Kota-kota di Dunia Sedang Tenggelam? (Bagian 1)

Sumber ilustrasi: Pixabay

21 Oktober 2025 09.55 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Desanomia [21.10.2025] Fenomena penurunan permukaan tanah atau subsidence kini menjadi ancaman nyata bagi banyak kota besar di dunia, terutama yang terletak di pesisir pantai. Salah satu contohnya adalah Jakarta, Indonesia, di mana banjir bukan lagi peristiwa musiman, melainkan bagian dari rutinitas harian. Ketika air pasang datang, sebagian wilayah kota tergenang tanpa perlu hujan turun. Aktivitas warga tetap berjalan, meskipun mereka harus menerobos air untuk bekerja, berbelanja, atau sekadar menjalani kehidupan sehari-hari.

Permasalahan utama bukan hanya kenaikan permukaan laut, tetapi juga turunnya permukaan tanah secara bertahap. Selama dua dekade terakhir, laju penurunan tanah di Jakarta memang melambat, namun ancaman belum berakhir. Pada masa puncaknya, kota ini tenggelam hingga lebih dari 280 milimeter per tahun. Meskipun laju tersebut kini telah menurun menjadi sekitar 30 milimeter per tahun, dampaknya tetap besar. Seperempat wilayah Jakarta telah berada di bawah air, dan dalam dua puluh lima tahun mendatang, sepertiga kota diperkirakan bisa berada di bawah permukaan laut jika tidak ada perubahan signifikan.

Kondisi serupa juga terjadi di berbagai belahan dunia. Penurunan tanah yang semula dianggap sebagai proses alami, ternyata sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia. Kendati begitu, para ilmuwan kini mulai menemukan cara untuk memperlambat bahkan membalikkan proses tersebut melalui teknologi, kebijakan air berkelanjutan, dan pendekatan berbasis alam.

Penyebab utama penurunan tanah bukanlah gempa bumi, melainkan kebutuhan manusia akan sumber daya bawah tanah, terutama air. Sebagian besar air tawar di Bumi tersimpan sebagai es, sedangkan hanya satu persen yang tersedia di sungai dan danau. Sumber air yang paling banyak digunakan manusia berasal dari bawah tanah, yang dikenal sebagai air tanah atau groundwater. Ketika air ini diambil secara berlebihan melalui pemompaan dari akuifer, lapisan tanah kehilangan tekanan alami, sehingga tanah di atasnya mulai turun.

Kota-kota besar yang padat penduduk menjadi wilayah paling rentan karena kebutuhan air yang tinggi. Penelitian yang dilakukan di University of California, Irvine, menemukan bahwa dari 28 kota besar di Amerika Serikat, setidaknya 20 persen wilayah perkotaannya mengalami penurunan tanah akibat eksploitasi air tanah. Sekitar 34 juta orang hidup di kawasan yang terdampak, dengan ribuan bangunan menghadapi risiko kerusakan serius akibat fondasi tanah yang tidak stabil. Infrastruktur penting seperti jalan raya, jembatan, rel kereta, serta saluran air dan pembuangan menjadi rentan terhadap pergeseran dan retakan.

Selain itu, kegiatan konstruksi turut memperburuk situasi. Untuk membangun di atas tanah lunak, pekerja sering kali mengeluarkan air dari tanah sebelum membangun fondasi. Namun setelah proyek selesai, air tersebut tidak dikembalikan, menyebabkan tanah terus turun. Fenomena serupa terjadi di Taipei, Taiwan. Kota itu turun selama musim kemarau ketika air tanah dipompa keluar, lalu naik kembali pada musim hujan ketika air meresap ke dalam akuifer. Namun di wilayah dengan pembangunan intensif, tanah tidak pernah pulih sepenuhnya karena aliran air terhambat oleh struktur buatan.

Diolah dari artikel:
“Cities across the world are sinking. Here’s how they might rebound” oleh Alison Pearce Stevens.

Note: This article was made as part of a dedicated effort to bring science closer to everyday life and to inspire curiosity in its readers.

Link: https://www.snexplores.org/article/cities-sinking-floods-groundwater

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *