sumber ilustrasi: unsplash
Desanomia [4.4.2025] Para petani tomat di Mechinagar, Jhapa Nepal, menghadapi kesulitan besar akibat harga tomat yang terus merosot di pasar lokal, meskipun pasokan tomat sangat melimpah. Salah satu petani, Dipesh Dangal, mengungkapkan bahwa dirinya hanya memperoleh margin keuntungan sebesar Rs5 per kg tomat setelah mengeluarkan biaya produksi yang tinggi.
Dangal, yang mengelola satu setengah bigha tanah dan memanen tomat dua kali seminggu, menyatakan bahwa ia bahkan tidak akan bisa mengembalikan modal yang dikeluarkan kali ini. Dangal merasa bahwa menanam tomat tidak memberikan hasil yang memadai karena pasar yang tidak ada. Dirinya mengungkapkan bahwa investasi yang dikeluarkan untuk pertanian tomat kali ini tidak akan kembali.
Petani lain, seperti Bimala Bhujel yang mengelola Pathibhara Agricultural and Vegetable Farm, juga menghadapi nasib yang sama. Dirinya mengungkapkan bahwa meskipun sudah mengeluarkan sekitar Rs800.000 untuk menanam tomat di dua bigha tanah, hasil panennya tidak laku di pasar. Bhujel mengkritik impor tomat dari India yang menurutnya merugikan petani lokal dan menyarankan bahwa jika pemerintah membatasi impor tomat, petani lokal akan dapat memperoleh harga yang lebih baik untuk produk mereka.
Masalah ini bukan hanya terjadi pada Dangal dan Bhujel. Di daerah Mechinagar dan Buddhashanti, sebagian besar petani yang mengandalkan budidaya tomat untuk mata pencaharian menghadapi hal yang serupa. Purna Bahadur Khadka, petani di Boudha Mode, Mechinagar, mengungkapkan bahwa ia mulai mempertimbangkan untuk beralih dari pertanian karena tidak adanya pasar yang menguntungkan untuk tomat. Dirinya menyatakan bahwa saat ini masyarakat lebih mendukung mereka yang ingin bekerja di luar negeri dibandingkan mereka yang ingin bertani.
Menurut data dari Pusat Pengetahuan Pertanian, tomat dibudidayakan di lebih dari 1.100 hektar lahan di Jhapa, dengan hasil rata-rata sekitar 22 ton per hektar. Namun, tingginya produksi tomat menyebabkan pasar kesulitan menyerap pasokan yang ada. Meskipun harga tomat di pasar eceran mencapai Rs25 per kg, petani hanya mendapatkan sekitar Rs10 per kg setelah dikurangi biaya-biaya seperti transportasi, komisi pasar, dan biaya pekerja.
Para petani mengeluhkan kurangnya dukungan dari pemerintah Nepal, terutama dalam hal subsidi atau kebijakan yang dapat melindungi mereka dari persaingan dengan tomat impor yang lebih murah. Di sisi lain, petani di daerah Buddhashanti menyatakan bahwa mereka terpaksa menjual hasil panen mereka dengan kerugian karena pasokan tomat impor yang terus mengalir ke pasar lokal.
Dilnath Kafle, presiden Koperasi Pertanian Shantinagar di Buddhashanti, menjelaskan bahwa petani seringkali harus membawa pulang hasil panen yang tidak terjual karena pasar dipenuhi tomat impor dari India. Ia menambahkan bahwa jika pemerintah membatasi impor tomat, maka petani lokal akan memiliki peluang lebih besar untuk menjual hasil pertanian mereka.
Di sisi lain, meskipun produksi tomat lokal menurun, impor tomat dari India terus meningkat. Data dari Kantor Bea Cukai Mechi di perbatasan timur Nepal menunjukkan bahwa pada akhir Februari, Nepal mengimpor tomat senilai Rs42,7 juta dari India.
Buah Pikiran
Krisis yang dihadapi petani tomat di Nepal menunjukkan terdapat ketidakseimbangan antara produksi lokal dan pasar yang didominasi oleh tomat impor. Meski potensi pertanian di Nepal sangat besar, petani kesulitan bersaing dengan tomat impor yang lebih murah. Pemerintah Nepal perlu segera mengambil langkah-langkah untuk melindungi petani lokal, baik dengan membatasi impor atau memberikan dukungan finansial dan kebijakan yang mendorong keberlanjutan sektor pertanian. Jika tidak ada tindakan yang tepat, sektor pertanian Nepal dapat menghadapi masa depan yang suram, dengan semakin banyak petani yang terpaksa meninggalkan ladang mereka. (NJD)
Sumber: asianews.network
Link: https://asianews.network/tomato-prices-in-nepal-crash-amid-market-glut/