Partisipasi Pembangunan : Sebuah Fusi atau Hanya Sebuah Ilusi

sumber gambar : dokumen foto kampus tani

oleh : Akbarian Rifki Syafa’at

Tulisan ini berangkat dari diskusi rutin forum mingguan 8 yang dipantik oleh saudara Wahid Nur Kartiko. Diskusi tersebut mencoba menguraikan makna partisipasi dalam pembangunan melalui studi kasus Musrenbang Desa. Musrenbang Desa sendiri merupakan sebuah mekanisme koordinasi warga dan perangkat desa untuk menyusun rencana pembangunan sekaligus memploting Dana Desa. Forum tersebut selama ini, memiliki peran sebagai wadah masyarakat untuk mengusulkan pembangunan berdasarkan kehendaknya. Keterlibatan penuh masyarakat dalam Musrenbang Desa, secara umum dianggap sebagai sebuah partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa, khususnya sejak dari perencanaan. Melalui refleksi dari Musrenbang Desa tersebut kemudian memunculkan pertanyaan-pertanyaan mendasar khususnya mengenai “apa itu partisipasi?”. 

Setidaknya, dalam analisis referensi tergambarkan beberapa teori yang mampu menggambarkan mengenai apa itu partisipasi. Menurut Chambers (1994, 1997), partisipasi adalah:

“A process through which local people are enabled to share, analyze, plan, and take action to improve their own lives and conditions.”

Artinya, partisipasi bukan hanya “ikut hadir” dalam kegiatan, tetapi proses aktif ketika masyarakat memiliki kemampuan dalam menganalisis sendiri situasi mereka, mampu merencanakan tindakan apa yang harus dilakukan, dapat mengambil keputusan bersama, dan tentunya melaksanakan serta mengevaluasi hasil yang direncanakan tersebut. Chambers menolak pendekatan pembangunan yang bersifat top-down (dari atas ke bawah), dan menggantinya dengan pendekatan bottom-up sehingga melalui partisipasi ini pembangunan berangkat dari kebutuhan, pengalaman, dan pengetahuan lokal masyarakat. Diskusi pun menjadi semakin dalam ketika membahas mengenai kuantifikasi indeks partisipasi. Bahasan tersebut mencoba mempertanyakan ulang, partisipasi bagaimana yang diabstrakkan. Jauh lebih dalam lagi dibahas mengenai mengapa perlu adanya pemberdayaan masyarakat beserta kuantifikasi-kuantifikasi indikator kesejahteraan. Pendekatan tersebut meskipun dalam konteks manajemen kebijakan merupakan sebuah sarana evaluasi sebuah program, perlu kita tinjau ulang dasar pemikirannya. Bilamana konsisten dengan pendekatan tersebut artinya bahkan dalam menentukan kesejahteraan masyarakat masih dilabel dengan sejahtera maupun tidak. Intinya peran aktif merupakan inti dari partisipasi itu sendiri.

Habermas (1981) menyoroti peran penting tindakan komunikatif, yaitu proses ketika individu terlibat dalam percakapan rasional yang bebas dari tekanan atau dominasi. Partisipasi dalam konteks ini merujuk pada keterlibatan aktif setiap individu dalam dialog yang memberi kesempatan setara untuk menyampaikan pendapat dan mendengarkan, dengan tujuan mencapai kesepahaman bersama. Sherry R. Arnstein (1969) melalui konsep Ladder of Citizen Participation menjelaskan delapan tingkatan partisipasi warga dalam proses pengambilan keputusan publik, mulai dari yang paling rendah berupa manipulation dan therapy, hingga yang paling tinggi yaitu citizen control. Tangga ini menggambarkan sejauh mana kekuasaan dan kendali diberikan kepada masyarakat dalam tata kelola pemerintahan. Tiga tingkatan teratas—partnership, delegated power, dan citizen control—mencerminkan bentuk partisipasi yang sejati, di mana warga tidak lagi menjadi penerima kebijakan secara pasif, melainkan berperan sebagai mitra aktif dalam proses pengambilan keputusan. Pada tingkat inilah prinsip collaborative governance terwujud, karena terjadi pembagian kekuasaan, tanggung jawab, dan negosiasi yang seimbang antara pemerintah dan masyarakat untuk mencapai tujuan bersama.

Dari bahasan tersebut juga terabstraksikan pun juga dapat menggambarkan bagaimana posisi masyarakat ini sebenarnya ketika berelasi dengan negara, perusahaan, maupun NGO. Masyarakat memiliki posisi sebagai objek yang harus diposisikan sebagai subjek atas pembangunan. Kesadaran bahwasanya masyarakat memiliki epistemologinya sendiri seolah diabaikan. Mungkin dari sini mengapa ilmu pembangunan oleh akademisi, intervensi kebijakan oleh negara, dan inovasi-inovasi metode oleh NGO selamanya akan menjadi temuan-temuan saja tanpa sedikitpun menyentuh jantung pembangunan itu sendiri. Sudah saatnya kita merefleksikan kembali bahwasanya negara, dunia pendidikan, maupun dunia usaha adalah alat yang dulunya diciptakan untuk mencapai tujuan kesejahteraan bersama. Kompleksitas-kompleksitas perlu diurai dengan mencoba mengembalikan ke hal yang paling dasar. Layaknya seseorang yang belajar mengenai matematika lanjutan seperti integral, kalkulus, trigonometry namun lupa itu adalah pencarian pola, keteraturan, dan hubungan logis untuk memahami serta memecahkan masalah dalam kehidupan nyata yang digambarkan melalui simbol. Dari pernyataan-pernyataan tersebut memang salah satu yang umat manusia butuhkan saat ini adalah sebuah metode untuk merefleksikan dan merumuskan kembali bagaimana cara hidup bersama ini.

Setelah memeriksa kembali mengenai “apa itu partisipasi”, sebuah pertanyaan kembali muncul yaitu mengenai apakah sebuah keniscayaan bahwasanya dalam pembangunan ini menghadirkan patron klien dan menciptakan elit-elit lokal baru. Patron-klien sendiri adalah hubungan timbal balik yang bersifat tidak setara, di mana pihak patron memberikan perlindungan atau sumber daya, sedangkan pihak klien memberikan dukungan, loyalitas, atau jasa sebagai balasannya. Patut disadari adanya patron klien ini adalah sebuah keniscayaan di masyarakat. Bahkan dalam usaha pembangunan terkadang yang dicari adalah local heroes desa/wilayah yang harapannya dapat hadir untuk turut mensukseskan pembangunan. Memang hal ini masih menjadi perdebatan, ada sebagian yang menganggap ini merupakan hal negatif karena sering menimbulkan ketergantungan, ketimpangan kekuasaan, dan praktik tidak adil seperti nepotisme, korupsi, atau penyalahgunaan wewenang di mana kepentingan pribadi patron lebih diutamakan daripada kepentingan bersama atau keadilan sosial. Namun disisi lain patron klien ini memiliki peran positif karena dapat menciptakan mekanisme informal check and balance dalam pembangunan, di mana relasi antara negara, perusahaan, dan masyarakat saling memengaruhi serta mengawasi, sehingga tercipta keseimbangan kepentingan, distribusi sumber daya yang lebih terarah, dan stabilitas sosial dalam proses pembangunan. Hal tersebut karena patron-patron ini adalah tokoh yang memahami secara holistik kondisi suatu wilayah atau desa dimana ia bermukim.

Setelah kita dekonstruksikan makna partisipasi dan  realitas patron klien lalu langkah apa yang akan ditawarkan berikutnya? Langkah transkontruksi apa yang akan dilakukan? Jawabanya adalah satu, perlunya sebuah refleksi mendalam dengan meninjau ulang bagaimana proses bagaimana hidup bersama selama ini. Dimana peran masyarakat, peran dunia pendidikan, peran dunia usaha, dan peran penyelenggara negara. Masing-masing mencoba duduk bersama mulai dari struktur mikro hingga yang paling makro. Tentunya tidak hanya berhenti dalam refleksi bersama saja, namun juga menyusun kembali strategi menjalani hidup bersama kedepanya. Sejauh ini masih belum ada sebuah mekanisme menjalani hidup bersama tersebut. Dunia usaha, dunia pendidikan, dan penyelenggara negara berjalan ke arah masing-masing, dan masyarakat menjadi bahan bakar roda relasi-relasi tersebut. Sudah saatnya kita susun ulang metode bagaimana hidup bersama tersebut.

Sumber :

Arnstein, S. R. (1969). A ladder of citizen participation. Journal of the American Institute of Planners, 35(4), 216–224.
Chambers, R. (1994). The Origins and Practice of Participatory Rural Appraisal. World Development, 22(7), 953–969.

Chambers, R. (1997). Whose Reality Counts? Putting the First Last. London: Intermediate Technology Publications.

Habermas, J. (1984–1987). The Theory of Communicative Action (Vols. 1–2, T. McCarthy, Trans.). Boston: Beacon Press. (Original work published 1981).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *