar-benar menjadi kesadaran baru yang dapat menjadi pedoman bagi desa untuk dapat memberikan sumbangan strategis bagi kehidupan? Hal yang penting disadari adalah bahwa enam poin yang disebutkan di atas, sesungguhnya bukan hal yang sepenuhnya tidak ada dalam kesadaran desa. Kita ingin mengatakan bahwa kesadaran tersebut sesungguhnya telah ada. Namun keadaan telah membuat kesadaran terhadap poin-poin tersebut seakan terselimuti, sehingga ketlingsut dalam keramaian peristiwa harian. Yang dibutuhkan desa adalah ruang refleksi. Pada titik inilah kita ingin mengatakan bahwa akan sangat ideal jika desa mendapatkan fasilitasi dari perguruan tinggi atau kalangan cerdik pandai. Suatu upaya yang memungkinkan desa untuk melakukan refleksi kritis, dan dengan refleksi tersebut desa menemukan kembali apa yang hilang, dan apa yang masih mungkin untuk direvitalisasi kembali. Tentu dibutuhkan cukup waktu untuk sampai ke sana. Namun kita percaya bahwa desa pada waktunya akan menjadi komunitas strategis. Kala itu, desa bukan hanya tidak hilang, namun hadir dengan penuh makna. [Desanomia – tm – 11.3.2025]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *