Berapa Lama DNA Dapat Bertahan?

Sumber ilustrasi: Pixabay

3 Oktober 2025 15.30 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Desanomia [03.10.2025] Penemuan DNA tertua di dunia dari sedimen berusia 2,4 juta tahun di Greenland telah memicu pertanyaan besar dalam dunia sains: seberapa lama DNA dapat bertahan? Sejak ditemukannya DNA purba pertama kali pada tahun 1984 dari spesimen quagga yang telah punah, penelitian terhadap materi genetik masa lalu telah berkembang pesat. Namun, batas usia maksimal DNA yang dapat terdeteksi dan dianalisis masih menjadi misteri yang terus diteliti.

Dalam empat dekade terakhir, kemajuan teknologi telah memungkinkan para peneliti untuk mengekstraksi dan mengurutkan DNA dari organisme yang semakin tua. Penemuan rekor terbaru berasal dari lingkungan purba yang berusia 2,4 juta tahun di Greenland. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa di bawah kondisi tertentu, DNA dapat bertahan jauh lebih lama dari yang diperkirakan sebelumnya.

Ketertarikan terhadap DNA purba mendapatkan momentum besar setelah publikasi novel fiksi ilmiah Jurassic Park pada tahun 1990. Dalam cerita tersebut, DNA dinosaurus berhasil diambil dari serangga yang terperangkap dalam getah pohon membatu. Meski inspiratif, para ilmuwan akhirnya menemukan bahwa klaim serupa di dunia nyata ternyata tidak valid, karena DNA yang ditemukan dalam fosil zaman Kapur umumnya berasal dari bakteri modern dan bukan dari organisme purba.

Pada tahun 2012, tim peneliti yang dipimpin oleh Tom Gilbert dari Danish National Research Foundation melakukan analisis terhadap DNA mitokondria dari tulang burung moa di Selandia Baru. Studi tersebut menghasilkan model “half-life” DNA, yaitu waktu di mana separuh ikatan kimia dalam DNA akan terputus. Berdasarkan hasil tersebut, DNA memiliki paruh waktu sekitar 521 tahun. Dalam kondisi terbaik, model ini memprediksi bahwa DNA dapat bertahan hingga 6,8 juta tahun. Namun, waktu tersebut masih terlalu singkat untuk kemungkinan merekonstruksi DNA dinosaurus.

Jennifer Raff, seorang antropolog biologis dari University of Kansas, menjelaskan bahwa kondisi ideal untuk pelestarian DNA adalah lingkungan yang dingin, gelap, kering, dan relatif muda. Itulah sebabnya temuan DNA tertua berasal dari Greenland dan mengapa genom mamut tertua ditemukan di Siberia, wilayah dengan suhu rendah yang mendukung pelestarian biomolekul.

Ketika membahas DNA manusia dan kerabat dekatnya, tantangan utama datang dari kondisi geografis. Manusia berevolusi di wilayah yang panas dan lembap, lingkungan yang sangat tidak ramah bagi pelestarian DNA. Akibatnya, temuan DNA purba dari Afrika, tempat asal-usul manusia, sangat terbatas. Saat ini, DNA manusia tertua dari wilayah sub-Sahara hanya berusia sekitar 20.000 tahun.

DNA Neanderthal pertama kali diidentifikasi pada 1997 dari fosil berusia 40.000 tahun di Jerman. Sementara itu, DNA kerabat manusia tertua berasal dari Spanyol, di mana pada 2022 peneliti berhasil mengurutkan DNA dari tulang paha berusia 400.000 tahun. Hasil ini menunjukkan bahwa kelompok tersebut kemungkinan merupakan nenek moyang Neanderthal dan Denisovan.

Upaya untuk menggali informasi genetik dari kerabat manusia yang lebih tua, seperti australopithecus (yang mencakup Lucy), menghadapi kendala besar. Para ahli menilai bahwa kemungkinan untuk memperoleh DNA dari spesies tersebut sangat kecil karena mereka hidup di Afrika yang beriklim panas. Meskipun demikian, masih ada harapan untuk mendapatkan DNA dari Homo erectus, terutama karena spesies ini juga ditemukan di wilayah dengan kondisi yang memungkinkan pelestarian DNA, seperti Georgia dan Tiongkok.

Selain umur dan kondisi lingkungan, aspek lain yang tak kalah penting adalah apakah DNA yang bertahan masih bisa memberikan informasi bermakna. DNA yang terlalu rusak atau terfragmentasi akan sulit diidentifikasi, karena diperlukan urutan yang cukup panjang untuk menentukan asal-usulnya secara pasti. Analogi yang digunakan oleh para peneliti menyamakan DNA dengan sebuah buku: jika dipotong menjadi bab, isi buku masih bisa dikenali; jika dipotong menjadi kata-kata atau huruf, identifikasinya menjadi sangat sulit, bahkan tidak mungkin.

Hingga kini, DNA berusia 2,4 juta tahun adalah catatan tertua yang masih dapat diurutkan secara bermakna. Namun, para peneliti percaya bahwa wilayah seperti lapisan es di Antarktika mungkin menyimpan DNA yang bahkan lebih tua, dan belum ditemukan. Prediksi awal ilmuwan pada tahun 2003 memperkirakan batas usia DNA hanya sekitar 100.000 tahun, namun kenyataan saat ini menunjukkan bahwa prediksi tersebut meleset hingga 20 kali lipat.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa di bawah kondisi ideal, DNA dapat bertahan jauh lebih lama dari yang sebelumnya diperkirakan oleh para ilmuwan. Penemuan DNA dari sedimen berusia 2,4 juta tahun di Greenland memperluas batas pemahaman tentang stabilitas biomolekul di lingkungan ekstrem. Meskipun impian merekonstruksi DNA dinosaurus seperti dalam Jurassic Park masih mustahil secara ilmiah, eksplorasi DNA purba telah membuka pintu baru untuk memahami sejarah kehidupan di Bumi.

Keterbatasan pelestarian DNA di wilayah tropis dan tantangan dalam mengidentifikasi urutan genetik yang telah rusak menjadi hambatan utama dalam menguak asal-usul manusia dan kerabat dekatnya. Namun, dengan kemajuan teknologi dan pendekatan baru seperti paleoproteomik, kemungkinan untuk menemukan bukti genetik dari masa yang lebih jauh tetap terbuka. Penelitian ini tidak hanya memberi wawasan baru tentang evolusi, tetapi juga menunjukkan betapa kompleks dan rapuhnya jejak genetik yang tersimpan di alam.

Diolah dari artikel:
“How long does DNA last?” oleh Kristina Killgrove.

Note: This article was made as part of a dedicated effort to bring science closer to everyday life and to inspire curiosity in its readers.

Link: https://www.livescience.com/archaeology/how-long-does-dna-last

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *