Sumber ilustrasi: pixabay
7 Mei 2025 20.00 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Desanomia [07.5.2025] Defisit perdagangan Amerika Serikat mencatatkan rekor tertinggi pada bulan Maret seiring lonjakan impor yang dilakukan pelaku usaha untuk menghindari tarif besar-besaran dari Presiden Donald Trump. Langkah antisipatif ini bahkan berdampak negatif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal pertama, yang mencatat kontraksi pertama sejak tiga tahun terakhir.
Menurut laporan Departemen Perdagangan, Amerika mencatat rekor impor dari sepuluh negara, termasuk Meksiko dan Vietnam. Sebaliknya, impor dari Tiongkok justru turun ke level terendah dalam lima tahun, seiring lonjakan tarif terhadap barang-barang asal Tiongkok hingga mencapai 145%. Beberapa laporan bahkan menyebutkan bahwa terjadi penurunan drastis pada arus kargo dari Tiongkok.
Meskipun tarif timbal balik terhadap sebagian besar mitra dagang AS ditangguhkan selama 90 hari, tarif terhadap produk Tiongkok mulai diberlakukan pada awal April, memicu ketegangan dagang dengan Beijing. Para ekonom memperkirakan bahwa tren percepatan impor kemungkinan masih berlanjut hingga April.
Ekonom Christopher Rupkey menyatakan bahwa pelaku usaha kini tengah berupaya bertahan di tengah ketidakpastian kebijakan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dirinya menyebut bahwa dampak sesungguhnya dari kebijakan tarif akan lebih terasa setelah pengumuman Gedung Putih pada 2 April dan juga menyoroti belum adanya kesepakatan dagang baru di bawah pemerintahan Trump periode kedua.
Defisit perdagangan melonjak sebesar 14%, atau $17,3 miliar, mencapai rekor $140,5 miliar. Kenaikan ini lebih tinggi dari perkiraan ekonom yang sebelumnya memproyeksikan defisit mencapai $137 miliar. Impor sendiri naik 4,4% menjadi $419 miliar, tertinggi sepanjang sejarah. Kenaikan terbesar terjadi pada barang konsumsi, terutama produk farmasi dari Irlandia.
Selain itu, impor barang modal naik $3,7 miliar, dipicu permintaan aksesori komputer, dan kendaraan bermotor naik $2,6 miliar. Namun, impor bahan industri seperti logam jadi dan emas non-moneter mengalami penurunan signifikan. Para ekonom menilai hal ini sebagai indikasi pelarian modal akibat ketidakpastian kebijakan tarif AS.
Brian Bethune, profesor ekonomi dari Boston College, menyebutkan bahwa selama periode Desember 2024 hingga Maret 2025, terjadi penimbunan emas dan perak senilai $92,5 miliar, yang mencerminkan pengalihan dana ke aset tidak produktif. Hal ini dinilai berdampak negatif terhadap nilai tukar dolar AS yang telah melemah sekitar 5,11% sejak awal tahun.
Kondisi ini turut memengaruhi pasar keuangan, dengan saham di Wall Street menurun dan hasil obligasi campuran. Di saat yang sama, Federal Reserve memulai rapat kebijakan dua hari, dan investor menantikan sinyal dari Ketua Jerome Powell terkait potensi pelonggaran kebijakan moneter.
Sementara itu, ekspor AS meningkat tipis 0,2% menjadi $278,5 miliar, juga menjadi rekor tertinggi. Ekspor barang naik 0,7% dipicu peningkatan penjualan gas alam dan emas non-moneter. Namun, ekspor barang modal seperti pesawat sipil justru turun, membuat defisit perdagangan barang melebar menjadi $163,5 miliar.
Pemerintah sebelumnya melaporkan bahwa defisit perdagangan menggerus pertumbuhan PDB kuartal pertama sebesar 4,83 poin persentase, menyebabkan kontraksi ekonomi sebesar 0,3%. Ini menjadi penurunan pertama sejak awal tahun 2022.
Presiden Trump memanfaatkan tarif sebagai instrumen untuk menambah penerimaan negara dan menghidupkan kembali sektor industri AS. Namun, para ekonom memperingatkan bahwa meskipun impor dapat mereda pada kuartal kedua, dampaknya bisa dibatasi oleh turunnya ekspor dan kunjungan wisatawan asing akibat kebijakan dagang yang keras dan isu imigrasi.
Ekspor jasa tercatat turun $0,9 miliar, sebagian besar akibat berkurangnya pengeluaran dari sektor perjalanan. Penurunan ini diduga sebagai bentuk protes negara-negara terhadap tarif tinggi serta kebijakan imigrasi dan pernyataan Trump yang kontroversial.
Lonjakan impor tercatat dari negara-negara seperti Meksiko, Inggris, Irlandia, dan Vietnam. Namun, impor dari Tiongkok turun ke titik terendah sejak Maret 2020. Defisit perdagangan dengan Tiongkok pun menyempit menjadi $24,8 miliar. Sementara itu, defisit dengan Kanada dan surplus dengan Inggris juga mengalami penurunan.
Ekonom Veronica Clark dari Citigroup menyatakan bahwa impor dari Uni Eropa kemungkinan akan menurun pada bulan April. Namun, menurutnya, impor dari beberapa negara Asia bisa meningkat karena tarif 40% hingga 50% ditunda hingga Juli.
Buah Pikiran
Data ini menggarisbawahi bagaimana kebijakan tarif yang ekstrem dapat menimbulkan distorsi besar dalam arus perdagangan, bukan hanya memperlebar defisit, tetapi juga merusak dinamika pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Ketergesa-gesaan perusahaan dalam mengimpor barang untuk menghindari tarif menunjukkan bahwa langkah proteksionis bukanlah solusi jangka panjang, melainkan menambah beban ketidakpastian dalam rantai pasokan dan stabilitas investasi. Dalam konteks ekonomi global yang saling terhubung, kebijakan sepihak seperti ini justru mempersempit peluang diplomasi dagang yang konstruktif.
Lebih jauh lagi, melemahnya nilai tukar dolar, penurunan ekspor jasa, dan pelarian modal ke aset tidak produktif menunjukkan dampak sistemik yang jauh melampaui neraca perdagangan. Dalam jangka panjang, kebijakan semacam ini dapat mengikis kepercayaan pasar terhadap kekuatan ekonomi AS. Oleh karena itu, perlu adanya evaluasi serius terhadap arah kebijakan fiskal dan dagang agar tidak mengorbankan stabilitas ekonomi demi keuntungan politik sesaat. (NJD)
Sumber: Reuters
Link: https://www.reuters.com/world/us/us-trade-deficit-surges-record-high-march-2025-05-06/