Bumi Tempat Kita Menetap (3)

sumber ilustrasi: unsplash

24 Apr 2025 12.35 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Dalam dua esai sebelumnya telah dijelaskan bahwa krisis ekologis dan sosial yang kita hadapi berakar pada keterputusan manusia dari ruang hidupnya. Fragmentasi ruang dan kesadaran telah menjauhkan manusia dari tanggung jawab ekologis dan sosial sebagai warga yang “bermukim”. Kita berpandangan bahwa kesadaran perlu diperkuat formasi baru dari tata kelola kewilayahan. Dalam kaitan itulah, di sini akan disodorkan bahan bagi refleksi kita bersama, yakni mentransformasikan sistem administrasi yang berumah dalam birokrasi, menjadi suatu sistem yang berbasis komunitas setempat, dengan seluruh hak asal-usulnya, yakni desa.

Kelurahan: Representasi Birokrasi, Bukan Komunitas

UU No. 22 tahun 1999 menyebut kelurahan sebagai adalah wilayah kerja Lurah sebagai perangkat Daerah Kabupaten dan/atau Daerah Kota di bawah Kecamatan. Sementara UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 229:

(1) Kelurahan dibentuk dengan Perda Kabupaten/Kota berpedoman pada peraturan pemerintah.
(2) Kelurahan dipimpin oleh seorang kepala kelurahan yang disebut lurah selaku perangkat Kecamatan dan bertanggung jawab kepada camat.
(3) Lurah diangkat oleh bupati/wali kota atas usul sekretaris daerah dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Lurah mempunyai tugas membantu camat dalam:
a. melaksanakan kegiatan pemerintahan kelurahan;
b. melakukan pemberdayaan masyarakat;
c. melaksanakan pelayanan masyarakat;
d. memelihara ketenteraman dan ketertiban umum;
e. memelihara prasarana dan fasilitas pelayanan umum;
f. melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh camat; dan
g. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan menggunakan lensa ketentuan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa wilayah kelurahan dalam tata kelola pemerintahan daerah (kota) merupakan peralatan administratif dari mesin birokrasi pemerintahan yang lebih besar. Jika dibuat perbandingan, dalam batas tertentu, kelurahan tentu dirancang bukan untuk suatu agenda pemberdayaan dalam pengertian yang substantial, melainkan lebih merupakan unit kendali pemerintah pusat melalui jalur birokrasi vertikal. Dalam struktur kelurahan, masyarakat tidak memiliki kedudukan hukum sebagai subjek kolektif yang otonom. Kelurahan hanya memiliki aparat, bukan warga sebagai entitas hukum-politik yang berdaulat atas wilayahnya.

Pernyataan tersebut didasarjan pada keberadaan dan makna dari desa, yang secara hukum diakui sebagai masyarakat hukum (berbasis asal-usul) dengan hak mengatur rumah tangga sendiri, kelurahan tidak memiliki “otonomi”, tidak memiliki aset bersama, dan tidak memiliki kewenangan mengatur ruang hidup secara mandiri. Kenyataan inilah yang membuat kota menjadi wilayah dimana ruang didefinisikan dan dikelola dari atas, terputus dari keinginan, kebutuhan, dan tanggung jawab warga yang menetap di dalamnya. Realitas itulah, yang diam-diam diinternalisasi oleh warga, sedemikian rupa sehingga relasi antar warga menjadi relasi administrasi. Apa yang nampak sangat jelas, adalah bagaimana mendefinisikan koordinat tempat tinggal: di kota, berdasarkan alamat administrasi sesuai dengan yang tertulis di KTP, sementara desa di masa lalu, akan merujuk pada realitas sosio-ekologi setempat.

Desa: “Entitas Otonom” yang Menyatukan Ruang, Warga, dan Alam

Dalam UU No.6 tahun 2014, disebutkan bahwa desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengertian ini memperlihatkan bahwa desa entitas kehidupan bersama yang mengintegrasikan manusia dengan tanah, budaya, dan sistem sosialnya. Bahkan jika merujuk pada teks penjelasan pasal 18 UUD 1945, desa adalah entitas yang telah ada lebih dahulu ketimbang negara. Dalam hal ini, negara mengakui dan menghormati keberadaan desa. Jika desa ada sebelum negara, maka tentu saja dapat dimengerti jika dikatakan bahwa desa bukan (sekedar) satuan administratif. Berbeda dengan desa, yang jika ditinjau dari asal-usulnya, ada beberapa wilayah dimana desa “memiliki” kawasannya, ada musyawarah desa, tata ruang berbasis sejarah dan ekologi, serta sistem ekonomi yang umumnya lebih regeneratif daripada model urban yang akumulatif.

Apa yang hendak diajukan di sini sebagai bahan refleksi adalah apakah mungkin wilayah kelurahan ditransformasikan menjadi desa. Pandangan ini sekaligus untuk merespon apa yang dipandang suatu kecenderungan untuk mengkerdilkan makna desa, yang tidak lagi menjadi suatu satuan masyarakat yang memiliki “otonomi” dan sejarah yang panjang, melainkan dianggap sebagai fase sebelum menjadi kota (kelurahan). Mengapa pandangan tersebut diajukan? Hal ini tidak lepas dari pandangan “kebermukiman”. Tata hidup yang terfragmentasi, tercerabut dan cenderung mengabaikan keharusan merawat ruang hidup bersama, dan seakan-akan dapat menyerahkan urusan strategis tersebut pada otoritas adminitrasi, tentu saja akan mendatangkan tantangan yang tidak mudah diatasi. Realitas perubahan iklim yang telah mengancam ketahanan pangan dan berbagai peristiwa akibat kerusakan lingkungan, seperti banjir, dan kejadian lainnya, sebenarnya telah cukup untuk meyakinkan bahwa yang dibutuhkan sekarang adalah kesadaran untuk bermukim. Yang dimaksud adalah bermukim dalam realitas sosio-ekologi setempat. Hanya dengan bermukim maka komunitas akan tergerak merawat tempatnya bermukim. Namun, sangat disadari bahwa pandangan ini akan membawa implikasi yang luas dan mendasar.

Apa yang akan terjadi jika seluruh kelurahan bertranformasi menjadi desa? Secara kewilayahan hal itu berarti bahwa seluruh wilayah negara sebagai wilayah desa. Negara akan terdiri atas desa-desa, dan sebaliknya integrasi desa-desa merupakan negara itu sendiri. Dalam kerangka berpikir ini, maka seluruh warga bermukim dalam realitas sosio-ekologi setempat. Secara demikian, seluruh komunitas basis (desa) memiliki hak dan tanggung jawab untuk mengelola dan merawat ruang hidupnya. Tentu saja skema baru ini membutuhkan pandangan-pandangan yang sama sekali baru. Perubahan ini sangat mungkin tidak bisa dikenali dengan optik desentralisasi, akan tetapi mungkin suatu kebijakan baru tentang ruang dan tata ruang, sebagai hidup bersama. Warga tidak lagi diposisikan sebagai subyek penerima layanan, melainkan mereka yang bermukim, yang artinya dia sang pemilik rumah bersama yang bertanggung jawab menjaga keberlanjutannya.

Konsekuensi Ekologis dan Tata Kelola

Dengan menjadikan seluruh wilayah negeri sebagai desa, maka seluruh warga menjadi subjek ekologis yang menetap, bukan penduduk administratif. Mereka memiliki ruang deliberatif, memiliki aset bersama, dan bertanggung jawab terhadap tata ruang, sumber daya alam, dan dinamika sosial-budaya di wilayahnya. Ini juga membuka ruang tata kelola yang lebih otentik: musyawarah menjadi praktik keseharian, bukan sekadar prosedur pemilu lima tahunan. Desa sebagai bentuk dasar dari negara memungkinkan terwujudnya keberlanjutan ekologis dan sosial dari bawah. Tidak ada lagi warga yang merasa terpisah dari tanah tempat tinggalnya. Semua orang terlibat dalam merancang masa depan wilayahnya sendiri, karena mereka benar-benar tinggal dan bermukim di sana. Memang harus diakui, bahwa apa yang dibayangkan tidak akan langsung terwujud sebagai hal yang ideal, melainkan akan melalui proses yang tidak mudah, namun bukan tidak mungkin.

Transformasi tersebut dapat dikatakan kelurahan menjadi desa adalah langkah politis dan ekologis menuju kehidupan yang lebih menetap, lebih demokratis, dan lebih regeneratif. Ini bukan tentang nostalgia ke masa lalu, tetapi membangun masa depan di mana komunitas lokal memiliki kedaulatan atas ruang hidupnya. Ketika seluruh wilayah negeri menjadi wilayah desa, maka seluruh warga negeri benar-benar menjadi warga ekologis: tinggal, merawat, dan mewariskan bumi ini sebagai rumah bersama. Barangkali akan ada pertanyaan yang sangat penting dan mendasar.

Satu, masalah terkait dengan susunan negara. Apa yang sekarang berjalan, tentu akan mengalami evaluasi menyeluruh dan dari sana dibangun kembali suatu formasi yang menempatkan desa sebagai “subyek politik”. Hal ini juga akan mentransformasi representasi politik dan dengan demikian juga akan membawa pengaruh kepada agenda bangsa ke depan. Dua, masalah terkait dengan disain ekonomi. Dengan konsep bermukim yang menjadi nyata dalam hidup bernegara, maka sudah barang tentu ekonomi yang dikembangkan, bukan lagi ekonomi konvensional, melainkan ekonomi yang bermukim, yakni ekonomi yang menyadari keberadaannya dalam realitas sosio-ekonomi setempat. Transformasi dua arena tersebut, kendati belum mencerminkan keseluruhan perubahan yang mungkin terjadi, namun telah akan dengan sendirinya mengubah tata kelola dalam hidup bersama kita sebagai bangsa Merdeka. [Desanomia – 24.4.25 – TM]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *