Efek Tarif di Jepang dan Korea

Sumber ilustrasi: pixabay

3 Mei 2025 19.50 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Desanomia [03.5.2025] Jepang dan Korea Selatan kini tengah menghadapi tekanan berat akibat gelombang kebijakan proteksionis terbaru yang diluncurkan oleh pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Kebijakan tarif yang luas, termasuk bea masuk tinggi terhadap produk utama kedua negara, telah memicu respons berbeda dari masing-masing pemerintahan: Jepang memainkan kartu diplomatiknya lewat obligasi pemerintah AS, sementara Korea Selatan bergulat dengan kontraksi manufaktur terburuk dalam dua setengah tahun terakhir.

Di Jepang, perusahaan dagang raksasa Mitsubishi Corp memperkirakan laba bersih tahun fiskal mendatang akan turun drastis sebesar 26% menjadi 700 miliar yen. Penurunan ini disebabkan oleh ketiadaan keuntungan modal besar seperti tahun sebelumnya. Perusahaan mencatat laba sebesar 950,7 miliar yen pada tahun fiskal yang baru saja berakhir, sedikit di bawah ekspektasi pasar. Meskipun investor besar seperti Berkshire Hathaway terus memperkuat investasinya di perusahaan-perusahaan Jepang, tekanan global tetap membayangi kinerja sektor korporat.

Sementara itu, pemerintah Jepang mulai secara terbuka menyatakan bahwa kepemilikan mereka atas obligasi pemerintah AS, yang mencapai lebih dari $1 triliun, dapat dijadikan alat tawar dalam perundingan dagang. Menteri Keuangan Katsunobu Kato menegaskan bahwa meskipun tujuan utama kepemilikan tersebut adalah menjaga stabilitas pasar valuta, tidak menutup kemungkinan aset tersebut digunakan secara strategis dalam negosiasi. Walau Kato tidak mengancam penjualan secara langsung, pernyataannya mengindikasikan perubahan sikap dari pernyataan sebelumnya yang menolak penggunaan instrumen keuangan itu sebagai alat diplomasi.

Meski demikian pejabat tinggi AS dan Jepang tengah mengadakan pertemuan di Washington untuk memperdalam pembahasan perdagangan, hambatan non-tarif, dan keamanan ekonomi. Kedua pihak sepakat untuk memulai konsultasi lanjutan di tingkat kerja dengan target pertemuan lanjutan pada pertengahan Mei. Jepang berharap pembicaraan ini dapat meredakan tekanan tarif yang mengganggu kestabilan perdagangan bilateral.

Beralih dari Jepang, Korea Selatan tengah menghadapi dampak langsung kebijakan tarif di sektor riil. Data Purchasing Managers’ Index (PMI) yang dirilis pada April menunjukkan kontraksi paling tajam dalam sektor manufaktur sejak September 2022, dengan angka indeks turun menjadi 47,5 dari 49,1 bulan sebelumnya. Ini adalah bulan ketiga berturut-turut di mana indeks berada di bawah ambang batas pertumbuhan.

Sektor otomotif menjadi salah satu yang paling terdampak, di tengah tekanan tarif masuk sebesar 25% atas produk ekspor Korea Selatan ke AS. Meski permintaan terhadap semikonduktor masih kuat dan menopang sebagian kinerja perdagangan, permintaan ekspor baru dari luar negeri mencatat penurunan pertama sejak Oktober 2024, penurunan yang terbesar dalam hampir dua tahun terakhir.

Laporan S&P Global menunjukkan bahwa penurunan juga terjadi pada volume produksi, pesanan baru, backlog pekerjaan, serta pembelian input, semuanya berada di titik terendah dalam lebih dari dua tahun. Survei juga mencatat lonjakan pemutusan hubungan kerja terbesar sejak September 2020, memperkuat kekhawatiran terhadap potensi dampak jangka pendek terhadap pasar tenaga kerja nasional.

Di tengah situasi ini, pemerintah Korea Selatan telah menyepakati langkah diplomatik bersama Amerika Serikat untuk merundingkan penghapusan tarif sebelum masa jeda kebijakan “tarif timbal balik” berakhir pada bulan Juli. Akan tetapi tantangan dari dalam negeri turut memperparah situasi. Ketidakpastian politik meningkat setelah kegagalan manuver mantan Presiden Yoon Suk Yeol dalam upaya pemberlakuan keadaan darurat militer, yang memperdalam sentimen pesimistis pelaku usaha terhadap prospek ekonomi jangka menengah.

Perkembangan di Jepang dan Korea Selatan menunjukkan bahwa strategi ekonomi tidak bisa lagi dilepaskan dari diplomasi yang aktif dan terukur. Jepang menunjukkan pendekatan yang hati-hati namun tajam, memanfaatkan posisi keuangannya sebagai kreditor utama AS untuk memperkuat posisi tawar dalam perundingan dagang. Meskipun langkah ini memiliki risiko tersendiri, sinyal yang diberikan mencerminkan pemahaman bahwa kekuatan struktural finansial dapat menjadi instrumen politik yang sah dalam tatanan global yang semakin tidak stabil.

Sementara itu, Korea Selatan menjadi pengingat bahwa ketergantungan tinggi terhadap ekspor dan pasar tunggal dapat berujung pada kerentanan ketika dinamika global bergeser. Krisis ini seharusnya menjadi momentum untuk mempercepat transformasi struktural industri, memperluas basis pasar, dan memperkuat ketahanan dalam negeri, baik dari sisi teknologi maupun tata kelola politik. Hanya dengan langkah-langkah demikian, negara-negara Asia Timur dapat keluar dari tekanan eksternal tanpa kehilangan pijakan domestiknya. (NJD)

Sumber: Reuters

Link:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *