Desa: Ekologi, Ekonomi, dan Espitemologi (4)

Sumber ilustrasi: unsplash

26 Mei 2025 19.50 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Pada pembahasan sebelum ini [Desa: Ekologi, Ekonomi, dan Epistemologi (3)], pada bagian ujung telah dibahas beberapa aspek penting, yakni:

Pertama, telah diperkenalkan tiga titik dasar, yakni ekologi, ekonomi dan epistemologi. Kedua, telah diperkenalkan pula hal yang muncul dari relasi ketiga titik dasar tersebut, yakni tiga garis, yang diperkenalkan sebagai politik, sosial dan kultur. Dari yang kedua ini, dikatakan bahwa ketiga garis tersebut [politik, sosial, dan budaya] bukan entitas berdiri sendiri, melainkan timbul dari relasi-relasi dasar yang hidup dan reflektif. Dengan demikian, kehidupan desa dapat dibaca sebagai konfigurasi eksistensial yang terus-menerus terbentuk melalui dinamika antara hidup, makna, dan nilai.

Dari pertemuan dua titik, muncul pertanyaan bagaimana jika relasinya adalah relasi tiga titik sekaligus, dan bahkan bagaimana jika tiga garis yang dibentuk dari tiga titik tersebut, juga saling berinteraksi? Karena itu diajukan dua pertanyaan: Pertama, apa yang timbul dari relasi ketiga titik tersebut atau ketika ketiga titik mengalami interaksi apa yang ditimbulkannya? Kedua, apa yang timbul dari garis yang timbul dari relasi dua titik utama, atau ketika ketiga garis yang timbul dari relasi dua titik utama mengalami interaksi, apa yang ditimbulkannya?

Beginilah jawaban yang diajukan:

  • Interaksi tiga titik [ekologi, ekonomi, epistemologi], memunculkan atau timbul yang disebut sebagai struktur dasar keberadaan. Yang dimaksud adalah bahwa ketika tiga titik dasar (ekologi, ekonomi, epistemologi) berinteraksi secara integral, yang ditimbulkan adalah arsitektur dasar dari dunia-hidup desa sebagai sistem kehidupan yang menyatu. Ini bukan hasil penjumlahan, melainkan struktur keberadaan yang saling-membatasi dan saling-memungkinkan. Yang dihasilkan adalah desa sebagai unit keberadaan, bukan administratif, yang memuat cara hidup, cara mengetahui, dan cara mengelola nilai dalam satu kesatuan praksis eksistensial. Interaksi ini membentuk fondasi internal desa sebagai realitas yang hidup. Mengapa? Karena ketiganya merupakan elemen dasar, maka interaksi tersebut melahirkan modus keberadaan komunitas, di mana hidup dialami dalam keseimbangan antara kebutuhan, pengetahuan, dan keterhubungan dengan alam.
  • Interaksi tiga garis [politik, sosial, kultural] memunculkan atau timbul apa yang disebut sebagai artikulasi kehidupan bersama. Yang dimaksud adalah bahwa ketika tiga garis yang terbentuk dari relasi antar titik berinteraksi, yang ditimbulkan adalah bidang horizontal kehidupan bersama, yakni manifestasi dari struktur dasar keberadaan dalam bentuk ekspresi sosial, simbolik, dan institusional. Yang dihasilkan adalah kehidupan desa sebagai ruang artikulatif, di mana nilai-nilai dijalankan dalam bentuk kerja sama sosial, ekspresi kultural, dan pengambilan keputusan kolektif. Mengapa? Karena tiga garis tersebut bukan elemen dasar, tetapi hasil derivatif yang bersifat ekspresif. Interaksinya membentuk dimensi penghayatan bersama yang memperlihatkan dinamika, struktur, dan sistem pengorganisasian hidup komunitas.
  • Apa yang membedakan keduanya? Yang pertama, merupakan tentang “apa yang memungkinkan keberadaan desa?”, sedangkan yang kedua tentang “bagaimana keberadaan itu diwujudkan secara hidup?”
  • Bagaimana jika keduanya, yakni interaksi tiga titik dan tiga garis, berinteraksi atau terjalin relasi: apa akan timbul? Yang dibayangkan muncul adalah apa yang dipahami sebagai Kesadaran Etis (etika sebagai emergensi vertikal)[i]Yang dimaksud adalah bahwa ketika tiga elemen dasar (titik) dan tiga artikulasi relasional (garis) berinteraksi secara keseluruhan dan intensif, maka muncul suatu tegangan eksistensial yang menghasilkan etika sebagai “horizon transendental”. Ini adalah momen reflektif di mana keberadaan tidak hanya dijalani, tetapi dipersoalkan dan dinilai. Yang dihasilkan adalah munculnya etika sebagai “titik vertical”, yaitu kesadaran tanggung jawab yang melampaui fungsionalitas sistem, dan mempersatukan struktur dengan praksis secara normatif. Mengapa demikian itu? Karena etika tidak hadir dari elemen tertentu, tetapi dari keterjalinan seluruh elemen secara intensif. Ketika relasi tidak lagi sekadar berlangsung, tetapi disadari dan dihadapi secara reflektif, maka etika lahir sebagai pusat evaluatif atas cara hidup itu sendiri. Etika menjadi panggilan keberadaan.
  • Sampai di sini, hendak ditegaskan bahwa desa tidak hanya dilihat sebagai sistem, tetapi sebagai keberadaan reflektif yang hidup, berpikir, dan bertanggung jawab. Sebuah “arsitektur eksistensial” yang menyatukan hidup, makna, dan nilai dalam satu kesatuan yang terus-menerus diperbarui.

***

Bagian akhir dari edisi terdahulu secara sengaja diangkat kembali dan diletakkan sebagai pembuka, bukan hanya untuk agar tidak ada keterputusan pembacaan, melainkan juga untuk mengingat kembali bahwa uraian yang diberikan masih sangat minimal, terutama dengan munculnya etika. Kemunculan etika telah memunculkan pertanyaan yang sangat serius, sebagaimana halnya ketika menemukan kenyataan bahwa dalam optik ini, politik, sosial dan kultur, bukan entitas yang berdiri sendiri, melainkan timbul dari relasi antar elemen. Itulah pertanyaan dasar yang secara spontan muncul. Mengapa etika adalah hal yang timbul dari “situ”, dan bukan sesuatu yang datang dari luar? Karena itulah muncul pertanyaan: (1) mengapa etika dan bukan yang lain yang muncul sebagai titik vertikal emergen dari sistem relasional keberadaan desa? dan (2) bagaimana struktur dasar keberadaan desa dan artikulasi relasional membentuk dan meniscayakan kemunculan etika?

I. Mengapa Etika dan Bukan yang Lain

Pertama, etika adalah satu-satunya bentuk kesadaran yang tidak bersifat fungsional, melainkan reflektif dan “transcendental”. Ekologi mengatur cara manusia berada dalam keterhubungan dengan alam; ekonomi mengatur distribusi nilai dalam hidup bersama; epistemologi mengatur cara mengetahui yang lahir dari pengalaman dunia-hidup. Ketiganya membentuk struktur dasar keberadaan yang konstitutif, namun tidak memiliki kapasitas evaluatif terhadap diri mereka sendiri. Demikian pula, artikulasi praksisnya—politik, sosial, dan kultur—adalah bentuk-bentuk kehidupan bersama yang mewujudkan sistem tersebut, namun tetap berada dalam kerangka operasional dan simbolik.

Etika, berbeda dari semua itu, bukan hanya mengatur, tetapi menilai dan mempertanyakan: apakah cara hidup ini adil? apakah pengetahuan ini pantas? apakah distribusi ini layak? Karena itulah, hanya etika yang dapat berfungsi sebagai titik timbul vertikal yang menyatukan struktur (tiga titik dasar) dan praksis (tiga garis artikulatif) ke dalam satu horizon penilaian eksistensial. Etika adalah satu-satunya bentuk kesadaran yang mampu bertanya atas sistem itu sendiri. Etika tidak lahir dari satu titik atau relasi, melainkan dari keseluruhan intensitas keterhubungan yang hidup, dan karena itu, etika di sini dapat dipandang sebagai bentuk respons eksistensial yang tak tergantikan.

II. Bagaimana Terbentuknya

Etika terbentuk melalui tegangan yang muncul dari intensitas relasi antara elemen-elemen dasar dan artikulatif. Ekologi menuntut keterhubungan; ekonomi menuntut distribusi; epistemologi menuntut pemaknaan. Ketika ketiganya berlangsung tanpa kesadaran reflektif, maka sistem dapat berjalan dalam keberulangan tanpa arah. Namun ketika ketiganya bertemu dalam kesadaran yang saling menginterupsi, ketika distribusi nilai mengancam keseimbangan ekologis, ketika pengetahuan digunakan untuk manipulasi ekonomi, ketika makna dikonstruksi untuk menyingkirkan yang lain, maka muncullah kebutuhan akan horizon evaluatif.

Artikulasi praksis seperti sosial, politik, dan kultur menunjukkan ekspresi ketegangan ini: konflik kepentingan, ketimpangan sosial, simbolisasi eksklusif. Dalam situasi ini, relasi tidak cukup hanya dijalani, tetapi harus dialami secara reflektif, ditimbang secara normatif. Maka, etika lahir sebagai kesadaran akan keterlibatan yang tak terhindarkan, sebagai panggilan terhadap tanggung jawab eksistensial atas yang lain, dan sebagai evaluasi terhadap cara kita hidup bersama. Etika adalah resonansi dari tegangan hidup itu sendiri.

III. Dari Relasi ke Etika

Setiap relasi dasar dan relasi artikulatif membuka kemungkinan munculnya pertanyaan etis:

  • Dari ekologi dan ekonomi: bagaimana membatasi pengambilan (eksploitas), agar alam tetap lestari?
  • Dari ekonomi dan epistemologi: apakah pembagian hasil mencerminkan keadilan, atau manipulasi?
  • Dari epistemologi dan ekologi: apakah cara memahami alam menciptakan perusakan atau hormat dan perawatan?
  • Dari politik: apakah keputusan diambil oleh yang bijak atau hanya yang berkuasa?
  • Dari sosial: apakah kerja dibagi dengan adil?
  • Dari kultur: apakah simbol-simbol mengandung penghormatan atau diskriminasi?

Etika hadir sebagai horizon penilaian dari semua itu. Bukan sebagai hukum tertulis, melainkan sebagai kesadaran yang memanggil: kita tak bisa tidak menjawab. Ini bukan tambahan sistem, melainkan pusat yang mengarahkan sistem. Maka, hanya etika yang dapat berdiri sebagai “titik vertikal” yang tidak mengatur fungsionalitas, tetapi mengarahkan keberadaan.

IV. Etika dalam Konteks Keberadaan Desa

Dalam kerangka ini, etika bukanlah sistem norma eksternal, bukan hukum moral formal, dan bukan pula prinsip universal yang diterapkan dari luar kehidupan. Etika adalah kesadaran eksistensial yang lahir dari intensitas relasi kehidupan. Yakni ketika komunitas (manusia) menyadari bahwa dirinya tidak dapat hidup tanpa terlibat dengan yang lain: dengan alam, dengan sesama, dan dengan nilai-nilai yang diwarisinya dan yang diciptakannya. Etika dalam konteks desa adalah kesadaran akan tanggung jawab kolektif dan historis yang tidak bisa dielakkan. Ini berbeda dengan etika dalam pengertian umum yang sering bersifat legalistik, individualistik, atau abstrak. Etika desa adalah etika yang hidup, tertanam dalam tubuh kolektif, dan hadir sebagai evaluasi atas cara hidup itu sendiri. Bukan kumpulan aturan, tetapi tegangan normatif yang muncul dari dunia-hidup yang dialami. Tidak dapat diinstitusionalisasi secara mutlak, karena bersifat resonansi, bukan prosedur; interupsi reflektif, bukan mekanisme.

***

Adanya etika sebagai titik yang timbul dari bidang horizontal, tentu saja memunculkan pertanyaan yang lebih jauh, yakni: (1) Apa yang akan timbul, ketika titik etika berelasi dengan tiga titik dasar? Apa yang muncul ketika dari relasi etika dan ekologi; etika dan ekonomi; dan etika dan epistemologi; (2) Apa yang muncul ketika tiga titik berinteraksi? Apa yang muncul ketiga tiga garis yang terbentuk berinteraksi? Dan apa yang muncul ketika semuanya berinteraksi? Pertanyaan-pertanyaan ini tentu tidak mudah menjawabnya.

I. Etika dan Ekonomi

Etika dan ekonomi, ketika berinteraksi dalam konteks keberadaan desa, menciptakan suatu struktur relasional yang menuntut penilaian atas kelayakan dan tanggung jawab dalam pengelolaan nilai. Ekonomi, dalam pengertian ini, bukan sekadar sistem pertukaran, melainkan bentuk dari cara hidup yang mengorganisasi kerja, distribusi, dan keberbagian atas dasar kebutuhan dan keterlibatan kolektif. Sementara itu, etika hadir sebagai horizon normatif yang menyinari relasi ekonomi tersebut dengan kesadaran akan martabat, batas, dan pertimbangan akan yang lain.

Relasi antara keduanya menimbulkan bentuk keseimbangan eksistensial yang tidak hanya mempertimbangkan efisiensi atau kontribusi, tetapi juga kepantasan dan tanggung jawab. Relasi ini tidak bersifat fungsional, melainkan eksistensial, di mana distribusi bukan hanya soal hasil, tetapi bagaimana hasil itu mencerminkan penghargaan terhadap partisipasi, kerentanan, dan keberlanjutan hidup bersama. Dalam intensitas keterhubungan itulah muncul apa yang akan disebut keadilan, yakni struktur normatif yang memungkinkan nilai hidup bersama dijaga dan dibagi secara pantas.

Keadilan di sini bukan entitas yang ditetapkan di luar, tetapi hasil dari konfigurasi relasi yang berlangsung antara manusia, kerja, dan nilai dalam terang etika. Suatu tatanan yang mengakui batas, menjaga keberbagian, dan menolak dominasi dalam distribusi. Dalam epistemologi desa, keadilan menjadi bentuk hidup yang menyatu dalam kesadaran kolektif, hadir dalam ritus gotong royong, pembagian hasil panen, dan kesepakatan musyawarah.

Sebagai struktur relasional, keadilan bukan sistem formal, tetapi kondisi yang terwujud ketika setiap relasi dijalani dengan penghargaan dan kesadaran akan posisi dan kebutuhan semua pihak. Suatu keadaan ketika ekonomi berjalan dalam kepantasan; ketika kerja dihormati, kebutuhan dipahami, dan hasil dibagikan dalam rasa kebersamaan yang dijaga.

Keadilan yang demikian bukan keadilan konvensional. Tidak dirumuskan sebagai proporsionalitas kuantitatif atau kesetaraan abstrak, melainkan sebagai: Keseimbangan relasional yang timbul dari intensitas hidup bersama, di mana distribusi nilai terjadi dalam kesadaran etis akan tanggung jawab dan keberbagian.

Keadilan konvensional cenderung bersifat legalistik, mengandaikan individu-individu yang otonom dan terlepas dari konteks, serta menilai berdasarkan standar eksternal. Sebaliknya, keadilan dalam epistemologi desa bersifat “tertanam”: tumbuh dalam konteks, dijalani dalam keseharian, dan dijaga melalui praktik hidup bersama. Tidak diinstitusikan secara formal, tetapi diresapi secara kolektif.

Keadilan ini adalah bentuk sublimasi dari relasi yang dijalani dalam kesadaran penuh bahwa setiap tindakan ekonomi tidak netral, melainkan memiliki dampak moral terhadap yang lain. Dalam kerangka ini, keadilan tidak hadir sebagai hasil dari desain rasional, tetapi sebagai pancaran dari kehidupan yang dijalani dalam penghormatan terhadap martabat dan keterlibatan semua pihak.

II. Etika dan Ekologi

Apa yang timbul, ketika etika berinteraksi dengan ekologi dalam struktur kehidupan desa? Masalah ini perlu dilihat bahwa yang berlangsung tidak hanya menyangkut hubungan manusia terhadap lingkungan, tetapi juga keterlibatan eksistensial yang menyadari keterbatasan dan keterikatan yang mendalam dengan ruang hidup. Ekologi, dalam kerangka ini, bukan sekadar lanskap atau sumber daya, tetapi bentuk dari cara berada yang ritmis dan menyatu. Suatu tubuh bersama yang menghidupi dan dihidupi: tanah, air, hutan, udara bukan benda, tetapi sahabat dalam keberadaan.

Etika sebagai horizon tanggung jawab tidak datang dari luar, tetapi muncul dari dalam kesadaran akan dampak tindakan terhadap dunia yang dihuni bersama. Etika tidak memerintah apa yang boleh atau tidak boleh, melainkan menyadarkan bahwa setiap tindakan ekologis mengandung konsekuensi moral: merawat atau merusak, memperpanjang kehidupan atau memutus mata rantainya. Dalam intensitas kesadaran akan keterikatan inilah muncul bentuk normatif yang akan disebut sebagai kelestarian, yakni kondisi relasional yang mempertahankan kehidupan dalam keseimbangan yang penuh hormat dan tanggung jawab.

Kelestarian tidak hadir sebagai kebijakan atau target teknis, tetapi sebagai resonansi dari cara hidup yang menyatu dalam keterbatasan. Cara alam dijaga bukan karena perlu (fungsional), tetapi karena dihargai. Relasi antara manusia dan alam bukan transaksional, tetapi partisipatif, di mana musim ditunggu, tanah dipahami, sungai disapa. Kelestarian lahir dari pengakuan bahwa keberlanjutan bukan hak istimewa, tetapi konsekuensi dari hidup bersama yang adil terhadap yang lain, termasuk yang bukan manusia.

Kelestarian sebagai struktur relasional berarti bahwa tindakan ekologis dilakukan bukan karena dorongan instrumental, tetapi karena tanggung jawab terhadap dunia yang menjadi rumah bersama atau tempat bermukim bersama. Dalam keberadaan desa, kelestarian tidak disuarakan dalam jargon lingkungan, tetapi dijalankan dalam ritme hidup: aturan dalam tradisi, pantangan, larangan, dan ritus adalah ekspresi simbolik dari relasi yang dijaga.

Kelestarian berbeda secara mendasar dari konsep konservasi konvensional yang teknokratis. Kelestarian dalam hal ini dimaknai sebagai kemampuan relasional untuk menjaga keberlanjutan hidup dalam hormat terhadap batas, ritme, dan kerentanan yang melekat dalam dunia-hidup.

Jika konservasi konvensional bersandar pada data dan logika manajemen sumber daya, maka kelestarian dalam epistemologi desa bersandar pada pengalaman, kearifan kolektif, dan kesadaran etis yang hidup dalam tubuh komunitas. Penting ditegaskan bahwa kelestarian tidak dihasilkan oleh sistem, tetapi oleh cara hidup yang menyatu dalam relasi.

Kelestarian adalah bentuk sublimasi dari relasi ekologis yang disinari etika. Tidak ditentukan, tetapi dirawat; tidak ditargetkan, tetapi dihidupi. Dalam kerangka ini, kelestarian adalah pancaran dari kehidupan yang menjaga dirinya sendiri, karena mengerti bahwa hidup bersama hanya mungkin jika “keberadaan lain” turut lestari.

III. Etika dan Epistemologi

Sebagaimana kedua relasi di atas, interaksi etika dan epistemologi dalam kerangka kehidupan desa, akan membentuk struktur relasional yang mendalam, di mana pengetahuan tidak lagi dipahami sebagai sistem akumulatif yang netral, melainkan sebagai bentuk keterlibatan eksistensial dengan dunia yang dialami secara kolektif. Epistemologi desa tidak lahir dari institusi keilmuan yang formal, tetapi dari tubuh yang bekerja, dari pengalaman yang diturunkan, dan dari ruang yang dihuni secara berkelanjutan. Suatu pengetahuan yang tumbuh dari dan untuk kehidupan.

Etika tidak menyinari pengetahuan dari luar, tetapi muncul dari dalam pengetahuan yang sadar bahwa pada dirinya terkandung konsekuensi moral. Etika memperlihatkan bahwa mengetahui bukanlah aktivitas netral, tetapi tindakan yang dapat membangun atau melukai; yang dapat memelihara atau mengabaikan. Ketika pengetahuan menyatu dengan kesadaran etis, maka relasi antara subjek yang tahu, objek yang diketahui, dan konteks dunia-hidup menjadi jalinan tanggung jawab. Dari intensitas relasi inilah, muncul bentuk pengetahuan yang dijalani secara bijak, penuh pertimbangan, dan bertanggung jawab. Inilah yang akan kita sebut sebagai kearifan.

Dengan demikian, kearifan bukan hasil dari banyaknya informasi, tetapi dari pengetahuan yang teruji dalam kehidupan nyata, dijalankan dengan penuh kesadaran terhadap akibat, dan berakar dalam relasi yang bermakna. Kearifan tidak berkembang dalam ruang steril, tetapi dalam dunia yang penuh ketidakpastian dan keterbatasan. Kearifan adalah bentuk pengetahuan yang sadar akan ketidaksempurnaan, dan karena itu, menjalankan penilaian yang penuh empati dan kehati-hatian.

Dalam kehidupan desa, kearifan hadir dalam petuah, dalam cerita rakyat, dalam ritus dan simbol. Ia tidak tampil dalam bentuk proposisi, tetapi dalam praktik, dalam cara menghadapi musim, dalam cara membagi hasil, dalam cara mendidik anak dan memperlakukan tanah. Kearifan adalah ekspresi hidup dari pengetahuan yang tumbuh dalam relasi yang dijaga.

Sebagai struktur relasional, kearifan menolak absolutisme. Kearifan bukan klaim pengetahuan tertinggi, tetapi cara berada yang rendah hati terhadap kompleksitas dunia. Kearifan memahami bahwa tahu bukan kuasa, tetapi tanggung jawab. Kearifan bukan hasil sistem epistemik, melainkan bentuk keterbukaan terhadap yang lain, terhadap yang tidak diketahui, dan terhadap yang mungkin berbeda. Kearifan berbeda secara radikal dari pengetahuan konvensional yang bersifat teknis dan instrumental. Jika pengetahuan konvensional bertujuan untuk mengendalikan dan menguasai, maka kearifan adalah bentuk pengetahuan yang hidup dalam relasi, dipraktikkan dengan tanggung jawab, dan dijalankan dengan pertimbangan terhadap keberlanjutan hidup bersama.

Dalam epistemologi desa, kearifan tidak hanya benar, tetapi juga baik. Tidak cukup membuktikan, tetapi juga harus merawat. Tidak mengejar kepastian, tetapi menjaga kemungkinan. Tidak menjawab semua pertanyaan, tetapi tahu kapan diam adalah pilihan yang paling bijaksana. Kearifan adalah pancaran dari relasi epistemik yang disinari etika. Suatu bentuk pengetahuan yang tidak terlepas dari dunia, tetapi melekat padanya. Dalam kerangka ini, kearifan bukan hanya cara mengetahui, tetapi juga cara hidup, yang menjaga, yang mendengarkan, dan yang mengakui bahwa hidup bersama adalah tugas yang paling mendalam dari pengetahuan itu sendiri.

Catatan: ketiga hasil yang diperoleh manakala etika bertemu dengan ekologi, ekonomi dan epistemologi, tentu saja memberikan makna tersendiri. Pertama, ketiganya memberikan petunjuk yang berbeda dalam memahami realitas desa, yakni bahwa beberapa hal prinsipil sesungguhnya merupakan hal yang timbul dari relasi dan interaksi elemen-elemen dasar dari desa. Hal ini tentu semakin memyakinkan kita bahwa eksplorasi atas pengetahuan desa, akan membuahkan pemikiran-pemikiran yang strategis dan mendalam. Kedua, ketiganya tidak saja memberika kejutan, akan tetapi juga kesulitan dalam merumuskan keberadaan hal yang timbul dari interaksi. Bagi yang seksama mengkaji dan merefleksikan tentu akan ikut merasakan ketidakmudahan dalam rumusan tersebut. Oleh sebab itulah, sangat diakui bahwa berbagai rumusan tersebut merupakan upaya dalam membangun kerangka pemikiran yang utuh, yang oleh sebab itu, sangat terbuka bagi eksplorasi dan refleksi bersama, baik dalam kerangka koreksi, pengembangan dan pengayaan bersama. (bersambung) [Desanomia – 26.5.25 – TM]


[i] Nampak bahwa pandangan ini menggunakan kerangka ruang, tiga dimensi. Etika dipandang sebagai sesuatu yang muncul secara vertikal, yang seakan merupakan titik yang tegak lurus dari bidang yang dibentuk oleh tiga garis dan tiga titik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *