Tentang Kemerdekaan

Sumber ilustrasi: Freepik

1 Agustus 2025 20.45 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Setelah Kemerdekaan Bangsa Indonesia mencapai usia 80 tahun (1945-2025), apakah masih dimungkinkan untuk mengajukan pertanyaan yang “elementer”, yakni apa itu kemerdekaan, atau apa sebenar-benarnya kemerdekaan itu? Jika kita mengandaikan bahwa pertanyaan “elementer” tersebut adalah hal yang layak untuk diangkat, baik dalam kerangka studi maupun dalam kerangka refleksi eksistensial sebagai warga bangsa, bagaimana cara kita menjawabnya? Pertama, apakah kita menjawab dengan cara mengakses “teks resmi” yang telah membuat pengertian baku mengenai “apa itu kemerdekaan”? Dan jika ada, apakah artinya keseluruhan isi teks dengan begitu saja diterima, tanpa perlu suatu tindakan interpretasi atau upaya menafsirkan apa yang dimaksud dengan teks dimaksud? Dari yang terakhir ini, kita akan masuk pada problem ikutannya, yakni apakah “yang resmi” telah memberikan batasan atau peralatan (suatu metode) untuk menafsirkan teks, sedemikian sehingga makna yang diperoleh menjadi suatu makna yang sama ketika tindakan yang sama dilakukan oleh pihak lain. Apa bila yang demikian ini yang terjadi, apakah proses yang demikian itu, masih dapat dikategorikan sebagai “keadaan” dan “tindakan“ merdeka?

Kedua, apakah kita menjawab pertanyaan elementer tersebut dengan cara meminjam pikiran-pikiran dari luar, termasuk dari negeri-negeri yang membenarkan tindakan penjajahan? Negeri-negeri yang masa lalunya menyelenggarakan tindakan penjajahan, tentu saja punya persoalan tersendiri. Yakni: bagaimana cara warga bangsa negeri tersebut menjawab pertanyaan, apa dasar pembenar dari tindakan penjajahan? Apa dasar pembenar untuk dapat digunakan sebagai landasan untuk menyatakan bahwa negeri tersebut lebih maju dari negeri yang dijajah? Lebih jauh dari itu, bagaimana dengan status pikiran berkembang dalam tradisi yang membenarkan tindakan penjajahan? Apakah yang menjajah mampu mengerti apa itu kemerdekaan? Jika dikatakan bahwa yang menjajah mampu mengerti hakekat kemerdekaan, sementara tindakan menjajah dimungkinkan, maka tentu saja akan mengundang konsekuensi pengetahuan yang lebih mendalam, yakni bahwa pengertian itu tidak lah suatu pengertian yang memungkinkan realisasi kemerdekaan, melainkan pengertian yang justru digunakan untuk membenarkan tindakan yang membatalkan kemerdekaan pihak lain, yakni yang dijajahnya. Pada titik ini, kita justru akan sampai pada masalah yang lebih mendasar, yakni apa sebenarnya alam pikiran dari negeri-negeri yang membenarkan tindakan menjajah?

Pertanyaan yang terakhir tersebut, tidak akan dibahas di sini. Adapun yang menjadi pertanyaan terkait dengan pikiran-pikiran terkait kemerdekaan, apakah dengan uraian di atas, masih dimungkinkan digunakannya pikiran-pikiran tersebut dalam upaya kita memahami apa itu kemerdekaan? Tentu saja pertanyaan atau bahkan pandangan ini, akan menimbulkan masalah tersendiri, karena menimbulkan kesan mengambil jarak dengan pemikiran dari luar. Ada kesan dirawatnya suatu eksklusivitas. Bukankah kemerdekaan memungkinkan untuk diaksesnya segala pemikiran? Bukankah suatu pembatasan, termasuk dengan menggunakan alasan tersebut, dapat masuk dalam kategori sebagai langkah menuju ketidakbebasan?

Pada titik inilah kita membutuhkan refleksi yang merdeka, yakni suatu sikap mental yang menempatkan subyek sebagai pihak yang pada dirinya memiliki kebebasan untuk memilih, dan tentu pilihan tidak dilakukan dalam keterpaksaan melainkan dengan pikiran yang juga merdeka. Dan dengan optik inilah, pandangan yang berkembang dari suatu tradisi berpikir yang membenarkan penjajahan, dilihat sebagai suatu hal yang terlepas siapa yang menyusunnya. Namun, pada saat yang sama, akan terasa sulit untuk melepaskan “ekosistem” berpikir dengan pembentukan pikiran. Artinya, terbuka kemungkinan dimana pemikiran tentang kemerdekaan yang berasal dari tradisi yang menerima dan membenarkan penjajahan, tidak akan sampai kepada makna kemerdekaan, terutama jika pendekatan keterlibatan digunakan. Sebagai contoh: meskipun seseorang telah menghabiskan puluhan buku tentang kopi, tetapi jika yang bersangkutan belum pernah memegang kopi dan merasakan secangkir kopi, maka sulit dikatakan bahwa yang bersangkutan mengerti sepenuhnya tentang kopi. Ada bagian yang paling utama yang tidak diperolehnya, karena tidak “mengalami rasa” sang kopi.

Ketiga, apakah ada cara lain di luar kedua cara yang telah diuraikan tersebut? Jika ada, apakah cara yang dimaksud? Mungkinkah kita menggunakan cara sendiri, yang secara disusun agar kita dapat menemukan makna dari kemerdekaan sebagaimana adanya? Berikut ini beberapa kemungkinan: (1) tentu tidak bisa dihindarkan dan justru sebagai suatu keniscayaan bahwa hal tentang kemerdekaan dapat “digali” dari apa yang terjadi di masa lalu dan pemikiran yang berkembang dari peristiwa-peristiwa yang lampau. Pemikiran yang berkembang dan termasuk yang telah berwujud sebagai “teks resmi” merupakan sumber yang sangat kaya dan sekaligus merupakan sumber utama yang memungkinkan kita mengerti apa yang dipikirkan dan apa yang telah menjadi pemikiran di masa yang lalu; (2) tentu juga tidak bisa dihindari dan memang demikian itulah adanya, bahwa kita tidak mungkin memutar jarum jam untuk “hadir” dalam kurun waktu masa lalu. Artinya, peristiwa, pemikiran dan perkembangan pemikiran, serta makna dari kesemuanya itu, hanya dapat diakses melalui dokumen yang ada, apakah itu buku sejarah, tulisan dari para pelaku dan tentu apa yang telah disebutkan, yakni teks resmi.

Apa artinya? Ada dua kemungkinan yang mungkin diselenggarakan: (a) menerima begitu saja yang tersaji sebagaimana adanya. Cara ini tentu saja akan menghindari suatu penafsiran yang keliru, atau tidak semestinya. Namun yang menjadi tantangan adalah bahwa yang disebut teks resmi, dimana para pelaku (baca: perintis kemerdekaan) sendiri yang ikut menyusunnya, dalam prakteknya, telah berkembang suatu keadaan yang dianggap tidak sesuai. Jika kita meninjau peristiwa Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka akan tampak bahwa peristiwa tersebut, dalam batas tertentu merupakan koreksi atas langkah yang dipilih bangsa. Sementara, pilihan langkah tersebut dapat dikatakan sebagai tidak terlepas dari “pemahaman” atas apa yang telah menjadi ketentuan bersama (teks resmi). Pernyataan formal pimpinan nasional atas apa yang dianggap telah menyimpang, merupakan kesaksian atas apa yang dinyatakannya sendiri sebagai pemahaman yang keliru, sedemikian sehingga dibutuhkan kesadaran untuk menemukan kembali apa yang hilang atau apa yang telah salah dipahami.

Untuk lebih melengkapi kenyataan sejarah tersebut, kita juga bisa mengakses peristiwa peralihan kekuasaan pada medio tahun 60an, yang dari sudut ini, dapat dikatakan pula sebagai suatu koreksi atas apa yang telah berlangsung. Tentu saja yang berlangsung tidak sesederhana ini. Namun, bila mengacu kepada teks resmi yang ada, diungkapkan bahwa keadaan telah memaksa munculnya koreksi. Keadaan dimaksud adalah keadaan ekonomi yang buruk, yang dalam batas tertentu ikut memberikan kondusivitas bagi problem dalam kohesi sosial, dan berbagai problem ikutannya. Atas keadaan itulah, muncul koreksi yang dikatakan sebagai keinginan untuk menjalankan apa yang menjadi garis negara, yakni konstitusi dan dasar negara, secara murni dan konsekuen. Apa yang hendak diangkat di sini adalah bahwa pemaknaan atas teks dan seluruh keadaan yang berkembang di sekitarnya, pada kenyataannya tidak bersifat kaku, melainkan dimungkinkan suatu penafsiran yang sangat mungkin berbeda dan kontekstual dengan situasi yang berkembang.

(b) atas dasar itulah, terbuka kemungkinan yang lain, yakni tidak sekedar menerima begitu saja, melainkan melakukan dialog dengan “yang lalu”, baik melalui teks resmi, pandangan para pelaku yang tertuang dalam karya tulisnya, dan bentuk-bentuk lain, yang daripadanya dapat diperoleh gambaran yang lebih utuh. Kita bisa membayangkan suatu momen “diskusi” dengan sumber-sumber tersebut. Ketika kita membaca kembali naskah-naskah dengan alam pikiran masa kini dan seluruh pandangan yang telah berkembang, baik yang memberikan kritik atau sekedar eksplorasi pikiran dari yang lalu, maka sebenarnya dialog dan pertemuan pandangan tengah berlangsung, dan dari situ pula akan dimungkinkan munculnya pandangan baru tentang makna dasar dari apa yang dahulu berkembang. Dengan cara inilah kita akan berusaha menjawab pertanyaan yang paling elementer, yang telah disebutkan di depan, yakni apa itu kemerdekaan? Suatu pertanyaan yang kita harapkan dapat menjadi jalan bagi refleksi yang lebih mendalam dan sekaligus sebagai upaya menyusun proyeksi ke depan. [desanomia – 010825 – dja] (bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *