Sumber ilustrasi: unsplash
2 Juni 2025 16.20 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Indonesia adalah negeri dengan karakter geografi maritim yang sangat dominan. Sekitar 62 persen dari wilayah Indonesia merupakan laut, dan dengan garis pantai sepanjang 99.083 kilometer, Indonesia menempati urutan kedua negara dengan garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada. Keunggulan geografis ini menjadikan wilayah pesisir sebagai realitas strategis, tidak hanya dalam hal ekonomi, tetapi juga dalam konteks geopolitik, ekologi, dan ketahanan nasional. Namun, kenyataan sosial di lapangan menunjukkan sebuah ironi besar: potensi besar sektor kelautan belum tercermin dalam kesejahteraan masyarakat pesisir, terutama nelayan.
Data terkini menunjukkan bahwa dari total 81.616 desa di Indonesia, sebanyak 12.510 desa atau 15,32 persen berada di wilayah pesisir. Dari jumlah tersebut, sekitar 90 persen desa pesisir bergantung pada perikanan tangkap sebagai mata pencaharian utama. Artinya, struktur ekonomi di wilayah ini sangat tergantung pada sumber daya alam laut yang rentan terhadap fluktuasi cuaca, perubahan iklim, dan degradasi lingkungan. Ketergantungan ini menjadikan desa pesisir sebagai wilayah yang sangat rentan terhadap guncangan ekonomi dan ekologi.
Dari sudut pandang sosial-ekonomi, nelayan sebagai pelaku utama ekonomi pesisir adalah kelompok yang paling terdampak. Pada tahun 2021, dari 10,86 juta penduduk miskin di Indonesia, sekitar 1,3 juta jiwa atau 12,5 persen tinggal di wilayah pesisir. Yang lebih mencemaskan, tingkat kemiskinan ekstrem di desa pesisir mencapai 4,19 persen, lebih tinggi dari angka nasional yang berada pada 4 persen. (lihat: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/04/17/kebijakan-untuk-masyarakat-desa-pesisir). Angka-angka ini mencerminkan ketimpangan sistemik yang terus berlangsung di wilayah pesisir, sekaligus memperlihatkan bahwa pembangunan maritim belum menjangkau tingkat komunitas akar rumput.
Berbagai studi menunjukkan bahwa kemiskinan di desa pesisir tidak semata-mata karena rendahnya produktivitas atau keterbatasan sumber daya, melainkan karena konstelasi masalah struktural dan multidimensi. Masalah tersebut mencakup kerusakan ekologis, ketimpangan sosial, ketergantungan ekonomi tunggal, konflik agraria pesisir, serta lemahnya posisi desa pesisir dalam skema pembangunan nasional.
Kerusakan ekologis menjadi tantangan terbesar, baik karena faktor alamiah seperti naiknya permukaan laut, badai, dan erosi pantai, maupun faktor antropogenik seperti penangkapan ikan yang merusak, konversi mangrove menjadi tambak, serta pencemaran laut akibat aktivitas industri dan domestik. Akibatnya, kapasitas produktif laut terus menurun, yang berdampak langsung pada berkurangnya hasil tangkapan dan pendapatan nelayan.
Dari sisi sosial, pola relasi patron-klien masih dominan di banyak desa pesisir. Nelayan kecil bergantung pada tengkulak untuk permodalan dan akses pasar, yang sering kali menyebabkan keterikatan ekonomi yang eksploitatif. Lemahnya kelembagaan lokal seperti koperasi nelayan dan BUMDes membuat masyarakat kesulitan mengakses pembiayaan mandiri dan memperkuat daya tawar dalam rantai pasok.
Di bidang ekonomi, ketergantungan yang sangat tinggi terhadap perikanan tangkap menjadikan desa pesisir rawan terhadap guncangan. Diversifikasi ekonomi belum berkembang optimal. Padahal potensi pengolahan hasil laut, budidaya pesisir, serta wisata berbasis ekosistem seperti wisata mangrove dan ekowisata bahari menyimpan peluang besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan.
Permasalahan agraria pesisir juga menjadi aspek krusial. Banyak masyarakat pesisir tidak memiliki hak atas lahan yang mereka tempati, termasuk akses atas ruang laut untuk aktivitas perikanan tradisional. Di pulau-pulau kecil, muncul fenomena privatisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau oleh entitas korporasi atau individu, yang mengurangi akses masyarakat lokal terhadap sumber daya.
Dalam konteks geopolitik, desa-desa pesisir yang berada di wilayah perbatasan merupakan garda depan kedaulatan negara. Namun, sebagian besar dari desa-desa ini minim infrastruktur, sarana komunikasi, dan kehadiran negara. Wilayah ini juga sering kali menjadi target aktivitas ilegal seperti pencurian ikan, penyelundupan, atau konflik teritorial.
Maka dari itu, membayangkan desa pesisir pada tahun 2045 haruslah mengacu pada visi kemandirian dan keberlanjutan. Kemandirian bukan berarti isolasi, tetapi kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar secara lokal dan membentuk hubungan saling menguntungkan dengan wilayah lain. Desa pesisir yang mandiri mampu mengelola sumber dayanya secara lestari, memperkuat ekonomi berbasis komunitas, serta aktif dalam tata kelola lokal yang demokratis dan inklusif.
Strategi pembangunan menuju visi 2045 perlu dipertimbangkan dalam beberapa tingkatan: Pertama, pada tingkat nasional, otoritas perlu menyiapkan regulasi yang progresif dan integratif: kebijakan yang secara kongkrit memberikan perlindungan pada masyarakat pesisir, kebijakan zonasi laut yang adil, insentif ekonomi hijau, serta reforma agraria pesisir yang memberikan kepastian hak atas tanah dan laut. Kedua, pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota, diperlukan perencanaan pembangunan wilayah pesisir yang berbasis data dan tipologi desa pesisir. Pemerintah daerah harus memprioritaskan pembangunan infrastruktur dasar, pengembangan koperasi dan UMKM maritim, serta penataan ruang laut dan pesisir yang partisipatif. Dan pada tingkat desa, penguatan kapasitas masyarakat menjadi kunci. Ini meliputi: identifikasi potensi lokal (modal alam, sosial, finansial), perencanaan pembangunan desa secara partisipatif, pembentukan organisasi pengelola sumber daya pesisir, serta peningkatan kapasitas aparatur desa dan pemuda dalam pengelolaan ekonomi lokal yang adaptif terhadap perubahan iklim dan pasar.
Langkah-langkah tersebut harus ditopang oleh kolaborasi antaraktor: negara, masyarakat, akademisi, swasta, dan organisasi masyarakat sipil. Tanpa kolaborasi lintas sektor dan sinergi antarlevel, visi 2045 hanya akan menjadi slogan yang hampa. Maka, pertanyaan tentang seperti apa desa pesisir di tahun 2045 adalah pertanyaan tentang sejauh mana kita, sebagai bangsa, mampu membalikkan arah pembangunan dari bias daratan menuju pengakuan penuh terhadap peran strategis pesisir. Apabila jalan transformasi sosial-ekologis ini dijalankan dengan konsisten dan berkeadilan, maka desa pesisir bukan hanya akan menjadi pusat pertumbuhan baru, tetapi juga benteng keadilan dan keberlanjutan di era maritim abad ke-21. (SB, 0625 – diolah dari berbagai sumber)