Sumber ilustrasi: Wikimedia Commons
19 September 2025 09.05 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Desanomia [19.09.2025] Mumifikasi telah lama diasosiasikan dengan budaya Mesir kuno dan suku Chinchorro di Amerika Selatan. Akan tetapi, riset terkini yang diterbitkan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) pada 15 September mengungkap bahwa praktik pengawetan jasad manusia justru pertama kali dilakukan oleh komunitas prasejarah di wilayah Asia Tenggara dan China bagian selatan. Temuan ini mengubah pemahaman tentang sejarah awal ritual kematian manusia modern.
Penelitian ini melibatkan analisis terhadap puluhan situs pemakaman kuno di China, Laos, Filipina, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Tim peneliti menemukan bahwa banyak kerangka yang dikubur dalam posisi membungkuk ekstrem (hyperflexed) ternyata telah melalui proses pengasapan sebelum dikuburkan. Bukti ini menunjukkan bahwa mumifikasi lewat pengeringan dengan asap merupakan bagian dari praktik pemakaman yang dilakukan oleh masyarakat pemburu-pengumpul ribuan tahun lalu.
Awalnya, para peneliti merasa heran dengan posisi tubuh para kerangka yang sangat tidak wajar. Posisi meringkuk yang ekstrem tersebut mengindikasikan bahwa tubuh telah diikat erat dan dimanipulasi secara khusus setelah kematian. Hal ini sebelumnya pernah ditemukan di Portugal pada tahun 2022, dan saat itu dianggap sebagai indikasi proses mumifikasi.
Yang membedakan temuan dari Asia Tenggara adalah adanya bekas panas dan jelaga pada tulang, tetapi tidak ditemukan tanda-tanda pembakaran pada tanah atau area kuburan. Hal ini menunjukkan bahwa jasad mengalami pemanasan sebelum dikubur, bukan melalui proses kremasi. Untuk mengonfirmasi temuan tersebut, tim peneliti menggunakan teknik difraksi sinar-X dan spektroskopi inframerah untuk mendeteksi paparan panas pada tingkat mikroskopis. Hasilnya menunjukkan adanya paparan panas rendah dan perubahan warna yang konsisten dengan pengasapan lambat.
Menariknya, praktik pengasapan jenazah ini masih dilestarikan hingga kini oleh masyarakat adat seperti suku Dani dan Pumo di Papua, Indonesia. Dalam kunjungan lapangan tahun 2019, peneliti menyaksikan langsung proses mumifikasi dengan cara mengikat tubuh mendiang, menggantungnya di atas api kecil, dan mengasapinya selama berhari-hari hingga kulit tubuh menjadi kehitaman dan kering sepenuhnya. Teknik serupa kemungkinan telah dilakukan oleh masyarakat purba ribuan tahun lalu.
Meski jasad-jasad yang ditemukan dalam penelitian ini hanya menyisakan tulang tanpa jaringan lunak, peneliti menyimpulkan bahwa jasad tersebut tergolong mumi karena diawetkan secara sengaja. Mumifikasi ini berbeda dari yang lazim dibayangkan karena tidak disegel dalam peti tertutup, sehingga hanya bertahan selama puluhan hingga beberapa ratus tahun. Dalam iklim tropis yang panas dan lembap, pengasapan kemungkinan menjadi metode paling efektif untuk memperlambat pembusukan.
Aspek spiritual dan budaya juga menjadi bagian penting dalam praktik ini. Peneliti utama dari Australian National University menjelaskan bahwa tindakan pengasapan bukan sekadar upaya pengawetan, melainkan sarat dengan nilai simbolik dan emosional. Tubuh yang diawetkan memungkinkan para leluhur untuk tetap “hadir” secara fisik dalam kehidupan komunitas, mencerminkan rasa cinta dan penghormatan yang mendalam terhadap yang telah meninggal.
Temuan ini turut memperkuat model migrasi manusia purba yang dikenal sebagai two-layer model, yakni konsep bahwa dua gelombang migrasi manusia masuk ke Asia Tenggara: kelompok pemburu-pengumpul sekitar 65.000 tahun lalu, dan petani Neolitik sekitar 4.000 tahun lalu. Praktik mumifikasi melalui pengasapan diduga berasal dari kelompok awal ini dan masih diwariskan hingga saat ini oleh komunitas seperti suku Dani.
Seorang antropolog dari Nanyang Technological University yang tidak terlibat dalam penelitian ini menyebut bahwa temuan tersebut konsisten dengan pola migrasi dan interaksi awal manusia modern di Asia. Menurutnya, bukti penguburan dalam posisi meringkuk ekstrem yang tersebar luas di Asia Tenggara dapat ditafsirkan sebagai mumi asap, yang berarti praktik ini mungkin jauh lebih tua dan lebih luas penyebarannya dari yang selama ini didokumentasikan.
Peneliti bahkan menyatakan bahwa metode pengasapan jenazah ini bisa jadi sudah ada sejak masa awal penyebaran Homo sapiens dari Afrika ke Asia Tenggara, mungkin sejak 42.000 tahun lalu. Hal ini menunjukkan kesinambungan budaya dan biologis yang mendalam dalam sejarah manusia di wilayah tersebut.
Penemuan ini merevolusi pemahaman kita tentang asal-usul praktik mumifikasi. Bukan Mesir atau Amerika Selatan, tetapi Asia Tenggara dan China bagian selatan yang ternyata menjadi lokasi awal teknik pengawetan jenazah manusia. Proses pengasapan yang digunakan bukan hanya menunjukkan pemahaman teknis terhadap pengawetan, tetapi juga keterikatan emosional dan spiritual terhadap leluhur yang telah wafat.
Dengan bukti arkeologis yang kuat, penggunaan teknik ilmiah modern, dan referensi budaya masa kini, studi ini menunjukkan adanya praktik mumifikasi yang konsisten dan terstruktur sejak 10.000 tahun lalu. Temuan ini juga memperkuat teori migrasi dan keberlanjutan budaya yang menjadi fondasi penting dalam sejarah manusia di Asia.
Diolah dari artikel:
“World’s oldest mummies were smoke-dried 10,000 years ago in China and Southeast Asia, researchers find” oleh Kristina Killgrove.