Berakar dalam Desa, Bertumbuh dalam Musyawarah

Jika demokrasi dan segala politik didalamnya adalah obyek kajian, dimana publik dimungkinkan ambil bagian, maka ruang refleksi akan terbuka lebar. Apa yang semula dipandang tabu, akan dimungkinkan untuk dikaji publik, apa yang tidak mungkin telah dipandang sebagai hal dalam kepastian, akan terbuka untuk diragukan, agar daripadanya dapat tersingkap apa yang semula mungkin terselimuti kabut tebal.

Desa

Transformasi demos ke desa, membutuhkan kejelasan tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan desa. Jika kita mengandaikan bahwa apa yang tertulis dalam teks hukum adalah endapan dari ragam pengetahuan dan maksud, maka dimungkinkan bagi kita untuk merujuk pengertian tentang desa dari teks hukum:

UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, mendefinisikan: Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara kelurahan didefinisikan sebagai suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat, yang tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Dari kedua definisi jelas bahwa perbedaan pokoknya pada: berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.

UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, mendefinisikan: Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun pemerintahan desa didefinisikan sebagai penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan pemerintah desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa.

Apa penting dilihat dari dua definisi tersebut? Yakni bahwa keduanya jelas mengembangkan makna yang berbeda. Yang kedua dapat dikatakan sebagai kritik atas yang pertama. Dan perbedaan tersebut tidak dapat dilepaskan dari kenyataan bahwa struktur kekuasaan pembentuk UU tersebut juga berbeda. UU No.5 tahun 1979 adalah kebijakan dari suatu rejim sentralistik, yang mengepankan stabilitas politik. Sedangkan UU No.6 tahun 2014, adalah kebijakan produk dari rejim reformasi, yang dalam pembentukan kebijakan tersebut, memberi ruang keterlibatan penuh civil society dan desa sendiri. Dari situ dapat dikatakan bahwa makna tentang desa, pada dasarnya tidak bergantung kepada dirinya sendiri, melainkan pada kekuatan dari luar dirinya, yang oleh karena konfigurasi politik memungkinkannya menentukan makna desa.

Apakah makna desa yang akan dirujuk adalah maknanya yang politis dan teknokratik, yang bergantung pada cuaca politik, ataukah dimungkinkan membuat pengertian tersendiri? Jika kita merujuk pada penjelasan pasal 18 UUD’45 (sebelum amandemen), maka akan tampak: (1) bahwa negara mengakui keberadaan desa (atau yang disebut dengan nama lain) yang telah ada lebih dahulu daripada negara; dan (2) bahwa dalam keberadaannya tersebut, desa memiliki identitas tersendiri, sesuatu dengan asal-usulnya, yang secara demikian pada diri desa, terdapat kemampuan untuk mengurus urusan rumah tangganya sesuai dengan kepentingan dan kenyataan sosio-ekologi setempat. Dari sini, dapat dikatakan bahwa sesungguhnya setiap desa memiliki makna tersendiri yang dimengerti oleh masing-masing desa, yang menjadi bagian dari identitasnya.

Jika pun kita memaksakan diri untuk memahaminya, maka beberapa hal dapat dijadikan acuan, yakni: (a) kenyataan bahwa desa adalah realitas sosio-ekologi setempat; (b) bahwa berdasarkan hal tersebut (poin a), sangat jelas bahwa desa memiliki sejarahnya sendiri atau asal usulnya masing-masing yang unik; (c) bahwa dengan demikian (poin b), masing-masing desa memiliki tata hidup dan kultur, yang merupakan produk dari kehidupannya dan bahkan dapat dikatakan bahwa desa adalah pula suatu sistem pengetahuan yang menopang kehidupannya; dan (d) bahwa dengan itu pula, desa walaupun memiliki kepentingan eksklusif terkait dengan keberlanjutan kehidupannya, namun dalam batas-batas tertentu, dapat dipastikan bahwa antar desa terdapat jalinan kerjasama yang memungkinkannya untuk mengatasi problem yang tidak bisa diselesaikan secara internal – kendati juga tidak bisa diingkari bahwa oleh kepentingan yang eksklusif tersebut tidak jarang terjadi konflik, demi keberlangsungan kehidupan masing-masing.

Artinya, desa bukan suatu wilayah yang dihuni oleh komunitas, dimana antar komunitas tidak terjadi relasi yang membentuk tata sosio-kultural, dan dimana antar komunitas dan lingkungan tidak terjadi relasi yang membentuk tata sosio-ekologi setempat. Desa bukan satuan yang dapat disederhanakan hanya sebagai “alamat” atau satuan administrasi dan teknokratik, yang tidak hidup dan bendawi. Desa adalah kehidupan. Yang dengan itu, jika dinyatakan bahwa demos di desa bukan lagi demos yang abstrak, atau demos yang dideskripsikan dengan angka [baca: desa dalam angka], melainkan demos yang hidup, demos yang saling interaksi diantara mereka dan demos yang berdiam di desa, yang dengan demikian terdapat interaksi antara demos dan realitas ekologi setempat, yang membuatnya tidak mungkin bertindak yang dapat merusak “rumah”nya sendiri. Hanya demos yang abstrak yang dapat merusak tempat tinggalnya, karena rumahnya di dalam administrasi dan bukan alam nyata.

Kratos dalam Desa

Jika mengacu pada pengertian yang termuat dalam UU No.5 tahun 1979, sangat jelas bahwa pemerintahan di desa, lebih mencerminkan keberadaan negara di desa, dan bukan keberadaan komunitas di desa itu sendiri. Namun mungkinkan desa benar-benar berangkat dari konsep “hak asal-usul”, atau dengan kata lain, benarkah desa dapat mengacu kepada masa lalunya dalam menyusun hari ini dan hari depannya? Bukankah desa dalam kenyataanya telah ada di dalam negara? Apakah desa masih memiliki hak substantial atas maknya keberadaannya? Ataukah sebenarnya tidak. Walaupun teks mengatakan bahwa ketentuan berdasarkan kesadaran akan adanya hak asal-usul. Masing-masing kita sangat mungkin memiliki pandangan yang berbeda satu sama lain.

Bagi yang mengatakan bahwa desa masih mungkin “memiliki” dirinya sendiri (mulai dari sejarah, nilai dan segala sesuatu yang ada di desa), maka tantangan yang terdekat yang bisa diajukan adalah apakah komunitas dapat sepenuhnya “mengontrol” gerak langkah kebijakan desa, atau apakah seluruh pergerakan pembangunan desa dimana pemerintahan desa menjadi lokomotifnya, mencerminkan apa yang menjadi kepentingan dasar dari komunitas, dan pada setiap tahapnya komunitas dapat mengontrol? Ketika negara menetapkan kemana alokasi anggaran desa, dan ketika melakukan kontrol ketat atas anggaran desa, apa maknanya? Apakah hal tersebut semata-mata prosedur hukum, ataukah di balik itu dapat diartikan sebagai cermin dari penyelenggaraan kendali atas desa? Bagaimana kenyataan tersebut diberi makna?

Bagi yang menyatakan bahwa memang desa sesungguhnya telah merupakan realitas yang tidak lagi ada dalam kendali desa itu sendiri. Dan kenyataan tersebut merupakan hal yang normal dalam kerangka negara. Kenyataan menjadi lebih jelas, manakala di lokasi desa tersebut terdapat asset yang tidak dapat secara otomatis diklaim sebagai asset desa, seperti tambang atau sejenisnya. Pada masa lalu, hal yang demikian ini, dapat lebih tampak, seperti dalam kasus pengembangan kawasan hutan, dimana hasil hutan digunakan sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Wilayah hutan dianggap sebagai wilayah tidak bertuan, meskipun nyatanya ada komunitas yang telah hidup selama ratusan tahun atau bahkan lebih. Oleh karena mereka tidak dapat menunjukkan bukti formil pemilikan atau penguasaannya atas tanah di wilayah tersebut, maka dengan sendirinya haknya atas wilayah tersebut tidak dapat diakui.

Dua hal ini adalah suatu kontras tentang bagaimana makna desa pada gilirannya akan memberi pengaruh pada hidup desa dan pengaturan atasnya. Secara de facto, pengertian kedualah yang berkembang dan terselenggara. Apa yang disebut sebagai “otonomi desa” lebih merupakan harapan ketimbang kenyataan. Dan hal itu, tentu saja dapat dibenarkan dalam kerangka (hukum) negara. Masalahnya pertama-tama tentu bukanlah terkait susunan, melainkan pada kinerja “kekuasaan” (baca: pemerintahan) dalam menghadapi realitas sosio-ekologi setempat. Ketika demos tidak bersarang dan lebih mencerminkan angka-angka statistik, maka dengan sendirinya kratos juga tidak bersarang, dan bahkan lebih mendekati format dimana kratos (desa) mencerminkan kehadiran negara di desa. Dalam modus kehadiran yang demikian itu, tentu akan menjadi tantangan tersendiri jika terdapat ketentuan setempat dimana kratos dibatasi oleh realitas keberadaannya.

Sebagaimana dikatakan pada artikel sebelumnya, bahwa idealnya kratos ada dalam kesadaran bahwa dirinya tidak mungkin mengkhianati ruang hidupnya, atau dengan sendirinya ada kewajiban eksistensial, yang mengharusnya dirinya tunduk pada nalar kehidupan setempat: nalar sosial yang menjelma dalam relasi kebersamaan, kepemimpinan kolektif, dan musyawarah; serta nalar ekologis yang menjelma dalam tata ruang, pengelolaan sumber daya, dan ritme hidup yang selaras dengan alam. Artinya kratos berakar pada realitas sosio-ekologi setempat. Jika hal tersebut dimungkinkan, maka dapat dikatakan bahwa demokrasi sungguh mampu menyadari akar keberadaannya, dan kesadaran itu disebut sebagai demokrasi organik. Suatu konsepsi yang ingin menggeser titik berat demokrasi dari prosedur ke kehidupan; dari negara ke komunitas; dari abstraksi hukum ke tanah-air yang kongkrit, dan relasi sosial 

Secara demikian, kratos bukan sistem yang dipasang, melainkan hasil dari nalar kehidupan setempat: Bukan logika institusi negara yang memformat kehidupan warga, melainkan kehidupan warga yang membentuk cara-cara berkuasa, memutuskan, dan mengelola. Pada sisi yang lain, ada kesadaran bahwa nalar sosial dan nalar ekologis sebagai sumber “kratos”, dimana (a) nalar sosial berupaya gotong royong, musyawarah, kepemimpinan partisipatif; dan (b) nalar ekologis: tata ruang berbasis alam, pengelolaan sumber daya yang lestari, keharmonisan dengan ritme alam. Atas dasar itu, democrasi organik dapat dipahami sebagai tranformasi:

  1. dari prosedur ke kehidupan, dimana demokrasi tidak bisa didangkalkan hanya sebagai pemilu, melainkan cara hidup bersama yang adil, partisipatif, dan berkelanjutan atau demokrasi sebagai proses yang melekat dalam keseharian, bukan sekadar momen lima tahunan.
  2. dari negara ke komunitas, dimana negara tidak secara kaku dan eksklusif dipahami sebagai pusat dari segala-gala, akan tetapi dibukan penapsiran bahwa komunitas lokal (sebagai mana hak asal-usulnya) memiliki legitimitas pada dirinya sendiri, sedemikian memungkinkannya mengembangkan cara hidup dan tata kelola setempat, atau selayaknya kekuasaan negara belajar dari kearifan komunitas, bukan sebaliknya;
  3. dari abstraksi hukum ke tanahair yang kongkrit dan relasi sosial, dimana dimana disadari bahwa hukum nasional terlalu abstrak, sering gagal menangkap keragaman dan konteks atau bahwa hukum dan kebijakan harus menerima kenyataan keberagaman konkret: pada tanah, air, pohon, adat, dan relasi yang nyata antarwarga.

Tentu aspek-aspek tersebut belum lah mencerminkan keseluruhan yang “seharusnya” terselenggara. Jika kesemuanya dapat mewujud, maka keadaan itulah yang dapat disebut sebagai berakar dalam desa.

Bertumbuh

Pengalaman dari berbagai daerah, tentu saja menampilkan kenyataan yang juga beragam. Salah satu hal yang menjadi perhatian adalah adanya potensi atau bahkan kenyataan dimana desa (atau dengan nama lain) sebenarnya tidak menjamin keadaan ideal, dimana keadilan, kebersamaan, kesetaraan dan keberlanjutan dapat berlangsung sebagai proses yang natural. Ada kenyataan dimana hirarki berlangsung dengan dilambari oleh nilai-nilai yang diagungkan. Hiraki tidak saja dalam pengertian politik, bahkan diperkuat dengan kultur dan bahasa, dan bahkan sandang dan pangan, yang memperlihatkan bagaimana hirarki bekerja. Dalam bahasa, ada bahasa rakyat kebanyakan, dan ada bahasa yang bukan bahasa rakyat kebanyakan. Dalam bahasa ada rasa penundukan atau ketertundukan, yang membuatnya tidak mungkin bersikap kritis atas potensi praktek ketidakadilan. Ada pakaian yang hanya boleh dipakai oleh kalangan bukan rakyat, dan demikian sebaliknya. Artinya ada hirarki yang memungkinkan ketidakadilan, baik dari segi sosial, gender, dan kultural. Tentu tantangannya, bagaimana menghadapi masalah tersebut?

Justru dengan kenyataan itulah pentingnya menyadari dan mengakui secara utuh bahwa dalam desa tidak niscaya seluruhnya adalah kebaikan. Apa yang perlu dihindari adalah romantisasi desa. Demokrasi organik bukan berarti “kembali ke desa” secara membabi buta, seolah-olah desa selalu adil dan partisipatif. desa, seperti masyarakat manapun, adalah hasil sejarah—dan sejarah itu bisa memuat: (a) relasi patron-klien, di mana elit desa menjadi penguasa lokal yang tak tergugat; (b) struktur patriarkal, di mana perempuan dan kelompok marjinal terpinggirkan dari pengambilan keputusan; dan (c) budaya feodal, di mana kehormatan dan hierarki sosial lebih dihargai daripada kesetaraan warga. demokrasi organik tidak bisa tumbuh dari struktur yang kaku dan hirarkis, namun mensyaratkan: kesetaraan, partisipasi, dan keterbukaan.

Keberadaan kenyataan itu, dengan sendirinya menyadarkan kita semua bahwa apa yang hendak disebut di sini sebagai demokrasi organik bukan berarti melestarikan bentuk lama, tetapi menghidupkan kembali semangat kolektif yang bisa ditanam dalam tanah lokal. Maka, demokrasi organik harus dilihat bukan sebagai keadaan yang sudah jadi, melainkan proyek transformatif yang terus berkembang melalui: (a) refleksi kritis atas adat dan praktik lokal.

Tidak semua warisan adat layak dijaga. Sebagian mungkin tidak adil dan merugikan komunitas. Demokrasi organik harus mampu membedakan antara: sesuatu sebagai nilai gotong royong dan musyawarah, dan sesuatu sebagai alat dominasi dan eksklusi. Yang jelas bahwa demokrasi organic bukanlah warisan; (b) pendidikan politik warga dan regenerasi nilai, yakni bahwa demokrasi tidak tumbuh dari struktur formal, tetapi dari pembiasaan partisipasi, keberanian menyuarakan pendapat, dan kemampuan mengkritik kekuasaan. Ini membutuhkan kerja jangka panjang di level kultural dan edukatif; dan (c) dekonstruksi kekuasaan lokal, yakni bahwa hirarki tidak bisa dihadapi dengan intervensi eksternal. Yang lebih penting adalah mendorong munculnya proses internal dari dalam komunitas — konter narasi, prakarsa warga, pemimpin alternatif yang berakar dalam komunitas namun membawa visi emansipatoris.

Pada titik inilah dialog menjadi penting. Komunitas harus menyadari bahwa demokrasi organik, bukanlah sesesuatu yang datang dari ruang kosong. Demokrasi organik perlu dipahami sebagai sesuatu proses transformasi, yang artinya ada upaya untuk mengubah keadaan. Dalam hal ini, komunitas harus menjadi tenaga penggerak sejarah, dan musyawarah menjadi sarana utamanya. Musyawarah yang dimaksud bukan arena untuk mengambil keputusan yang melampaui realitas sosio-ekologis, melainkan sebaliknya, yakni menjadi arena untuk merawat realitas tersebut dan mentransformasikan dalam batas-batas yang diijinkan oleh koridor sosio-ekologis setempat. Apa yang dibutuhkan adalah suatu pertumbuhan dalam musyawarah, dimana komunitas dapat secara otentik: (a) Menemukan benih nilai dalam tradisi lokal yang sejalan dengan demokrasi, antara lain musyawarah itu sendiri, gotong royong, etos kolektif, relasi dengan alam; (b) Menafsir ulang nilai-nilai tersebut dalam konteks sekarang, antara lain membuka ruang partisipasi perempuan, generasi muda, kelompok minoritas; dan (c) Membentuk ruang-ruang deliberatif alternatif di luar struktur kuasa formal, semacam forum warga, lingkar belajar desa, atau kolektif aksi komunitas. Dengan demikian, demokrasi organik bukan hanya meniru sistem politik yang sudah ada, tetapi membuka kemungkinan baru—melalui kreativitas lokal, refleksi kritis, dan kesediaan bertransformasi. Proses inilah yang dapat disebut sebagai bertumbuh dalam musyawarah. [Desanomia – 12.4.25 – TM]

(Catatan, dua tulisan sebelumnya yakni: (1) Demokrasi Organik: Dari Demos ke Desa [26/3]; dan (2) Dari Demos ke Desa [27/3], telah diangkat suatu refleksi atas demokrasi sebagaimana yang kini dipikirkan, yang dijadikan acuan kebijakan dan yang dipraktekkan dalam hidup bersama sebagai sebuah negara-bangsa. Catatan ini adalah bagian pelengkap keduanya).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *