Sumber ilustrasi: pixabay
30 Mei 2025 14.05 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Proposal Rekonstruksi Epistemik
Belakangan ini, dalam berbagai kesempatan muncul ungkapan: bahwa segala daya upaya yang disebut dengan pembangunan(isme) pada dasarnya adalah tubuh dari ide kemajuan, yang pada ujungnya adalah menjadikan desa sebagai kota, dan apa yang kini terjadi adalah proyek yang memposisikan desa sebagai pra-kota. Apakah ungkapan itu benar adanya? Tentu saja perdebatan dimungkinkan. Namun, yang dimaksud di sini bukan adu mulut, atau adu intonasi dalam pembicaraan, atau adu dukungan yang berbasis sentimen, melainkan eksplorasi pemikiran yang mengandalkan akal-budi, pengalaman dan data-data yang mungkin diajukan untuk memperkuat argumen. Dan memang, perdebatan hanya mungkin berlangsung jika dan hanya jika ada kebebasan akademik, dan perlindungan pemikiran.
Jika ada yang mengatakan bahwa apa yang kini berlangsung adalah upaya yang mendasarkan diri pada pemikiran yang menempatkan desa pra-kota, maka pandangan tersebut sebenarnya dapat diterima, karena sejumlah bukti bisa diajukan. Pertama, tentu saja tidak bisa dihindari suatu kenyataan bahwa desa ada dalam struktur negara, dan karena itu, segala sesuatu yang telah menjadi ketentuan negara, harus dikuti dan dilaksanakan dengan tanpa pernyataan, karena bersifat dan punya konsekuensi hukum. Soalnya tentu bukan pada struktur tersebut, melainkan pada agenda yang dibawanya. Dan agenda bergantung pada bagaimana hukum ditafsirkan dan diimplementasikan. Kritik UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, terhadap UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintah Desa, telah dengan jelas memberi bukti bahwa penapsiran bisa melampuai teks, atau bahkan mengkhianatinya.
Kedua, bahwa dalam kenyataannya, urbanisasi terus berlangsung, dan bahkan dengan arus yang makin deras. Data-data yang bersliweran memperlihatkan suatu prediksi yang nyata. Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada tahun 2018 sebanyak 54% populasi dunia tinggal di wilayah perkotaan. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat hingga 68-70% pada tahun 2050 (lihat: https://www.cnbcindonesia.com/news/20240702145849-4-551162/70-masyarakat-tinggal-di-kota-pada-2050-apa-yang-harus-disiapkan). Atas berita tersebut, otoritas ekonomi merespon: “Urbanisasi ini adalah sebuah fenomena dunia, diperkirakan pada 2050 lebih dari 75% populasi dunia akan tinggal di perkotaan,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat acara seminar on Urbanisasi di Shangrila Hotel, Jakarta, Selasa (19/12/2017) (Lihat: https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3776202/sri-mulyani-75-populasi-dunia-hidup-di-kota-pada-2050. Dalam berita yang sama, ditambahkan bahwa urbanisasi pada dasarnya memberikan dampak yang bagus terhadap perekonomian. Urbanisasi merupakan pertanda jika pendapatan masyarakat mengalami peningkatan. “Urbanisasi dapat mendorong konsumsi rumah tangga, investasi, dan pengeluaran pemerintah lebih tinggi, dampak lanjutannya akan menopang pertumbuhan ekonomi,” tambah dia.
Ketiga, bahwa urbanisasi bukanlah hal yang tiba-tiba, dan bukan pula merupakan sebab dari dalam desa itu sendiri. Secara sederhana hendak dikatakan di sini bahwa suatu kotanisasi desa memang telah terjadi. Semua atribut kota masuk ke desa. Mulai dari selera makan, pakaian, gaya hidup hingga gaya Bahasa, pengetahuan hingga cita-cita masa depan. Tidak berlebihan jika anak-anak desa tidak menempatkan desa sebagai masa depannya. Desa adalah masa lalu. Sementara masa depan ada “di sana”. Dalam kerangka ini, diakui atau tidak, dunia Pendidikan dan media, menjadi jembatan epistemiknya. Maka tidak berlebihan pula jika Franky & Jane, menyanyikan dengan rasa mendalam: Petani mencari kerja di kota//Orang kota mencari kekayaan di desa. Apa makna dari semua itu?
Tiga hal tersebut sudah tentu bukan keseluruhan dari apa yang kini telah terselenggara. Kalau kita mengungkapkan, sudah tentu bukan datang dari rasa kecewa, melainkan datang dari tanggungjawab, terutama oleh kenyataan lain yang mengiringi proses tersebut, yakni: Pertama adalah krisis lingkungan yang ditandai oleh perubahan iklim yang telah memakan korban. Kota-kota besar, dapat memberikan kesaksian bagaimana polusi, krisis air bersih, dan ekosistem yang makin tidak mendukung suatu kehidupan yang sehat dan mampu memberi rasa bahagia. Sastra telah membantu kita mengungkap berbagai problem sosial, yang pada akhirnya menjadi problem politik pula. Kesemuanya telah tiba pada satu pandangan bahwa keadaan yang demikian itu tidak mungkin dipertahankan. Kedua, seiring dengan problem krisis lingkungan tersebut, muncul problem lain yang merupakan akibat langsung maupun tidak langsung, yakni krisis pangan dan energi. Suatu krisis yang hendak diselesaikan dengan cara-cara, baik dengan ekspansi kapital, teknologi, dan bahkan apparatus koersif.
Dua masalah tersebut hanya sebagian dari masalah yang juga makin kompleks. Usaha masyarakat kota dengan melakukan peremajaan kota, seperti gerak menanam, gerakan kembali ke alam, dan berbagai ekspresi lainnya, adalah bukti bahwa ada penyelesaian yang lebih strategis dan lebih mungkin, yakni desanisasi kota. Apakah hanya itu? Kita mencatat sejumlah gejala yang mengindikasikan kerinduan kolektif terhadap desa. Gejala ini tidak hanya bersifat emosional, tetapi juga epistemologis, karena menandakan ketidakpuasan terhadap cara mengetahui dan mengalami dunia dalam kerangka kehidupan urban. Tujuh gejala utama dapat diidentifikasi sebagai berikut:
- Nyanyian “Desaku”: Lagu seperti “Desaku yang kucinta” dinyanyikan warga kota dengan perasaan dalam. Ini mencerminkan keberadaan memori epistemik akan ruang hidup yang bermakna, penuh kehangatan, dan keterhubungan. Lagu menjadi simbol naratif dari pengetahuan yang hilang.
- Usaha menghadirkan suasana desa di lingkungan kota: Berkebun, menanam bunga, atau mendekorasi rumah dengan elemen alami adalah bentuk resistensi terhadap kekosongan estetis dan ekologis kota. Ini menunjukkan keinginan untuk menghidupkan kembali pengetahuan ekologis dan afektif dalam ruang hidup.
- Liburan dan wisata kuliner desa: Orang kota mencari pengalaman desa sebagai bentuk rekreasi. Ini mengungkapkan bahwa tubuh dan indera manusia mencari pengalaman pengetahuan yang holistik, bukan hanya kognitif, tetapi juga sensual dan afektif.
- Restoran dan industri kuliner bernuansa desa: Hadirnya restoran dengan desain dan menu desa menunjukkan bahwa desa menjadi simbol nilai autentik, keterhubungan, dan kebermaknaan. Konsumsi makanan menjadi konsumsi atas nilai dan pengetahuan yang terkandung di dalamnya.
- Outbound dan kegiatan edukatif di desa: Desa dipilih sebagai lokasi pembelajaran informal karena dianggap menyimpan kekayaan pedagogis yang tak dimiliki ruang kota. Pengetahuan di sini tidak bersifat tekstual, tetapi praksis dan relasional.
- Dekorasi dan estetika desa dalam acara kota: Penggunaan tema desa dalam pernikahan atau festival menunjukkan bahwa desa dimaknai sebagai ruang simbolik nilai-nilai komunitas, kesederhanaan, dan keaslian yang kini langka di kota.
- Tradisi mudik: Mudik adalah bentuk ritual epistemik—bukan hanya mobilitas fisik, tetapi kembali ke sumber identitas dan pengetahuan diri. Desa menjadi arsip hidup dari nilai, relasi, dan makna eksistensial yang tak tergantikan.
Gejala-gejala ini secara keseluruhan menunjukkan bahwa desa telah menjelma menjadi simbol resistensi epistemik terhadap modernitas urban yang mengesklusi makna dan kehadiran eksistensial. Dalam kerinduan terhadap desa, tersembunyi kritik terhadap cara hidup dan cara mengetahui yang memisahkan manusia dari alam, dari komunitas, dan dari dirinya sendiri.
***
Gagasan desanisasi kota bukanlah ajakan untuk kembali secara literal ke masa lalu, melainkan suatu proyek transfigurasi epistemik: mengubah cara kita mengetahui, menghuni, dan merancang ruang kota. Desanisasi di sini berarti menghadirkan nilai-nilai epistemik desa—keterhubungan, kebermaknaan, keberlanjutan—ke dalam struktur kota yang selama ini didominasi oleh rasionalitas instrumental dan logika ekomistik.
Desain kota yang terinspirasi dari desa akan mengakomodasi bentuk-bentuk pengetahuan yang lebih afektif, ekologis, dan partisipatif. Ini mencakup penyusunan ruang yang mendukung relasi sosial, ruang hijau yang hidup, sistem pangan lokal, serta pola hidup yang tidak terputus dari ritme ekologis. Desanisasi bukan sekadar perubahan estetika, tetapi transformasi cara berpikir tentang ruang, waktu, dan kehidupan bersama.
Implikasinya tentu luas, seperti dalam perencanaan tata kota, pendidikan, kebijakan lingkungan, dan bahkan dalam pemaknaan identitas kolektif. Desanisasi kota membuka kemungkinan untuk menghidupkan kembali ruang kota sebagai tempat tinggal yang penuh makna (bermukim), bukan sekadar ruang produktivitas dan konsumsi.
Dengan demikian, desanisasi kota adalah bentuk rekonstruksi epistemik yang mendalam—menghadirkan kembali pluralitas pengetahuan yang selama ini tersingkirkan oleh modernitas, dan merancang ulang kota agar manusia dapat hidup dengan cara yang lebih utuh, berakar, dan bermakna.
Apakah hal tersebut dimungkinkan? Kita bisa kembali kepada kenyataan historis, yakni bahwa sebelum negara-bangsa, dan tentu sebelum kota-kota besar, desa telah menjadi bentuk dasar komunitas manusia. Secara historis, desa merupakan arketipe dari kehidupan kolektif manusia yang tertanam dalam relasi langsung dengan lingkungan alam, siklus pertanian, dan solidaritas sosial yang berbasis norma-norma adat. Desa tidak hanya entitas spasial, tetapi juga epistemik; ia adalah ruang tempat pengetahuan diproduksi, diwariskan, dan dijalani secara “tertanam dalam tubuh”, “berakar dalam konteks”, dan ekologis (selaras dengan alam).
Pengetahuan yang tumbuh dalam desa adalah pengetahuan hidup, yang tidak terpisah dari tindakan dan pengalaman sehari-hari. Pengetahuan ini tidak terinstitusionalisasi secara formal, tetapi berjalan melalui interaksi sosial, kebiasaan, dan praksis kolektif. Desa, dengan demikian, adalah situs epistemik yang menghidupkan bentuk-bentuk knowing yang berbeda dengan pengetahuan teknokratis dan abstrak yang mendominasi kehidupan kota modern.
Relasi antara tempat dan pengetahuan menjadi kunci dalam memahami desa sebagai situs epistemik. Dalam ruang pedesaan, tempat bukan hanya lokasi, tetapi lingkungan hidup yang membentuk cara berpikir, merasakan, dan berinteraksi. Tempat di sini adalah sumber makna, dan pengetahuan tidak berdiri di luar ruang, melainkan tumbuh dari dan dalam ruang itu sendiri. [Desanomia – 30.5.25 – TM]