Meningkatnya Resiko Utang

Sumber ilustrasi: unsplash

Oleh: A. Ekasatya Dharma
3 Juni 2025 09.05 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Ketidakpastian global yang belum berakhir, dan bahkan sebagian pihak memperkirakan akan meningkat, telah menimbulkan rasa khawatir terhadap keadaan utang. Rasa khawatir tersebut dirumuskan sebagai resiko utang yang meningkat. Mengapa? Karena ketidakpastian dimaksud memuat hal-hal yang terkait (langsung tidak langsung) dengan utang, antara lain ketegangan geopolitik, perang dagang, serta kebijakan suku bunga tinggi oleh bank sentral negara-negara maju. Kekhawatiran dimaksud, bukan semata karena besarnya nominal utang, melainkan karena struktur pembiayaan dan fondasi ekonomi domestik yang dipandang belum cukup kuat untuk menahan guncangan eksternal.

Data otoritas yang telah menjadi konsumsi public adalah bahwa pada triwulan I-2025, total utang luar negeri Indonesia tercatat sebesar USD 430,4 miliar atau setara Rp 7.015 triliun, tumbuh 6,4 persen secara tahunan. Sebagian besar berasal dari sektor pemerintah (USD 206,9 miliar), dengan beban jatuh tempo tahun 2025 yang mencapai Rp 800,33 triliun. Sementara itu, utang luar negeri swasta, khususnya dari sektor non-lembaga keuangan, juga menyumbang kerentanan tersendiri karena banyak di antaranya berdenominasi valuta asing tanpa lindung nilai yang memadai.

Kondisi ini diperparah oleh kenyataan bahwa sebagian besar instrumen utang pemerintah, terutama Surat Berharga Negara (SBN), dimiliki oleh investor asing. Di sinilah rasa khawatir muncul, yakni ketika terjadi perubahan sentimen global, seperti peningkatan risiko geopolitik atau pengetatan likuiditas internasional, investor asing berpotensi menarik dana mereka secara cepat, yang dapat memicu pelemahan nilai tukar, meningkatnya biaya utang dalam rupiah, serta tekanan tambahan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Apa yang ingin direfleksikan secara publik adalah bahwa dalam sudut pandang ini, masalah mendasarnya jauh lebih dalam daripada sekadar volatilitas pasar. Situasi ini, dalam batas-batas tertentu dapat dikatakan bersifat struktural, yang mencerminkan pilihan model pembangunan ekonomi. Sebagaimana diketahui bahwa sejak lama model yang dipilih, jika disederhanakan, adalah model yang bertumpu pada pembiayaan eksternal dan ekspor komoditas mentah, tanpa suatu transformasi berarti menuju industri bernilai tambah tinggi dan sistem pembiayaan domestik yang kuat.

Oleh sebab itulah, ketika harga komoditas menurun atau permintaan global melambat, seperti yang tengah terjadi, kemampuan untuk mempertahankan surplus perdagangan pun tergerus. Defisit transaksi berjalan yang selama ini menjadi momok ekonomi kembali muncul dan diperkirakan akan melebar secara bertahap hingga tahun 2030, menurut proyeksi IMF dan RPJMN.

Di sisi lain, respons fiskal dan moneter sejauh ini masih terkurung dalam pendekatan teknokratik yang terbatas: stabilisasi jangka pendek, intervensi pasar, dan pengelolaan utang yang berhati-hati. Padahal, masalah utamanya adalah ketergantungan struktural dan ketidakmampuan sistem ekonomi nasional untuk membiayai dirinya sendiri secara berkelanjutan. Oleh sebab itu, sangat wajar jika ada rasa khawatir. Mengapa? Karena, tanpa perubahan mendasar pada struktur produksi, basis ekspor, dan pasar keuangan domestik, tekanan fiskal dan moneter hanya akan menjadi masalah berulang dengan tingkat keparahan yang meningkat.

Untuk itu, yang dipandang penting untuk mulai dipikirkan adalah suatu reorientasi kebijakan ekonomi yang menempatkan kemandirian fiskal dan moneter sebagai proyek jangka panjang. Ini mencakup penguatan basis investor domestik, pendalaman pasar obligasi rupiah, pembentukan kerangka fiskal yang lebih progresif dan berkeadilan, serta restrukturisasi sistem produksi nasional menuju sektor manufaktur yang kompetitif. Lebih dari itu, diperlukan juga penguatan instrumen mitigasi risiko valas dan pembiayaan ulang utang swasta melalui instrumen yang aman dan kebijakan insentif dari bank sentral (BI).

Tanpa strategi jangka panjang yang berakar pada perubahan struktural, ekonomi akan terus berada dalam posisi rentan terhadap tekanan eksternal dan siklus keuangan global. Dalam konteks demikian, kebijakan ekonomi tidak cukup didekati sebagai instrumen teknis, melainkan harus dimaknai sebagai ekspresi dari visi nasional tentang kedaulatan, keadilan sosial, dan keberlanjutan.

Dengan demikian, peningkatan risiko utang saat ini adalah cermin dari ketidakseimbangan lama dalam arsitektur ekonomi nasional. Mengatasinya bukan hanya soal mengelola angka, tetapi membongkar struktur ketergantungan dan membangun fondasi baru bagi kemandirian ekonomi yang nyata. (dari berbagai sumber)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *