Akademi

sumber ilustrasi: freepik

20 Apr 2025 20.50 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Catatan redaksi: Sebagian dari kita, mungkin telah sangat biasa dengan istilah akademi. Bahkan mungkin adalah pihak yang menjadi bagian daripadanya. Namun, bagian sebagian yang lain, istilah ini terasa asing, dan karena itu, perlu kiranya kita eksplorasi secara sederhana. Apa dan mengapa istilah tersebut. Keperluan mengangkat masalah ini, karena ada rencana yang diinisiasi oleh Desanomia dan sejumlah Guru Besar, untuk menyelenggarakan semacam rintisan bagi dialog antara dua tradisi pemikiran, yakni tradisi pemikiran akademi (selanjutnya tradisi akademi) dan tradisi pemikiran desa (selanjutnya tradisi desa). Dalam percakapan silaturahmi halal bi halal pegiat Desanomia, dengan Prof Baiquni (Guru Besar Fak. Geografi UGM, yang juga Ketua Dewan Guru Besar UGM) dan Prof Subejo (Guru Besar Fak. Pertanian UGM), di kediaman masing-masing, sebenarnya telah terungkap tentang potensi dan kemungkinan dialog antar kedua tradisi tersebut. Atas dasar pemikiran awal, percakapan informal, diadakan percakapan lanjutan di Pendopo Desanomia yang berlokasi di Desa Patalan Bantul, pada 19 April 2025, yang dihadiri sejumlah akademisi, para pegiat Desanomia, elemen Gapoktan dan desa itu sendiri. Berikut ini eksplorasi sederhana tersebut:

Mungkin telah menjadi pengetahuan umum bahwa istilah akademi bukanlah istilah indigenus (indigenous), melainkan istilah yang datang dari luar, bahkan dari masa lampau, yakni dari tradisi intelektual Yunani. Perjalanan makna yang menggunakan kata akademi sebagai tubuhnya, telah demikian panjang. Dari sana kita seperti mendapatkan kesaksian bahwa penghuni tubuh akademi, telah terus berganti. Dapat dikatakan penghuni awalnya telah tidak ada, dan kini dihuni oleh penghuni baru. Dalam konteks kekitaan, KBBI menyebut bahwa akademi adalah (1) lembaga pendidikan tinggi, kurang lebih 3 tahun lamanya, yang mendidik tenaga professional; dan (2) perkumpulan orang terkenal yang dianggap arif bijaksana untuk memajukan ilmu, kesusastraan, atau bahasa. Jika pada awalnya, lebih merujuk pada subyek dan kegiatannya, yang digambarkan sebagai aktivitas dari komunitas pemikir, filsuf dengan para muridnya, yang bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang dunia, manusia dan kenyataan (sebagaimana adanya). Sementara kini, nampaknya telah menjadi “praktis”, atau bahkan mungkin dihindari untuk membuat definisi dan deskripsi yang baku. Pengertian akademi telah dianggap diketahui begitu saja. Baik bagi orang kebanyakan, atau bagi para sivitas akademika.

Uraian ini tentu punya keterbatasan jika harus membahas dari periode ke periode dimana perubahan atau pergeseran terjadi. Masalah tersebut telah dan terus menjadi agenda riset, karena keluasan masalah yang menjadi perhatian dan tentu dampak yang ditimbulkannya. Oleh sebab itu, eksplorasi akan dibatasi kepada soal yang menjadi concern dalam merintis jalan dialog antar dua tradisi, yakni tentang “kenyataan”. Soal ini sendiri, bukanlah masalah yang sederhana. Sangat disadari bahwa masalah ini merupakan problem yang kompleks dan sekaligus fundamental. Dengan semangat eksplorasi, uraian ini memberanikan diri untuk terlibat, tentu dengan asumsi bahwa masalah tersebut merupakan problem publik, dimana setiap orang dapat ambil bagian – bahkan yang tidak mengerti sama sekali. Apa yang dirasakan penting untuk diperiksa dan dieksplorasi adalah kerangka berpikir yang diadopsi oleh akademi, dalam mencapai kenyataan dan kebenaran. Kita dapat mengatakan bahwa pada umumnya akademi mendasarkan diri pada apa yang disebutnya sebagai sifat dasar dari ilmu pengetahuan, yakni sifat universal dan obyektif. Tentu tidak hanya itu, akademi melengkapi kinerjanya dengan pengembangan dan penyebaran ilmu pengetahuan.

Apa maknanya? Sifat universal berarti bahwa ilmu pengetahuan berlaku secara menyeluruh, tidak terbatas oleh ruang, waktu, atau budaya tertentu. Kebenaran ilmiah, sejauh telah teruji dan dibuktikan secara sistematis, tidak bergantung pada siapa yang menemukannya atau di mana ia ditemukan. Sifat tersebut, dapat dikatakan, akan mendorong subyek melihat kenyataan sebagai tatanan yang konsisten dan dapat dimengerti secara rasional oleh akal manusia. Dunia tidak lagi dianggap sebagai kumpulan peristiwa acak atau penuh misteri transenden atau kultural, melainkan sebagai sistem yang dapat dipahami melalui hukum-hukum alam yang dapat diuji. Sedangkan sifat obyektif, merujuk pada makna bahwa ilmu berusaha untuk membebaskan dirinya dari prasangka pribadi, nilai-nilai subyektif, atau preferensi individu peneliti. Ilmu bertumpu pada fakta empiris dan metode yang dapat direplikasi, bukan pada pendapat atau intuisi semata. Obyektivitas menuntut bahwa hasil penelitian harus dapat diverifikasi oleh siapa pun, terlepas dari siapa yang melakukan penelitian tersebut. Ini mencerminkan aspirasi ilmu untuk menjangkau kebenaran yang tidak bergantung pada sudut pandang tertentu, melainkan hasil dari prosedur sistematis dan rasional. Kenyataan tidak ditentukan “otoritas” tertentu, melainkan oleh fakta-fakta yang dapat diuji dan ditinjau ulang oleh komunitas akademik.

Memang kitab isa bertanya: apakah dengan mendasarkan diri pada dua sifat utama tersebut, akademi akan dapat benar-benar menjangkau atau tiba pada “kenyataan” dan “kebenaran”? Pada titik ini tentu saja perdebatan bisa muncul. Namun, sangat disadari bahwa akademi tentu percaya bahwa ilmu pengetahuan dapat secara progresif mendekati kenyataan objektif, dan bahwa ilmu berkembang menuju kebenaran, meski bukan dalam bentuk final dan absolut. Ketika suatu upaya gagal mencapai kenyataan, maka upaya lain berkembang. Dan ketika, suatu upaya menyatakan diri berhasil mencapai kenyataan, maka akan ada upaya lain, yang berusaha membuktikan atau mungkin menyanggah pencapaian tersebut. Jadi, bisa saja suatu upaya menyatakan diri berhasil mencapai “kenyataan”, dan selanjutnya mungkin saja akan ada ratusan upaya yang membenarkan pencapaian tersebut, akan tetapi jika ada satu upaya yang benar-benar yang dapat membatalkan pencapaian tersebut, maka seluruh upaya yang telah menunjukkan pencapaiannya, akan dinyatakan gugur. Pada titik inilah, dikatakan bahwa pencapain ilmu tidak pernah merupakan pencapaian final. Jadi, upaya ilmu selalu bersifat tentatif, dan dengan begitu kinerja ilmu senantiasa bersifat selalu menuju kepada kenyataan.

 Meskipun ilmu dapat dikatakan tidak pernah mencapai kenyataan, namun bukan berarti tidak ada kontribusi yang diberikan. Ketentuan-ketentuan tentang cara kerja alam semesta telah memberikan dampak besar, baik dalam formasi fisik maupun dalam kerangka berpikir. Dari segi pemikiran, kita menyadari bahwa kedua sifat utama dari ilmu, telah membawa dampak yang luar biasa besar, yakni: (1) Standardisasi. Universalitas dan obyektivitas menetapkan bahwa: pengetahuan harus berlaku di mana pun dan kapan pun (universal) dan pengetahuan harus dapat dikonfirmasi secara independen dari sudut pandang pribadi atau budaya (obyektif). Hal ini menciptakan standar untuk menilai kebenaran: bahwa sesuatu dianggap benar jika bisa diuji dan diverifikasi oleh siapa saja dalam kondisi serupa, tanpa bias subyektif; dan (2) Eksklusi. Pengetahuan yang bersifat: kontekstual, naratif, dan “spiritual” atau intuitif seringkali dipinggirkan, karena tidak sesuai dengan model obyektif-universal. Memang dalam perkara ini, tidak terhindarkan adanya ketegangan epistemik.

Pada sisi yang lain, upaya mencapai kenyataan, pada dirinya membutuhkan kemampuan: (a) menyederhakan kompleksitas kenyataan, yang dalam hal ini akan mendorong reduksi atas kenyataan – tidak semua hal dalam kenyataan akan menjadi perhatian, dengan demikian terjadilah reduksi kenyataan tersebut; dan (b) menjaga jarak dari kenyataan, agar pengamatan pada kenyataan tidak terkontaminasi dengan subyektivitas. Dan persis dua hal itulah yang membuat ilmu dipandang kurang mampu mengungkapkan keseluruhan kenyataan sebagai sesuatu yang utuh. Penjurusan atau pembidangan studi di akademi, merupakan cerminan dari konsekuensi yang tidak terhindarkan dari struktur yang terbangun atas dua sifat dasar tersebut. Apakah akademi tidak menyadari problem dasar ini? Kita mengetahui bahwa dunia akademi juga terus melakukan refleksi, agar tidak hanya menemukan dan mengembangkan pengetahuan “hal tentang kenyataan”, namun mungkin bisa lebih jauh lagi, yakni “mengalami kenyataan itu sendiri”. Mungkin inilah yang dapat menjadi titik pembuka bagi dialog, suatu percakapan dengan sikap saling mengakui, dalam kesetaraan, dan saling respek. Demikian. [Desanomia – 20.4.25 – TM]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *