Sumber ilustrasi: unsplash
2 Juni 2025 12.50 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Desanomia [02.6.2025] Pernahkan anda terpikir, apakah yang akan terjadi jika hutan di dunia ini kering? Di zaman dimana tingkat deforestasi sudah mencapai level mengkhawatirkan ini, kemungkinan ini bukanlah saja hanya sekadar “apakah” mungkin, namun merupakan suatu kemungkinan yang kian hari makin besar. Namun apakah dampaknya? Dari sebuah eksperimen lingkungan yang telah berjalan lebih dari dua dekade menunjukkan secara langsung seperti apa jadinya hutan hujan Amazon jika dilanda kekeringan parah. Di tengah hamparan kanopi lebat, terlihat area terbuka dengan pohon-pohon langka, batang membusuk, dan tanah panas tersengat matahari. Inilah potret perubahan dramatis akibat kekeringan jangka panjang di paru-paru bumi.
Area rusak seluas lapangan bola ini bukanlah dampak alami, melainkan bagian dari proyek sains bernama Esecaflor (Estudo da Seca na Floresta), kolaborasi ilmuwan Brasil dan Inggris yang dimulai pada tahun 2000. Proyek ini bertujuan menyimulasikan skenario masa depan di mana perubahan iklim menyebabkan Amazon kekurangan hujan. Sebagai eksperimen paling lama dalam kategorinya, Esecaflor telah menghasilkan puluhan publikasi ilmiah dari berbagai disiplin, termasuk klimatologi dan fisiologi tanaman.
Mengapa eksperimen ini dipandang penting? Amazon, hutan hujan terbesar di dunia, menyimpan jumlah karbon yang luar biasa besar. Ketika pepohonan mati karena kekeringan atau ditebang, karbon yang tersimpan dilepas ke atmosfer, mempercepat pemanasan global. Satu studi menunjukkan bahwa Amazon menyimpan karbon setara dengan dua tahun emisi global, yang artinya kerusakan hutan ini akan berdampak luas bagi iklim dunia.
Untuk menciptakan kekeringan buatan tersebut para peneliti memasang 6.000 panel plastik transparan di atas lahan seluas 1 hektar, menyerap setengah curah hujan agar tidak menyentuh tanah. Airnya dialihkan melalui sistem talang dan parit. Di area sebelah tempat eksperimen tersebut, plot kontrol dibiarkan alami untuk perbandingan. Kedua lokasi tersebut dipasangi sensor memantau kelembaban tanah, suhu, pertumbuhan pohon, dan berbagai aspek fisiologis tumbuhan. Data dikirim ke NASA untuk analisis lebih lanjut.
Menurut Lucy Rowland, ahli ekologi dari University of Exeter, hutan tampak tahan banting selama delapan tahun pertama. Namun kemudian, penurunan tajam dalam biomassa dan matinya pohon-pohon besar terjadi. Sekitar 40% bobot vegetasi dan karbon yang tersimpan hilang, dan hutan pun berubah dari penyerap karbon menjadi penyumbang karbon ke atmosfer sebelum stabil kembali. Penemuan ini dipublikasikan Mei lalu di jurnal Nature Ecology & Evolution.
Ada satu hal yang dipandang melegakan, yakni bahwa meskipun berat tekanannya luar biasa, namun kekeringan tidak mengubah hutan menjadi sabana seperti yang diperkirakan dalam model simulasi terdahulu. Hutan tersebut tetaplah hutan, meskipun mengalami kerusakan besar. Akan tetapi tantangan masih jauh dari selesai.
Sejak November, sebagian besar panel plastik dicabut, dan kini para peneliti mengamati bagaimana hutan akan pulih, jika hal tersebut mungkin. “Hutannya sudah beradaptasi. Sekarang kami ingin tahu apa yang terjadi selanjutnya,” kata João de Athaydes, meteorolog dan wakil koordinator Esecaflor. Proyek ini belum memiliki tanggal akhir, dan akan terus berjalan untuk memantau proses regenerasi alami.
Saat dikunjungi Associated Press pada April, lokasi eksperimen tengah ramai peneliti dari berbagai universitas. Dikarenakan letaknya yang sangat terpencil, sebagian besar tim menempuh perjalanan sehari penuh dengan perahu dari kota Belem, lokasi Konferensi Iklim PBB berikutnya. Mereka tinggal di Basis Ilmiah Ferreira Penna, hanya beberapa ratus meter dari plot penelitian.
Empat tim bekerja di lapangan: satu mengambil sampel tanah untuk mempelajari pertumbuhan akar; satu lagi mengumpulkan data iklim dan suhu tanah; tim ketiga mengukur aliran getah dan kelembaban tanaman; dan tim keempat fokus pada fisiologi tumbuhan. Rachel Selman dari University of Edinburgh mengatakan bahwa mereka masih sangat kurang memahami bagaimana kekeringan memengaruhi proses dalam tanah.
Yang menarik, simulasi kekeringan Esecaflor mencerminkan kondisi nyata dua tahun terakhir, ketika El Niño dan perubahan iklim memicu kekeringan terburuk di Amazon. Dampaknya meliputi kematian massal lumba-lumba sungai dan kebakaran besar di hutan tua. Rowland menambahkan bahwa kekeringan alami belakangan ini menyebabkan tekanan intens dan cepat, melalui curah hujan rendah, suhu tinggi, dan udara kering, berbeda dari Esecaflor yang fokus pada manipulasi tanah untuk efek jangka panjang.
Rowland mengatakan dalam kedua kasus, dapat disaksikan berkurangnya kemampuan hutan menyerap karbon. Sebaliknya, hutan justru menjadi penyumbang karbon ke atmosfer, dan juga kehilangan tutupan hutan yang sangat penting bagi bumi.
Eksperimen Esecaflor bukan hanya bukti ilmiah dari dampak kekeringan, namun merupakan cerminan dari apa yang terjadi didunia saat ini. Di tengah krisis deforestasi global, informasi ini menjadi kejelasan bagi publik umum, bahwa kerusakan hutan tidak hanya berdampak lokal, tapi juga global yang mempercepat perubahan iklim, mengganggu keseimbangan ekosistem, dan memperburuk bencana alam.
Dengan hutan-hutan di Asia, Afrika, dan Amerika Latin menghadapi tekanan dari penebangan dan perubahan iklim, hasil dari Amazon ini menjadi alarm ekologis. Hutan tidak bisa selamanya menyerap dampak aktivitas manusia. Kita perlu menjaga pohon tetap berdiri, bukan hanya karena mereka hijau, tetapi karena mereka menjaga planet tetap bernapas. (NJD)
Sumber: Apnews