sumber ilustrasi: pixabay
28 Apr 2025 09.40 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Ada cerita kecil, dari tepi sawah, di sebuah desa. Cerita dimaksud adalah momen singkat dimana seorang perempuan tani, melemparkan kulit singkong ke sawah. Karena jumlah tidak banyak, atau bahkan sedikit, maka kulit singkong hanya tersebar di bagian pinggir dari sawah, dimana padi mulai tumbuh. Tidak di seluruh bagian, tetapi hanya bagian kecil, sesuai dengan kulit singkong yang dibawa perempuan tani tersebut. Ketika kepadanya ditanyakan: untuk apa menyebar kulit singkong? Yang bersangkutan menjawab dengan sekenanya: untuk keong? Yang bertanya, kembali bertanya penasaran (dan karena awam, alias tidak mengerti seluk beluk keseharian wong tani): maksudnya? Yang ditanya kembali menjawab, sambil lalu: untuk makan keong. Jawaban masih belum dimengerti, karenanya pertanyaan kembali diajukan: maksudnya? Segera dijawab: untuk makan keong, agar keong tidak makan tanaman. Jawaban yang tidak terduga, kendati nampak biasa dan bagi yang telah terbiasa, mungkin akan segera mengerti maksud dan maknanya.
***
Bagi yang terbiasa bergulat dengan pengetahuan, mungkin akan mengeksplorasi peristiwa tersebut dengan beberapa pertanyaan: Satu, darimana pengetahuan tentang cara mengatasi hama keong dengan kulit singkong? Apakah dari medsos, getok tular, pewarisan pengetahuan, atau dari buku. Apakah mungkin pula dari penyuluh pertanian? Atau, yang mungkin jarang diduga, bahwa pengetahuan tersebut adalah hasil riset personal dari perempuan tani itu. Dua, apakah kemampuan kulit singkong mengatasi hama tersebut, telah teruji: baik dalam pengalaman atau dalam riset tentang kemampuan kulit singkong dalam mengatasi hama? Jika telah teruji, apakah ada laporan pengamatannya, atau laporan studinya? Jika belum teruji, atau tidak ada laporan tersebut, mengapa dilakukan? Apakah peristiwa tersebut bagian dari riset itu sendiri? Tiga, apa yang akan terjadi pada keong jika telah memakan kulit singkong tersebut? Apakah akan lumpuh, atau seperti apa tindakan selanjutnya? Memang tidak ada penjelasan lebih lanjut akan hal tersebut. Pertanyaan lain, mungkin masih bisa dideretkan untuk menggali peristiwa kecil tersebut.
Rentetan pertanyaan tersebut, akan terasa wajar, jika dilihat dari sudut pandang yang lain. Apabila dicaritahu tentang kulit singkong, maka akan muncul beberapa informasi yang berbeda. Misalnya: (1) ada riset yang mencari tahu kemungkinan pemanfaatan limbah kulit singkong sebagai pupuk organik untuk budidaya tanaman pangan dengan sistem tumpang sari. Dalam hal ini kulit singkong difermentasi menjadi kompos menggunakan campuran kotoran kambing dan bahan lainnya. Penelitian Sulistyowati, dkk., (2022), memperlihatkan hasil yang menunjukkan bahwa pupuk tersebut berhasil meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman seperti bayam, kangkung, dan pokchoi, yang secara otomatis membantu petani mengurangi ketergantungan pada pupuk konvensional.
(2) ada riset yang mencari kemungkinan pemanfaatan kulit singkong, dari sekedar menjadi limbah tidak berguna, menjadi pakan ternak melalui proses fermentasi. Tindakan fermentasi ditujukan untuk mengurangi kandungan sianida berbahaya. Fermentasi dilakukan dengan mencuci, mengukus, lalu mencampur kulit singkong dengan mikroorganisme atau produk fermentasi lain. Setelah proses fermentasi berjalan, lantas hasilnya diberikan sebagai pakan dengan nilai gizi tinggi dan aman dikonsumsi (lihat: diperpa.badungkab.go.id.)
(3) ada pula penelitan yang berusaha menemukan manfaat lain dari kulit singkong, yang dalam hal ini adalah memanfaatkan tepung kulit singkong sebagai bahan dasar untuk pembuatan adonan batter pada produk seperti bandros, dibandingkan dengan batter dari tepung beras. Riyanti dan Rini (2022) menunjukkan bahwa batter dari tepung kulit singkong memiliki kandungan karbohidrat tinggi, cita rasa yang cukup disukai masyarakat, serta potensi besar sebagai substitusi tepung beras. Tentu saja hasil ini memperluas kemungkinan penggunaan atau pemanfaatan limbah kulit singkong.
(4) bahkan ada riset yang lebih jauh, yakni mencari tahu kemungkinan kulit singkong sebagai bahan baku karbon aktif, lantaran kandungan karbonnya yang tinggi. Proses pembuatannya melibatkan aktivasi kimia menggunakan garam dan karbonisasi pada berbagai suhu dan sejumlah waktu (untuk memprosesnya). Maulinda, Leni, dkk. (2015), memperlihatkan bahwa karbon aktif yang dihasilkan menunjukkan kinerja baik dalam menjernihkan air sumur, mampu menurunkan kandungan besi dan kandungan lain, serta menurunkan tingkat kekeruhan secara signifikan, terutama pada karbonisasi dengan suhu tinggi dalam waktu yang cukup, yang memenuhi standar kualitas air bersih menurut otoritas.
Bagi mereka yang tekun mencari, tentu akan mendapatkan demikian banyak temuan dari berbagai riset, yang memperlihatkan bahwa upaya mencari tahu manfaat dari kulit singkong demikian banyak. Sebagian tentu menjadi praktek, dan sebagian yang lain, barangkali masih tergeletak menjadi naskah laporan riset. Apa yang ingin ditunjukan di sini adalah bahwa: (a) adalah ternyata kulit singkong telah menarik perhatian banyak pihak. Kulit singkong yang tidak ikut dikonsumsi ketika mengkonsumsi singkong, atau mengubah singkong menjadi bahan panganan, pada akhirnya menjadi limbah. Perhatian tersebut, tidak saja ditujukan untuk mengurangi “sampah”, akan tetapi juga bermaksud mengubah yang dianggap tidak berguna menjadi bahan yang berguna, baik bagi ternak, manusia dan alam itu sendiri; dan (b) diantara kesibukan para peniliti atau para pihak yang punya concern dengan pertanian, subyek petani, sebagaimana cerita kecil di atas juga “berkreasi” dengan kulit singkong.
Hal yang barangkali penting untuk menjadi refleksi adalah bahwa dari dua arus tadi, kita dapat membedakan setidaknya dua maksud: (i) maksud riset, dimana kulit singkong menjadi obyek riset – lepas dari kegunaan paska riset; dan (ii) maksud hidup, yakni kulit singkong sebagai sesuatu yang dipandang dapat ikut mengatasi masalah yang dapat mengganggu proses pertumbuhan padi. Ujung yang dihindari adalah jumlah panen yang kurang, karena panen kurang akan berdampak langsung pada kehidupan subyek tani. Sampai di sini, kita mungkin segera dapat menangkap sisi lain dari kulit singkong, bahwa selain daya tariknya untuk keperluan riset, namun dalam cerita di atas, kulit singkong (mungkin) dapat dilihat sebagai saksi dari kecemasan petani akan hasil produksinya. Masalah hama barangkali telah lama dan terus berulang, namun belum ada penyelesaian yang permanen. Kulit singkong barangkali bukan satu-satunya saksi. Ada obyek peristiwa yang dapat dipandang sebagai saksi, bukan hanya kecemasan, akan tetapi usaha yang tidak pernah kenal lelah. Suatu usaha yang sesungguhnya berbasis pada kecerdasan setempat, kecerdasan yang tidak sekedar cerdas untuk pengetahuan tetapi kecerdasan yang mengabdi pada kehidupan. [Desanomia – 28.4.25 – TM]