sumber ilustrasi: freepik
20 Apr 2025 08.40 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Desanomia [20.4.2025] Meski dunia modern dipenuhi dengan video memasak, blog resep, dan buku masak komersial, bukti arkeologis menunjukkan bahwa aktivitas memasak telah menjadi bagian penting dari kehidupan manusia sejak ribuan tahun lalu. Dari bubur hangus di pot zaman Batu hingga roti fermentasi di Mesir kuno, jejak kuliner masa lalu tersebar di berbagai belahan dunia. Namun, karena tradisi memasak masa lalu diwariskan secara lisan, dokumentasi tertulis mengenai resep sangat langka.
Salah satu temuan paling mencolok terkait sejarah kuliner datang dari empat tablet tanah liat kuno asal Babilonia yang disimpan di Universitas Yale sejak awal 1900-an. Tablet yang diperkirakan berasal dari sekitar tahun 1730 SM ini ditulis dalam aksara paku dan berasal dari wilayah yang kini merupakan bagian selatan Irak.
Awalnya, tablet tersebut sulit diidentifikasi. Pada tahun 1945, seorang akademisi bernama Mary Hussey mengemukakan bahwa tablet tersebut kemungkinan berisi resep makanan. Namun, banyak akademisi lain menolak gagasan ini dan menganggap isi tablet sebagai ramuan medis atau alkimia. Hal ini disebabkan oleh asumsi umum bahwa resep kuliner pada masa Mesopotamia tidak pernah ditulis, melainkan hanya diwariskan secara turun-temurun, terutama oleh perempuan.
Baru pada tahun 1980-an, arkeolog Jean Bottéro berhasil mengonfirmasi bahwa tablet tersebut memang berisi resep makanan. Meskipun demikian, Bottéro menilai bahwa hidangan yang dijelaskan di tablet tersebut tidak layak dikonsumsi. Pandangan ini mulai berubah ketika Gojko Barjamovic, seorang peneliti dan dosen senior di bidang Assyriologi di Yale, bekerja sama dengan tim lintas disiplin di Harvard untuk menerjemahkan dan merekonstruksi resep-resep kuno itu.
Tim menghadapi berbagai tantangan, mulai dari tablet yang rusak hingga istilah bahan yang tidak dapat diterjemahkan atau merujuk pada bahan yang kini sudah tidak dikenal. Meskipun begitu, mereka berhasil menyusun kembali berbagai resep, termasuk kaldu, semur, pai isi burung kecil, hingga olahan dari mamalia kecil. Sebanyak 25 jenis semur ditemukan, baik yang berbasis sayur maupun daging. Beberapa bahan yang digunakan masih lazim ditemukan di masakan Irak modern, seperti daging domba dan ketumbar. Namun, ada pula bahan yang dianggap ekstrem oleh standar masa kini, seperti darah dan tikus yang dimasak.
Salah satu tablet memuat instruksi yang lebih rinci, bahkan mencantumkan takaran. Meski begitu, sebagian besar resep hanya mencantumkan bahan dan langkah secara singkat. Salah satu contohnya menyebutkan penggunaan daging, air, garam halus, kue jelai kering, bawang bombai, bawang Persia, susu, daun bawang, dan bawang putih yang dihancurkan.
Peneliti menyimpulkan bahwa tablet tersebut merupakan kumpulan resep tertulis tertua yang diketahui saat ini. Tidak ditemukan dokumentasi resep tertulis lain selama waktu yang lama setelahnya, menjadikan tablet ini semacam “pulau pengetahuan” yang terisolasi tentang tradisi kuliner dari satu tempat dan satu masa tertentu.
Penelitian ini juga membuka pandangan baru mengenai pentingnya makanan dalam kebudayaan manusia sepanjang sejarah. Farrell Monaco, seorang peneliti dari University of Leicester, menyatakan bahwa mengkaji resep kuno dapat membantu manusia modern menghargai makanan mereka sendiri dan memahami kaitan historis antara masa lalu dan masa kini melalui praktik kuliner.
Buah Pikiran
Temuan resep tertua dari Babilonia ini menunjukkan bahwa makanan adalah lebih dari sekadar kebutuhan biologis, namun juga cermin peradaban. Fakta bahwa resep ribuan tahun lalu masih dapat diterjemahkan dan dicoba kembali di dapur masa kini memperlihatkan kesinambungan budaya yang luar biasa.
Di sisi lain, kisah ini juga menggarisbawahi bias sejarah terhadap pengetahuan domestik yang sering diasosiasikan dengan perempuan. Selama berabad-abad, aktivitas seperti memasak dianggap tidak cukup penting untuk didokumentasikan secara ilmiah, padahal ia adalah bagian mendasar dari identitas budaya dan sosial manusia. Dalam konteks ini, mempelajari resep kuno bukan hanya soal memulihkan cita rasa masa lalu, tetapi juga mengembalikan tempat terhormat bagi tradisi dan pengetahuan yang pernah dianggap sepele. Makanan, pada akhirnya, bukan hanya tentang rasa, tetapi tentang cerita, kebersambungan, dan siapa kita sebagai manusia. (NJD)
Sumber: Livescience
Link: https://www.livescience.com/archaeology/whats-the-oldest-known-recipe