Sumber ilustrasi: Pixabay
30 Agustus 2025 15.15 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Desanomia [30.08.2025] Sekitar 390 juta tahun yang lalu, lautan purba mengalami lonjakan kadar oksigen di kedalamannya, memungkinkan hewan laut menghuni wilayah yang sebelumnya tidak bisa mereka jamah. Peristiwa ini bertepatan dengan masa diversifikasi besar pada kelompok ikan berjawang, nenek moyang sebagian besar vertebrata modern, termasuk manusia. Fenomena ini diyakini dipicu oleh penyebaran tanaman darat berkayu, nenek moyang hutan modern, yang melepaskan lebih banyak oksigen ke atmosfer, yang kemudian terserap ke lautan.
Sebelumnya, para ilmuwan mengetahui bahwa oksigen merupakan prasyarat bagi kehidupan hewan. Akan tetapi, sejauh mana oksigen juga menjadi faktor penentu dalam pola evolusi masih menjadi perdebatan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa oksigen tidak hanya menjadi syarat dasar, tetapi juga kemungkinan menjadi pemicu waktu kemunculan dan penyebaran hewan kompleks di laut dalam.
Selama bertahun-tahun, para peneliti menduga bahwa lautan dalam telah menerima pasokan oksigen secara besar-besaran hanya sekali, yakni sekitar 540 juta tahun lalu di awal Era Paleozoikum. Tetapi studi-studi terbaru mulai membentuk narasi berbeda, yaitu bahwa oksigenasi laut tidak terjadi sekaligus, melainkan dalam beberapa tahap. Daerah pesisir tampaknya mengalami peningkatan kadar oksigen lebih dahulu, disusul oleh bagian laut yang lebih dalam pada waktu yang berbeda.
Untuk melacak waktu dan sifat dari proses oksigenasi ini, tim peneliti mempelajari batuan sedimen purba yang terbentuk di dasar laut dalam. Mereka menggunakan unsur selenium sebagai penanda kimia, yang memiliki beberapa isotop berbeda. Rasio isotop selenium dapat digunakan untuk menentukan kadar oksigen purba, karena perbedaan rasio isotop ini mencerminkan kondisi oksigen di laut ketika batuan tersebut terbentuk.
Di lingkungan laut yang mengandung oksigen cukup bagi kehidupan, rasio antara isotop berat dan ringan selenium bervariasi secara signifikan. Sebaliknya, di lingkungan yang kekurangan oksigen, rasio tersebut cenderung konstan. Dengan menganalisis rasio ini pada sedimen laut, para peneliti dapat menyimpulkan apakah kadar oksigen saat itu mendukung keberadaan hewan laut.
Tim mengumpulkan 97 sampel batuan dari berbagai wilayah di lima benua, yang berasal dari rentang waktu 252 hingga 541 juta tahun lalu. Semua batuan tersebut diambil dari wilayah yang dahulu merupakan ujung landas benua, area perairan yang dangkal sebelum dasar laut menukik tajam ke laut dalam. Dengan melalui proses panjang seperti penggilingan batu, pelarutan serbuk, dan pemurnian selenium, mereka akhirnya menganalisis setiap sampel untuk mengukur rasio isotopnya.
Dari data yang diperoleh, diketahui bahwa dua peristiwa oksigenasi utama terjadi di laut dalam. Yang pertama adalah peristiwa sementara sekitar 540 juta tahun lalu pada periode Kambrium. Yang kedua dimulai sekitar 393–382 juta tahun lalu pada periode Devon Tengah dan berlanjut secara permanen hingga kini. Di antara kedua peristiwa tersebut, kadar oksigen kembali turun ke tingkat yang tidak mendukung kehidupan sebagian besar hewan.
Peneliti menyatakan bahwa data selenium yang dikumpulkan menunjukkan dengan jelas bahwa oksigenasi pada Devon Tengah merupakan peristiwa permanen. Hal ini ditunjukkan oleh keberlanjutan variasi rasio isotop selenium dalam sampel batuan muda setelah periode tersebut. Kejadian ini juga bertepatan dengan berbagai perubahan besar dalam ekosistem laut yang dikenal sebagai “revolusi laut Paleozoikum pertengahan”.
Catatan fosil menunjukkan bahwa saat oksigen mulai stabil di kedalaman laut, ikan berjawang (gnathostome) dan kelompok hewan lain mulai menyebar dan berevolusi di habitat baru tersebut. Selain itu, ukuran tubuh hewan-hewan laut juga cenderung membesar, yang kemungkinan besar didukung oleh peningkatan pasokan oksigen yang memungkinkan metabolisme dan pertumbuhan yang lebih kompleks.
Peristiwa oksigenasi ini juga tumpang tindih dengan meluasnya keberadaan tumbuhan berkayu di darat. Tim peneliti menduga bahwa peningkatan jumlah tumbuhan ini meningkatkan kadar oksigen atmosfer secara signifikan, yang kemudian berdampak pada peningkatan oksigenasi laut melalui sirkulasi alami bumi. Hal ini memberi pemahaman baru tentang hubungan antara ekosistem darat dan laut dalam skala waktu geologis.
Sebaliknya, peristiwa oksigenasi pertama di Kambrium bersifat sementara dan penyebabnya masih belum diketahui secara pasti. Setelah puncak awal tersebut, kadar oksigen kembali menurun, sehingga membatasi penyebaran dan keragaman hewan laut ke wilayah-wilayah dalam. Ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan yang stabil diperlukan untuk mendukung keberlanjutan evolusi di habitat laut dalam.
Penelitian ini menunjukkan bahwa lonjakan oksigen laut dalam yang terjadi sekitar 390 juta tahun lalu bukan hanya peristiwa lingkungan, melainkan titik balik dalam sejarah evolusi kehidupan laut. Dengan menggunakan data isotop selenium dari batuan purba, para ilmuwan berhasil menunjukkan bahwa oksigenasi yang dimulai pada periode Devon Tengah bersifat permanen dan membuka jalan bagi penyebaran ikan berjawang serta hewan laut besar lainnya ke habitat laut dalam. Evolusi ini juga beriringan dengan peningkatan ukuran tubuh organisme dan munculnya ekosistem laut yang lebih kompleks.
Lebih jauh, hasil studi ini menegaskan betapa pentingnya kestabilan kadar oksigen laut bagi kelangsungan kehidupan. Meskipun fokus utama penelitian ini adalah masa lalu, konteksnya tetap relevan dengan tantangan lingkungan masa kini. Penurunan kadar oksigen di laut akibat aktivitas manusia, seperti limpasan pupuk dan pencemaran industri, mengancam keseimbangan yang telah terbentuk sejak ratusan juta tahun lalu. Melalui pelajaran dari sejarah geologi, kita diingatkan bahwa kestabilan yang menopang kehidupan bisa dengan mudah terganggu dalam hitungan dekade.
Diolah dari artikel:
“The ancient oxygen flood that forever changed life in the oceans” oleh Duke University.
Link: https://www.sciencedaily.com/releases/2025/08/250827010726.htm