Sumber ilustrasi: pixabay
3 Juni 2025 13.05 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Pada edisi (4) [Desa: Ekologi, Ekonomi, dan Epistemologi (4)] telah dinyatakan bahwa dari edisi (3) telah dijelaskan bagaimana timbulnya etika dari relasi antara elemen-elemen dasar dan artikulatif. Ada dua hal yang perlu mendapatkan perhatian, yakni: Pertama, ketika ketiganya bertemu dalam kesadaran yang saling menginterupsi, maka muncullah kebutuhan akan horizon evaluatif. Kedua, dalam praksis hidup, didapati bahwa relasi tidak cukup hanya dijalani, tetapi harus dialami secara reflektif, ditimbang secara normatif. Dalam kerangka itu, etika diungkapkan sebagai (a) kesadaran akan keterlibatan yang tak terhindarkan, (b) tanggung jawab eksistensial atas yang lain, dan (c) evaluasi terhadap cara kita hidup bersama [lihat edisi (3) dan (4)].
Lebih jauh dikatakan bahwa dengan timbulnya etika tersebut, telah pula dilakukan eksplorasi lebih jauh terutama: (1) memeriksa apa yang timbul dari relasi etika dengan masing-masing tiga elemen dasar; dan (2) memeriksa apa yang timbul dari relasi (a) tiga titik; dan (b) tiga garis yang terbentuk; dan (c) semuanya sebagai satu kesatuan. Pembahasan pertama (1), telah diangkat pada edisi (4), dan edisi (5) seharusnya melanjutkan pembahasan kedua (2), yakni mengelaborasi apa yang timbul dari relasi tiga titik yang melibatkan etika, yang merupakan eksplorasi lanjut dari pertemuan etika dengan ekologi, ekonomi dan epistemologi. Namun, ternyata ada interupsi eksplorasi, dimana akhirnya edisi (5) membahas tentang estetika.
Adapun terkait estetika, edisi (5) pada bagian akhir menyatakan: “… estetika desa … Bukan hasil produksi atau karya artistik dalam pengertian modern, melainkan penanda bahwa manusia masih bisa hidup sebagai bagian dari harmoni yang lebih besar, bukan sebagai penguasa atau penonton. Dalam dunia yang semakin dipisahkan oleh sistem dan fungsi, estetika desa mengingatkan bahwa keindahan sejati bukan terletak pada apa yang dilihat, tetapi pada cara kita hadir, terhubung, dan menyatu dengan dunia. Suatu bukti bahwa keindahan tidak diciptakan, melainkan tumbuh, dan tentu jika manusia cukup “diam” untuk mengalaminya.”
Edisi kali ini, bermaksud melanjutkan eksplorasi terkait relasi tiga titik yang melibatkan etika. Begini eksplorasinya:
Ekologi, Ekonomi, dan Etika
Ketika ekologi, ekonomi, dan etika dipertemukan dalam satu kerangka relasional, terbentuklah sebuah konfigurasi eksistensial yang bukan sekadar menjalin relasi antara sumber daya, nilai, dan norma, melainkan melahirkan satu horizon baru:munculnya kesadaran keberlanjutan hidup – keberlanjutan hidup sebagai tanggung jawab kolektif dan struktur etis yang hidup. Ketiga titik ini tidak berdiri sebagai unsur otonom; masing-masing saling membatasi, mengoreksi, dan menghidupkan satu sama lain. Dalam keterjalinannya, muncul suatu bentuk praksis yang tidak dapat direduksi menjadi aspek teknis atau moral belaka, melainkan praksis hidup yang menyatu dalam ritme dunia yang dihuni bersama.
Ekologi sebagai titik pertama menyediakan ruang dan batas dari seluruh keberadaan. Ekologi sangat penting dalam kerangka keberadaan, yakni tanah, air, udara, hutan, dan musim. Sayangnya ekologi secara konvensional tidak ditempatkan sebagai hal yang mendasar, melainkan hal yang datang belakangan. Dalam pengertiannya yang mendasar, ekologi pasti bukan objek eksploitasi, tetapi sebagai kondisi kemungkinan dari hidup itu sendiri. Karena itu, menuntut penghormatan dan perawatan. Ekonomi, sebagai titik kedua, mengatur relasi antar manusia dalam hal nilai, kerja, dan distribusi. Suatu jawaban atas pertanyaan: bagaimana kita bertahan, bekerja, dan berbagi? Namun, baik ekologi maupun ekonomi, tanpa etika, hanya menjadi sistem daya guna dan strategi bertahan. Di sinilah etika memasuki konfigurasi ini bukan sebagai pengatur dari luar, tetapi sebagai “cahaya” dari dalam, yang menyinari dan menuntut pertanggungjawaban atas relasi dengan dunia dan sesama.
Ketika ketiganya bertemu, muncul suatu bentuk relasi yang tidak hanya mempertimbangkan keberlangsungan dalam pengertian teknis, tetapi mempertanyakan makna dari keberlangsungan itu sendiri: untuk siapa, atas dasar apa, dan dengan cara bagaimana? Maka yang muncul dari konfigurasi ini adalah kesadaran akan keberlanjutan hidup sebagai struktur etis. Keberlanjutan bukan lagi soal menjaga sumber daya agar tetap ada, tetapi menjaga kehidupan agar tetap layak, adil, dan bermakna. Ia bukan hasil kebijakan, tetapi buah dari relasi yang dijalani secara bertanggung jawab.
Bentuk dari keberlanjutan yang demikian adalah pola hidup yang menyatu dalam batas, dalam ketercukupan, dan dalam kesadaran akan yang lain. Dalam kasus produksi pangan, akan tampak dalam praktik pertanian yang menghormati musim, dalam distribusi hasil yang mempertimbangkan yang rentan, dalam pengambilan keputusan yang tidak hanya rasional, tetapi juga penuh empati. Keberlanjutan yang timbul dari tiga titik ini adalah bentuk hidup yang mendalam: bukan strategi, tetapi orientasi eksistensial. Yang dikejar pertama-tama bukan lah hasil (dalam makna konvensional), tetapi memelihara proses; tidak mengejar pertumbuhan tanpa batas, tetapi meneguhkan kehidupan dalam batas yang dihayati.
Dalam kerangka keberadaan desa, keberlanjutan semacam ini menjadi inti dari struktur dunia-hidup. Desa bukan hanya tempat tinggal, tetapi ekosistem relasional di mana tanah, hasil kerja, dan norma hidup berpadu menjadi sistem keberadaan yang tak terpisah. Relasi antara ekologi, ekonomi, dan etika membentuk medan kehidupan di mana setiap keputusan adalah keputusan yang menyangkut lebih dari sekadar efisiensi atau moralitas, tetapi menyangkut keberlanjutan komunitas sebagai dunia yang ingin terus hidup bersama.
Konfigurasi tiga titik ini tidak menghadirkan suatu nilai tambahan, tetapi menyingkapkan bahwa hidup bersama hanya mungkin jika ruang hidup dijaga, nilai dibagi secara adil, dan setiap tindakan dipertimbangkan secara etis. Keberlanjutan bukanlah program, tetapi ekspresi dari konfigurasi yang intens, di mana ekologi menetapkan batas, ekonomi mengatur nilai, dan etika menjaga martabat. Inilah keberlanjutan dalam pengertian terdalamnya: bentuk hidup yang menghormati keterikatan sebagai kekuatan utama kehidupan.
Ekologi, Epistemologi, dan Etika
Ketika ekologi, epistemologi, dan etika hadir dalam satu konfigurasi relasional, yang terbentuk bukan hanya jaringan pengetahuan atau tanggung jawab atas alam, tetapi suatu struktur kesadaran simbolik yang hidup. Ketiga titik ini tidak beroperasi dalam domainnya masing-masing secara terpisah, melainkan saling menginterupsi dan mengintensifkan satu sama lain. Dalam ruang keberadaan desa, konfigurasi ini mengungkapkan bahwa mengetahui, merawat, dan hidup di dalam dunia bukanlah tiga tindakan terpisah, tetapi satu gerak yang menyatu dalam keberadaan.
Dalam konteks ini, ekologi, sebagai kondisi dasar keberadaan, menyediakan latar material dan simbolik bagi seluruh bentuk kehidupan. Alam bukan hanya latar tempat tinggal, melainkan jaringan makna dan batas yang memberi struktur pada cara manusia hadir. Tanah, sungai, pohon, dan musim adalah bagian dari narasi hidup yang tidak bisa dilepaskan dari cara manusia memahami dirinya dan yang lain. Epistemologi desa lahir dalam konteks ini, sebagai pengetahuan yang tidak dikonstruksi dari luar, melainkan tumbuh dari dalam pengalaman ekologis. Ia adalah pengetahuan yang dihidupi, yang bersifat naratif, kontekstual, dan tertanam, pengetahuan yang dialami, bukan diajarkan secara abstrak.
Namun, tanpa etika, baik ekologi maupun epistemologi berisiko menjadi netral atau bahkan instrumen kekuasaan. Etika memasuki konfigurasi ini sebagai kesadaran bahwa setiap bentuk pengetahuan atas dunia membawa konsekuensi. Etika menyinari epistemologi agar ia tidak menjadi alat dominasi; dan menyinari ekologi agar ia tidak menjadi objek eksploitasi. Dalam intensitas relasi antara ketiganya, muncul suatu bentuk kesadaran yang bukan sekadar reflektif, tetapi eksistensial dan simbolik, suatu pemahaman bahwa hidup adalah jaringan relasi yang harus dijaga, dimaknai, dan diwariskan. Dari konfigurasi ini, muncul bentuk praksis yang disebut kebijaksanaan hidup, yakni cara berada dan mengetahui yang dijalani dalam tanggung jawab dan keterbukaan.
Kebijaksanaan hidup yang timbul dari konfigurasi ini mengambil bentuk dalam ritus, narasi kolektif, simbol-simbol yang dijaga, serta bentuk hidup yang tidak hanya efisien tetapi penuh pertimbangan. Dalam desa, ini tampak pada larangan menebang pohon tertentu, pantangan terhadap sungai tertentu, dan cerita rakyat yang diwariskan dari generasi ke generasi. Semua ini merupakan bentuk pengetahuan yang telah disinari oleh etika dan tumbuh dari ekologi. Ini adalah pengetahuan yang mengandung nilai, yang tidak hanya menjelaskan, tetapi juga membimbing dan memperingatkan.
Makna dari relasi tiga titik ini dalam keberadaan desa adalah terbentuknya sistem pengetahuan yang tidak netral, tetapi menyatu dalam jaringan kehidupan. Dalam epistemologi desa, tahu bukan untuk menguasai, tetapi untuk hidup bersama. Etika mengarahkan epistemologi agar berpijak pada tanggung jawab terhadap yang diketahui, dan pada saat yang sama, etika memastikan bahwa ekologi dipahami bukan sebagai sumber daya, melainkan sebagai ruang suci kehidupan. Dalam ruang ini, kebenaran tidak diuji di laboratorium, tetapi dalam kelangsungan relasi hidup.
Relasi ini menghasilkan sebuah horizon yang mungkin saja melampaui pengetahuan mainstream, yakni horizon yang keterbukaan terhadap yang lain, penghormatan terhadap batas, dan kesediaan untuk tidak tahu secara total. Kebijaksanaan hidup yang muncul dari ekologi, epistemologi, dan etika adalah bentuk paling tinggi dari cara mengetahui yang berakar, membumi, dan bermakna. Kita dapat mengatakannya bukan sistem, tetapi orientasi; bukan teori, tetapi cara berada yang meresapi seluruh kehidupan.
Ekonomi, Epistemologi, dan Etika
Ketika ekonomi, epistemologi, dan etika hadir dalam satu konfigurasi relasional yang intensif, terbentuklah suatu struktur di mana nilai, pengetahuan, dan tanggung jawab tidak lagi berdiri sebagai domain yang terpisah, melainkan saling menembus dan menegaskan satu sama lain. Relasi ini tidak hanya membentuk sistem distribusi atau produksi pengetahuan, tetapi mengarah pada konfigurasi kekuasaan, legitimasi, dan pengaturan hidup bersama. Dari konfigurasi tiga titik ini, muncul suatu ruang praksis yang dapat disebut sebagai politik kehidupan, yakni medan di mana pertanyaan tentang siapa berhak menentukan, atas dasar pengetahuan apa, dan dengan nilai apa keputusan itu diambil, menjadi inti dari keberadaan bersama.
Ekonomi, dalam konteks desa, tidak sekadar urusan uang atau pasar, melainkan jaringan nilai yang mengatur kerja, pertukaran, dan keberbagian. Ia adalah bentuk dari kehidupan bersama yang menjawab kebutuhan dan menstrukturkan keterlibatan. Namun nilai tidak berdiri sendiri. Ia membutuhkan epistemologi, yaitu cara mengetahui apa yang perlu, siapa yang layak, dan bagaimana menentukan keabsahan klaim. Dalam epistemologi desa, pengetahuan bukanlah data yang netral, tetapi pengalaman yang diendapkan, narasi yang dihidupi, dan kebijaksanaan yang diwariskan.
Etika, dalam konfigurasi ini, bukan pelengkap atau pengatur eksternal, tetapi struktur kesadaran yang menjaga agar distribusi nilai dan klaim pengetahuan tidak jatuh dalam ketimpangan atau dominasi. Etika menyinari ekonomi agar tidak menjadi alat akumulasi tanpa batas, dan menyinari epistemologi agar tidak menjadi otoritas yang menyingkirkan suara lain. Dalam intensitas relasi antara ketiganya, lahirlah struktur politik yang khas: politik yang tidak dibangun atas dominasi institusional, tetapi atas relasi tanggung jawab dan keterlibatan eksistensial.
Politik yang muncul dari relasi ekonomi, epistemologi, dan etika ini bukan semata pengorganisasian kekuasaan, tetapi cara komunitas membentuk legitimasi: siapa yang dianggap tahu, siapa yang layak dipercaya, dan siapa yang didengar. Dalam keberadaan desa, ini terlihat dalam musyawarah, dalam figur tetua yang dihormati bukan karena jabatan, tetapi karena pengalaman dan kebijaksanaan, dalam keputusan kolektif yang tidak berdasarkan voting, tetapi konsensus yang dibangun dari pengakuan terhadap nilai dan pengetahuan yang hidup.
Bentuk dari ruang politik ini adalah struktur otoritas yang bersifat naratif dan relasional. Otoritas tidak bersandar pada “hukum tertulis”, tetapi pada pengakuan komunitas terhadap siapa yang bisa menjaga keberlangsungan hidup bersama. Pengetahuan tidak digunakan untuk mengatur dari atas, tetapi untuk menimbang, mengingat, dan menjaga keseimbangan. Ekonomi tidak dijalankan untuk pertumbuhan individu, tetapi untuk kebercukupan kolektif yang bermartabat.
Makna dari relasi tiga titik ini dalam kerangka keberadaan desa adalah terbentuknya sistem pengorganisasian hidup yang menyatu dalam nilai, pengetahuan, dan tanggung jawab. Ini adalah politik yang tumbuh dari bawah, dari kehidupan sehari-hari, dan dari kesadaran bahwa setiap keputusan tentang nilai dan distribusi selalu menyangkut kehidupan orang lain. Dalam kerangka ini, politik bukan pertama-tama tentang urusan negara, tetapi urusan keberadaan; bukan ruang konflik, tetapi ruang pengakuan dan penilaian bersama.
Politik kehidupan yang muncul dari konfigurasi ini adalah tanda bahwa komunitas tidak hidup hanya dengan berbagi nilai dan informasi, tetapi juga dengan mengatur cara nilai dan informasi itu digunakan dan diwariskan. Politik menjadi bentuk kesadaran bahwa hidup bersama menuntut kehati-hatian dalam berkata siapa tahu, siapa mendapat, dan siapa menentukan. Dalam desa, ini bukan masalah ideologi, tetapi bagian dari cara hidup yang menjaga keberlanjutan, martabat, dan kebijaksanaan kolektif. (bersambung) [Desanomia – 3.6.25 – TM]