Dialog (1)

sumber ilustrasi: unsplash

30 Apr 2025 12.10 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Jika pengetahuan lokal (pengetahuan setempat), dianggap telah membentuk (berbentuk) suatu sistem yang telah selalu “solid”, yakni sebagai pengetahuan yang bermukim, tidak hanya mengetahui dunia, tetapi tinggal di dalamnya, mungkin dapat dilukiskan sebagai sistem pengetahuan dengan ciri pokok, antara lain:

  • Pertama:
    Bermukim – Pengetahuan setempat adalah pengetahuan yang bermukim. Suatu pengetahuan yang berasal dari kedekatan eksistensial dengan tempat, makhluk, dan ritme kehidupan – realitas sosio-ekologi setempat. Tinggal di dalam dunia, dan karena itu, menyentuh makna, bukan sekadar menjelaskan fungsi. Mengakar dalam realitas sosio-ekologi setempat, relasi, dan sejarah. Tempat bukan obyek, tetapi kediaman yang dihuni secara eksistensial.

  • Kedua:
    Kontekstual – Kebenarannya berlaku dalam dan untuk konteks tertentu.
    Pengetahuan setempat tidak mengejar keuniversalan, tetapi ketepatan dalam situasi: sosio-ekologi setempat, transendensi dan historis. Apa yang benar, adalah apa yang “dialami” dalam konteks tersebut.

  • Ketiga:
    Partisipatif – Pengetahuan lahir dari keterlibatan, bukan pengamatan netral. Subjek yang tahu adalah bagian dari dunia yang diketahui. Pengetahuan ini: Dihasilkan bersama dan dalam komunitas. Bergantung pada kehadiran, keterlibatan tubuh, dan kedekatan eksistensial.

  • Keempat:
    Berwujud – Tidak hanya ide, tapi menjelma dalam tindakan dan tubuh.
    Pengetahuan ini: Diwujudkan dalam praktik hidup: menanam, merawat, berdoa. Disimpan dalam keterampilan, bukan hanya sebagai data.

  • Kelima:
    Naratif – Kebenaran tidak dikatakan, tetapi dihayati dan diceritakan. Ia hadir dalam: Cerita, mitos, lagu, tarian, simbol dan bahasa kias. Bahasa bukan alat representasi, tapi media relasi dan pemaknaan.

  • Keenam:
    Plural – Tidak ada satu suara yang dominan. Pengetahuan setempat mengakui: Banyak suara dan makna hidup berdampingan. Interpretasi berkembang sesuai perubahan zaman dan kebutuhan komunitas.

  • Ketujuh:
    Temporalitas Siklikal – Waktu tidak linier dan progresif, tetapi berirama dan mengulang. Pengetahuan setempat: Menyatu dengan musim, generasi, perayaan, dan ingatan leluhur. Diwariskan, bukan ditemukan; dihidupi, bukan ditarik dari luar.

  • Kedelapan:
    Bertahan melalui keterbukaan dan keterhubungan dengan lingkungan. Tidak membeku dalam doktrin, melainkan berubah bersama dunia. Responsif terhadap perubahan, karena hidup di dalamnya.

  • Kesembilan:
    Relasional – Realitas tidak terdiri atas objek terpisah, tapi jaringan relasi. Gunung bisa hidup, sungai bisa mendengar, batu bisa menyimpan pesan. Yang hidup dan yang mati, yang tampak dan yang gaib saling berkait.

  • Kesepuluh:
    Hak – Membawa tuntutan hak untuk tahu dan untuk diakui. Dalam dunia yang didominasi sains universal, pengetahuan setempat: Menjadi bentuk resistensi epistemik. Menuntut ruang untuk cara tahu yang lain, tanpa harus tunduk pada rasionalitas hegemonik.

Dalam kesadaran penuh bahwa pengetahuan setempat merupakan suatu “kompleks, yang pada dasarnya belum tersentuh oleh eksplorasi sengaja dan dengan empati, maka sepuluh ciri tersebut, merupakan bagian dari upaya menyingkap yang selama ini belum terungkap sebagaimana “seharusnya”. Apa yang hendak dikatakan di sini adalah bahwa pengetahuan setempat adalah pengetahuan yang bermukim: lahir dari kehidupan bersama dan menjaga keberlangsungan kehidupan itu sendiri. Bukan sekadar epistemologi alternatif, melainkan cara mengada yang penuh hormat pada keterbatasan, kedekatan, dan kebermaknaan. Bukan sedang membuat klaim tentang kebenaran universal, tetapi menawarkan kebijaksanaan yang bermukim dan mengakar.

Apakah kehadiran sistem pengetahuan tersebut, yang secara sederhana hendak disebut sebagai tradisi pemikiran desa, akan dengan mudah dipahami dan diterima begitu saja, sebagai suatu keberadaan “yang lain” yang pada dirinya memiliki hak kodrati untuk hadir sebagaimana adanya, dan yang sesungguhnya tidak membutuhkan pengakuan dari manapun juga. Tentu soalnya bukan di situ. Kita tidak sedang membuat kutub yang dari waktu ke waktu makin jauh jaraknya. Sebaliknya, kita tengah mencari cara agar berjauhan saling mendekat, agar yang berbeda saling dapat mengerti dan menerima dengan hormat, dan di atas itu semua, agar masalah-masalah yang hadir, yang kehadirannya makin membahayakan keselamatan kehidupan bersama kita, dapat dengan segera diatasi, dengan cara yang baik dan bijak, sedemikian sehingga kita ke depan dapat memastikan suatu keadilan dan keberlanjutan.

Dalam kesadaran penuh akan hal yang tidak mudah, maka di sini hendak ditampilkan suatu dialog imajinatif. Suatu dialog kritis, antara, katakan saja X (yang dalam hal ini dianggap mewakili tradisi desa), Y (yang diandaikan boleh mewakili tradisi ilmu), dan Z (yang bukan dari keduanya). Catatan ini, akan memulai dialog dengan mengeksplorasi dari ciri pertama. X akan menguraikan pandangannya tentang ciri pertama tersebut, dan kemudian direspon oleh Y. Selanjutnya X akan kembali merespon kritik atau pandangan dari Y. Akhirnya, Z akan menyampaikan pandangannya, yang merespon pandangan X dan Y, dan saling kritik antar keduanya.

Tentang Bermukim

X:

Pengetahuan setempat tidak dapat dipahami secara tepat jika hanya didekati melalui kategori epistemologis seperti metode, validitas, atau klasifikasi isi. Untuk memahami keberadaannya secara apa adanya, perlu dipertimbangkan terlebih dahulu bentuk keberadaannya. Yakni bagaimana pengetahuan itu hadir dan berakar dalam dunia? Di sinilah konsep bermukim menjadi prinsip keberadaan yang utama. Pengetahuan setempat bukan hanya sebuah konstruksi mental atau kumpulan proposisi, melainkan suatu bentuk keberadaan yang bermukim, yang tidak hanya tahu tentang dunia, tetapi hidup di dalam, bersama, dan terutama mengalami dunia itu. Ia adalah pengetahuan yang tidak berdiri di luar, melainkan berada dalam keterlibatan eksistensial.

Bermukim, dalam pengertian ini, bukanlah fungsi geografis atau sekadar tindakan tinggal di suatu tempat. Bermukim adalah suatu “cara berada” yang ditandai oleh keterikatan, kedekatan, dan keterlibatan dengan lingkungan yang dihuni. Sebagian pihak mungkin akan mengatakan bahwa inilah ide yang hendak mengartikulasikan keberadaan subyek yang tidak semata berada di dunia, tetapi tinggal di dalamnya dalam artian merawat dan memelihara ruang tempatnya bermukim. Dalam kerangka ini, pengetahuan bukanlah aktivitas pemetaan mental yang menjarakkan subjek dari objek, tetapi tindakan menghuni (bermukim) secara sadar.  Suatu bentuk perhatian terhadap keberadaan yang berlangsung dalam ritme tempat dan waktu yang dialami secara konkret.

Implikasi dari prinsip ini adalah bahwa pengetahuan setempat tidak dapat dipisahkan dari realitas sosio-ekologi setempat dimana ia bertumbuh. Tidak netral, tidak apatis terhadap dunia, dan tidak abstrak. Suatu wujud sebagai hasil dari keintiman antara subyek yang mengetahui dan dunia yang diketahui. Pengetahuan yang bermukim adalah pengetahuan yang mengakar — seperti pohon yang tidak hanya menjulang tetapi juga menancapkan akar-akarnya dalam tanah yang memberi makan. Dunia di mana pengetahuan setempat hidup bukanlah ruang kosong untuk diukur atau dimanfaatkan, tetapi dunia yang sudah penuh makna, yang dihuni, dijalani, dan dialami.

Dengan mengakui bahwa pengetahuan bermukim, kita juga memahami bahwa proses mengenal bukanlah proses akumulasi data, melainkan bagian dari pembentukan relasi eksistensial. Maka, bermukim berarti memiliki hubungan yang tak terputus dengan tempat — hubungan yang tidak dapat direduksi menjadi fakta atau informasi, sebab ia mencakup pengalaman diam, pengenalan tubuh, dan rasa keterikatan yang sulit dilisankan. Di sini, “mengetahui” menjadi tidak dapat dipisahkan dari “berada”, karena keduanya menyatu dalam tindakan mengalami tempat sebagai ruang makna yang hidup. Sebagian pihak barangkali akan menggambarkan bahwa hal ini seperti tengah menantang epistemologi utama, yang berangkat dari dualisme antara subjek dan objek, antara pikiran dan dunia.

Lebih dalam lagi, pengetahuan yang bermukim mengandaikan bahwa dunia itu sendiri bukanlah sesuatu yang sepenuhnya dapat diobjektifikasi. Dunia bukan hanya yang diketahui, tetapi juga yang dialami dan mengundang untuk dikenali. Maka, bentuk dasar dari hubungan antara pengetahuan dan dunia adalah dialog, bukan dominasi. Dunia menghadirkan dirinya melalui ritme, tanda, dan kehadiran yang hanya dapat ditangkap oleh mereka yang bermukim secara penuh — mereka yang tidak hanya datang, tetapi meninggal dalam kesetiaan kepada tempat. Dengan kata lain, dunia tidak menyerahkan maknanya kepada pengamat netral, tetapi membuka dirinya kepada yang bermukim dengan hormat dan yang mengalami keberadaannya secara langsung.

Dalam kerangka ini, pengetahuan yang bermukim juga memiliki sifat yang diam. Yang  tidak selalu berbicara dalam bahasa teori atau proposisi, melainkan dalam kehadiran – dalam bagaimana subyek menginjak tanah, bagaimana subyek mengenali arah angin, atau bagaimana memperlakukan sumber air dan mendistribusikannya. Pengetahuan hadir sebagai kebiasaan yang sadar, bukan sebagai sistem simbolik yang dilekatkan dari luar. Pengetahuan ini tidak perlu diberi nama untuk menjadi nyata, karena telah tertanam dalam cara berada itu sendiri, dan terutama karena telah dialami.

Sebagai prinsip ontologis, maka, bermukim menjadikan pengetahuan setempat bukan hanya sebagai sistem informasi, tetapi sebagai modus eksistensial, suatu bentuk pertemuan antara subyek dan dunia yang tidak dapat direduksi menjadi komponen epistemik. Dari sinilah seluruh karakteristik lain (sepuluh ciri) dari pengetahuan setempat menemukan fondasinya. Namun yang paling utama adalah bahwa selama pengetahuan dipahami sebagai sesuatu yang lahir dari kehadiran yang tinggal, dari pengalaman yang merawat, dan dari dunia yang dialami, maka pengetahuan dimaksud akan selalu menyimpan daya yang tak tergantikan oleh model pengetahuan yang mengandalkan jarak dan abstraksi. Bermukim bukan hanya kondisi dari mana pengetahuan berasal, tetapi juga bentuk tertinggi dari kesetiaan kepada “tempat” bermukim.

Y:

Apabila pengetahuan setempat diposisikan sebagai pengetahuan yang bermukim, dalam pengertian bahwa ia tidak berangkat dari jarak pengamatan tetapi dari kedekatan eksistensial terhadap “tempat”, maka yang dipertaruhkan bukan hanya bentuk pengetahuan, tetapi juga klaimnya atas kebenaran. Gagasan “bermukim” sebagai fondasi ontologis telah menampilkan pengetahuan setempat sebagai sesuatu yang hidup, dialami, dan dijalani dalam konteks tertentu. Namun, dari sudut pandang ilmu pengetahuan modern, posisi ini menghadapi persoalan mendasar: bagaimana mungkin suatu bentuk pengetahuan yang sepenuhnya terikat pada keberadaan yang partikular dapat diajukan sebagai sumber kebenaran yang sahih?

Sains berangkat dari kebutuhan untuk mengatasi bias partikularitas. Ia berkembang berabad-abad untuk mengatasi keterbatasan perspektif subjektif melalui metodologi yang dapat direplikasi, diperiksa, dan disepakati lintas ruang dan waktu. Objektivitas, dalam pengertian ini, bukan ilusi netralitas, melainkan hasil dari kerja sistematis untuk memisahkan kebenaran dari preferensi pribadi, adat setempat, dan afeksi emosional. Karena itu, gagasan tentang “pengetahuan yang bermukim”, yang tidak hanya menolak jarak, tetapi bahkan merayakan kedekatan eksistensial, membuka risiko mendasar: menjadikan pengalaman sebagai ukuran kebenaran, padahal pengalaman, betapapun mendalamnya, tetap bersifat kontingen dan tidak dapat diverifikasi secara lintas-subjektif.

Dalam kerangka epistemologi ilmiah, mengetahui berarti memproduksi klaim yang dapat diuji, dibandingkan, dan dikoreksi. Prosedur pengujian ini memerlukan pemisahan metodologis antara subjek dan objek. Tanpa jarak, tidak ada pengamatan. Tanpa keterpisahan, tidak ada pengujian terhadap asumsi. Maka, ketika pengetahuan setempat ditegaskan sebagai pengetahuan yang hanya valid dalam kebermukiman, pengetahuan tersebut ditutup dari proses penyaringan ilmiah. Ia menjadi tertutup terhadap kritik eksternal, dan karenanya tidak bisa dimasukkan dalam proses akumulatif ilmu pengetahuan.

Lebih jauh, pengetahuan yang bermukim juga tidak menyediakan sarana untuk generalisasi, yakni kemampuan untuk mengekstrapolasi dari satu kasus ke prinsip yang dapat diterapkan dalam banyak kasus serupa. Sains berkembang karena kemampuannya untuk menemukan keteraturan di balik keragaman fenomena. Hukum Newton, mekanika kuantum, prinsip ekologi, teori evolusi, semuanya adalah bentuk pernyataan yang tidak bergantung pada tempat tertentu. Sains bersifat non-setempat, dan justru karena itu, mampu menjelaskan berbagai fenomena di banyak tempat secara serempak. Jika pengetahuan setempat menolak generalisasi atas dasar keterikatan konteks, maka ia melepaskan dirinya dari kemungkinan komunikasi epistemik lintas budaya dan sistem.

Ada pula aspek implisit dari kebermukiman yang problematik: yakni, kecenderungan untuk mengikat kebenaran dengan identitas. Pengetahuan yang bermukim hampir selalu dikaitkan dengan komunitas tertentu, budaya tertentu, bahkan kadang-kadang pengalaman spiritual atau kosmologis tertentu. Maka, ia menjadi bagian dari pembentukan identitas kolektif. Dalam batas tertentu ini wajar, tetapi ketika pengetahuan didefinisikan berdasarkan siapa yang mengetahuinya, bukan apa yang diketahuinya, maka kebenaran kehilangan posisi universalnya. Kebenaran menjadi fungsi dari keanggotaan: hanya “kami” yang tahu ini, dan hanya “kami” yang dapat menilai kebenarannya. Ini, bagi ilmu pengetahuan, adalah bentuk “ketidakterbandingan epistemic”, yang dapat berujung pada relativisme.

Selanjutnya, ketika klaim bermukim menjadi dasar, maka bentuk pengetahuan yang tak “berakar” menjadi kehilangan legitimasi. Maka, filsafat, matematika, atau teori-teori sosial kontemporer yang tidak dikembangkan dalam konteks geografis atau komunitas tertentu akan tampak tidak sahih menurut logika kebermukiman. Namun pengetahuan modern justru berkembang dengan memisahkan antara tempat dan ide: ide dapat bergerak, melampaui, dan hidup di berbagai konteks. Ini bukan bentuk pengkhianatan terhadap pengalaman, melainkan bentuk pencapaian dalam membuat pengalaman dapat dimaknai secara luas, oleh siapa pun, di mana pun. Maka, menolak bentuk non-setempat dari pengetahuan adalah menutup kemungkinan berbagi dunia dalam makna yang melampaui tempat.

Soal lain adalah hal terkait dengan problem verifikasi dan falsifikasi. Pengetahuan yang bermukim, karena bersifat partikular dan terikat dalam praktik hidup, sulit untuk diuji dari luar. Bagaimana memverifikasi klaim bahwa “gunung adalah leluhur”? Bagaimana membantah atau memperbaiki klaim bahwa “angin membawa pesan dari roh”? Dalam epistemologi ilmiah, nilai dari suatu klaim ditentukan oleh kemampuannya untuk diperiksa oleh siapa pun “yang berkompeten” (dalam kompetensi). Jika pengetahuan hanya bisa diverifikasi oleh mereka yang “mengalami” dalam kebermukiman, maka ia secara struktural menutup kritik atau menutup ruang pengujian, dan karena itu, menjadi sistem kepercayaan, bukan sistem pengetahuan dalam pengertian ketat.

Akhirnya, terhadap klaim “bermukim”, optik ilmu akan mengatakan bahwa pengetahuan tidak harus tinggal, tetapi harus bergerak. Bergerak bukan berarti melepaskan diri dari tempat, tetapi membuat dirinya dapat digunakan lintas tempat. Itulah kekuatan ilmu pengetahuan: ia dapat menjelaskan gravitasi di Mars dan di bumi, memprediksi cuaca di Eropa maupun di tempat lain, dan merumuskan sistem etika yang berlaku bagi manusia terlepas dari lokasi kulturalnya. Menjadikan kebermukiman sebagai prinsip ontologis berarti menjadikan pengetahuan sebagai kekayaan setempat, bukan sebagai warisan bersama umat manusia. Dalam pandangan ini, klaim pengetahuan setempat sebagai pengetahuan yang bermukim—sekuat dan sedalam apa pun—akan tetap dipandang sebagai wawasan yang berharga secara kultural, namun belum cukup kuat secara epistemologis.

Dengan demikian, dari sudut pandang ilmu pengetahuan modern, pengetahuan yang bermukim menghadapi serangkaian persoalan mendasar: ia partikular, tak terverifikasi lintas konteks, tidak dapat digeneralisasi, dan sulit dikritik dari luar. Pengetahuan semacam itu sangat penting bagi praktik hidup komunitas tertentu, tetapi jika ia ingin tampil sebagai alternatif epistemologis yang setara, maka ia harus menjawab persoalan-persoalan tersebut bukan dengan menolak prinsip-prinsip ilmu, tetapi dengan menunjukkan bagaimana ia mampu menciptakan bentuk validitas yang trans-kontekstual tanpa kehilangan akar setempatnya. Tanpa itu, pengetahuan yang bermukim akan tetap menjadi cara hidup, bukan cara tahu dalam pengertian universal.

X:

Kritik dari paradigma ilmu pengetahuan modern terhadap gagasan pengetahuan yang bermukim tampak, di permukaan, sebagai upaya untuk mempertanyakan validitas epistemik pengetahuan setempat. Namun, sesungguhnya kritik tersebut bukanlah refleksi bebas-nilai yang netral, melainkan pengulangan dari sebuah posisi epistemologis yang sangat spesifik, yakni posisi yang menjadikan objektivitas dan universalitas sebagai tolok ukur tunggal kebenaran. Kritik semacam ini tidak hanya mengabaikan karakter dasar dari cara tahu lain di luar sistem sains, tetapi juga menyelipkan kuasa epistemik, yaitu kuasa untuk mendikte bagaimana pengetahuan seharusnya dibentuk, divalidasi, dan dikenali sebagai sah.

Paradigma ilmu modern berangkat dari sejarah “Barat” pasca-pencerahan yang membangun cita-cita rasionalitas sebagai usaha membebaskan manusia dari takhayul dan otoritas dogmatis. Namun, dalam proses tersebut, ia turut menyusun satu model pengetahuan yang mendasarkan diri pada pemutusan radikal antara subjek dan objek, antara fakta dan nilai, antara pengamat dan yang diamati. Model ini kemudian dijadikan dasar untuk menetapkan bahwa pengetahuan yang sahih adalah pengetahuan yang dapat diverifikasi tanpa harus mengalami, bahwa kebenaran adalah apa yang tetap benar terlepas dari siapa yang mengatakannya, dan bahwa nilai tertinggi dalam pengetahuan adalah jarak, bukan kedekatan.

Ketika paradigma ini menilai pengetahuan setempat sebagai terlalu terikat pada kesetempatan, pengalaman, dan hubungan, kritik tersebut sesungguhnya tidak sedang membela prinsip rasionalitas universal, melainkan mempromosikan bentuk partikular dari rasionalitas yang diuniversalkan. Objektivitas bukanlah kodrat epistemik, melainkan pilihan historis; dan universalitas yang dikejar oleh ilmu pengetahuan adalah proyeksi aspiratif dari suatu cara tahu yang terlahir dalam kondisi sosiopolitik tertentu, yakni kolonialisme, industrialisasi, dan kapitalisme global. Dalam terang ini, permintaan agar pengetahuan setempat memenuhi kriteria universalitas dan objektivitas bukanlah permintaan metodologis yang adil, melainkan penyeragaman epistemik yang menyembunyikan asal-usul partikularnya sendiri.

Kritik terhadap kebermukiman, yang menyoal keterikatan pengetahuan setempat pada konteks dan pengalaman, secara tidak sadar menegaskan bahwa keterlepasan dari konteks adalah keunggulan epistemik. Tapi siapa yang benar-benar mampu melepaskan diri dari konteks? Tidakkah setiap bentuk pengamatan, pemahaman, dan teori dibentuk oleh posisi tubuh, bahasa, sejarah, dan budaya tertentu? Objektivitas, dalam praktiknya, sering kali tidak lebih dari kesepakatan dalam jaringan institusional yang dominan — akademia, laboratorium, jurnal, standar pengujian— yang semuanya lahir dari dan bekerja untuk satu bagian dunia. Maka, mengklaim bahwa pengetahuan yang tidak dapat “dikonfirmasi lintas konteks” sebagai lemah adalah mengabaikan bahwa konteks itulah yang selalu menyertai semua bentuk pengetahuan, hanya saja kadang tak diakui.

Lebih lanjut, kritik terhadap kebermukiman yang menuduh pengetahuan setempat tidak bisa digeneralisasi, tidak dapat difalsifikasi, atau tidak menghasilkan teori universal, menunjukkan kesempitan horizon epistemik. Ia tidak mampu membayangkan bahwa validitas tidak selalu harus bersifat transkultural, bahwa kebenaran tidak harus selalu berlaku di mana saja, dan bahwa pengetahuan tidak selalu harus dipisahkan dari praktik dan pengalaman. Pengetahuan setempat tidak bekerja dengan cara mengekstraksi prinsip untuk disebarkan, melainkan dengan memelihara relasi agar dunia tetap bisa dijalani dengan bijak dan seimbang. Apakah bentuk validitas semacam ini tidak sah? Atau ia hanya tampak “tidak ilmiah” karena tidak sesuai dengan model yang dominan?

Kritik terhadap klaim bahwa pengetahuan harus “bergerak” dan “tidak tinggal” juga patut ditanggapi dengan hati-hati. Memang benar bahwa pengetahuan yang dapat dibagikan secara lintas tempat memiliki daya sebar, tetapi apakah daya sebar identik dengan kedalaman makna? Pengetahuan yang bermukim tidak bergerak sebagai paket informasi, melainkan sebagai pengalaman yang dijalani (dialami) dan dipelajari melalui tubuh dan relasi. Ia tidak bisa dipindahkan karena ia menubuh dalam cara hidup. Maka, kebermukiman bukan hambatan terhadap pengetahuan, melainkan kekayaan sumber keberadaan, tempat di mana dunia tidak hanya dijelaskan, tetapi dihidupi.

Tuduhan bahwa pengetahuan setempat tidak dapat diverifikasi atau difalsifikasi juga didasarkan pada model tertentu dari apa itu verifikasi. Dalam pengetahuan setempat, kebenaran bukan hanya dinilai dari apakah bisa diuji dalam kerangka eksperimen, melainkan dari apakah ia berfungsi dalam kehidupan nyata, apakah ia menjaga keseimbangan, apakah ia dihayati sebagai benar oleh mereka yang menjalani dunia yang bersangkutan. Ini bukan relativisme epistemik, melainkan bentuk lain dari kebenaran fungsional, yang justru lebih bersandar pada hasil hidup daripada abstraksi teoritis. Verifikasi di sini bukan pengulangan prosedur, tetapi konfirmasi dalam kehidupan yang dijalani secara kolektif dan etis.

Akhirnya, kritik bahwa pengetahuan setempat terlalu terkait dengan identitas, sehingga menutup diri dari universalisme, juga memuat paradoks. Justru karena ia berasal dari identitas yang konkret, ia mampu memberi kontribusi terhadap dialog global yang lebih setara. Dunia tidak membutuhkan satu bentuk pengetahuan yang berlaku untuk semua, tetapi ruang di mana berbagai cara tahu dapat saling menyapa, menegur, dan memperkaya. Pengetahuan setempat bukan menolak percakapan epistemik global, tetapi menuntut bahwa percakapan itu dilakukan dengan pengakuan terhadap perbedaan, bukan dalam tekanan untuk suatu proyek penyeragaman.

Dengan demikian, kritik dari paradigma ilmu terhadap pengetahuan yang bermukim sebetulnya lebih mengungkap kelemahan asumsi-asumsi dasarnya sendiri daripada memperlihatkan kelemahan pengetahuan setempat. Ia menunjukkan keterbatasan dari sistem penilaian yang hanya mengenal satu bentuk validitas, satu bentuk gerak pengetahuan, dan satu model kebenaran. Kritik semacam itu tidak akan mampu menjangkau kekayaan pengetahuan yang tumbuh dari hidup, dari relasi, dari tanah dan langit yang dihuni, kecuali jika ia sendiri bersedia melepaskan keangkuhan epistemiknya dan belajar untuk mendengar bukan sebagai penguji, tetapi sebagai peziarah. Pengetahuan yang bermukim tidak perlu membuktikan dirinya kepada sistem yang menolaknya; justru sistem itulah yang perlu mempertanyakan kembali kepercayaannya sendiri terhadap apa yang disebut kebenaran.

Z:

Ketika pengetahuan setempat dikatakan sebagai pengetahuan yang bermukim, kita tidak sedang berhadapan dengan deskripsi metodologis, melainkan dengan sebuah klaim ontologis. Catatan dari X yang mengusung gagasan ini menyatakan bahwa pengetahuan yang bermukim adalah pengetahuan yang hidup dalam relasi, dalam tubuh, dalam tindakan yang dijalani, dan dalam pengalaman yang dihidupi secara kolektif. Ia bukan sekadar pengetahuan tentang dunia, tetapi bagian dari cara berada di dalam dunia itu sendiri. Dalam kerangka ini, pengetahuan setempat tidak dapat dipisahkan dari tempat dan waktu, karena ia tumbuh dari situasi yang dijalani, bukan dari pandangan yang memisahkan.

Namun kritik yang diajukan oleh paradigma ilmu pengetahuan modern menanggapi klaim ini dengan kekhawatiran yang mendasar. Kritik tersebut tidak semata mempertanyakan isi pengetahuan setempat, tetapi menyoroti syarat-syarat yang memungkinkan sesuatu disebut sebagai pengetahuan: keterbukaan terhadap verifikasi lintas-konteks, kemampuan untuk digeneralisasi, dan kesanggupan untuk dikritisi oleh siapa pun tanpa harus menjalani pengalaman yang sama. Bagi sains, kebermukiman tidak hanya problematis karena partikularitasnya, tetapi juga karena keterikatannya pada relasi yang sulit dikontrol, pada keyakinan yang tidak bisa dipisahkan dari identitas, dan pada pengalaman yang tidak dapat dipindahkan.

Saling silang antara X dan Y, pada satu sisi dapat dilihat sebagai ketegangan epistemik yang sangat produktif, namun di sisi lain juga rawan untuk beku dalam bentuk oposisi: antara kebenaran yang hidup dalam tempat dan kebenaran yang mengklaim berlaku di mana-mana; antara pengetahuan sebagai cara mengada dan pengetahuan sebagai cara menjelaskan. Jika kedua posisi ini dibaca secara terbuka, terlihat bahwa keduanya mengandung wawasan yang sahih dan kelemahan yang mendalam. Pihak pertama mengingatkan kita bahwa pengetahuan yang tidak berakar pada pengalaman dunia akan mudah tergelincir menjadi kesombongan abstraksi. Pihak kedua mengingatkan bahwa pengetahuan yang tidak membuka dirinya pada intersubjektivitas dan kritik eksternal bisa berubah menjadi dogma yang tersembunyi dalam ritual dan simbol.

Di sinilah pentingnya kemampuan refleksi yang mampu mengambil jarak yang jujur terhadap kedua posisi. Sebab, pembelaan buta pada pengetahuan setempat atas nama penghormatan terhadap perbedaan, punya resiko mengukuhkan kesetempatan sebagai esensial, seolah-olah semua pengetahuan setempat selalu “mendalam”, benar, dan tak dapat ditantang. Sebaliknya, pemihakan tanpa syarat pada kriteria ilmiah atas nama rasionalitas dan universalisme, tidak menutup kemungkinan menjadi semacam penerimaan kuasa epistemik yang menyingkirkan pluralitas “cara tahu”. Keduanya bisa jatuh ke dalam bentuk ekstrem: yang satu menjadi kultus setempatitas, yang lain menjadi imperialisme epistemik.

Namun bagaimana seharusnya posisi reflektif atas kedua posisi tersebut? Jawaban atas pertanyaan ini menuntut pembacaan yang lebih radikal terhadap apa itu pengetahuan, tidak hanya sebagai entitas epistemik, tetapi sebagai cara subyek menjalin dunia. Dalam pembacaan ini, baik pengetahuan setempat maupun pengetahuan ilmiah adalah dua bentuk dari proses subyek menanggapi dunia secara sistematik, melalui struktur pemaknaan yang dapat diteruskan, dikritisi, dan direfleksikan. Perbedaannya bukan pada kedalaman atau kebenaran, tetapi pada modus keterlibatan mereka terhadap dunia.

Pengetahuan setempat bekerja melalui keterlibatan langsung, tubuh, memori, ritme, dan relasi yang intim. Ia unggul dalam membangun makna dan keberlanjutan, dalam merawat dunia bukan sebagai objek, tetapi sebagai rumah. Sementara itu, pengetahuan ilmiah mengembangkan instrumen untuk memperluas cakupan pengamatan, menemukan hukum keteraturan, dan membangun sistem prediksi dan penjelasan yang memungkinkan kerja teknis dan kolektif dalam skala besar. Pengetahuan ilmiah memungkinkan pembacaan ulang dunia dalam kerangka abstraksi yang tinggi dan, karenanya, memungkinkan perjumpaan antara hal-hal yang tampaknya berjauhan. Keduanya sah dalam medan epistemik masing-masing, tetapi ketika berhadapan, mereka membutuhkan bahasa pertemuan, bukan bahasa penghakiman.

Apa yang dapat dikatakan adalah bahwa pengetahuan yang bermukim harus dipahami bukan sebagai lawan dari objektivitas, tetapi sebagai bentuk objektivitas yang berbeda. Bukan objektivitas yang menghapus keberadaan subjek, tetapi objektivitas yang muncul dari kedalaman keterlibatan, dari pengulangan yang dijalani dalam waktu yang lama, dari pengalaman kolektif yang menghasilkan kebijaksanaan. Di sini, objektivitas bukan berarti keterpisahan dari dunia, tetapi kejujuran terhadap keterikatan. Dengan demikian, klaim “bermukim” tidak harus bertentangan dengan refleksi epistemik, tetapi bisa menjadi titik tolak bagi pemahaman tentang bentuk validitas yang tidak seragam.

Pada sisi yang lain, adalah sangat layak untuk mengharapkan bahwa pengetahuan setempat perlu menyadari batasnya. Tidak semua bentuk praktik yang diwariskan layak dibiarkan hidup hanya karena mereka setempat. Tidak semua simbol bermakna hanya karena mereka diwariskan. Kebermukiman bukan tempat persembunyian dari kritik, tetapi tempat paling tepat untuk menjalankan kritik yang jujur, karena kritik yang datang dari dalam dunia yang dihuni selalu lebih berdaya ubah daripada kritik dari luar yang bersifat menilai. Jika pengetahuan setempat ingin mengukuhkan dirinya sebagai mitra epistemik sejajar, maka ia juga harus berani membuka dirinya terhadap pencerminan internal. Yakni berani bertanya dengan jujur, bukan hanya “dari mana aku datang”, tetapi juga “bagaimana dunia dalam kebermukimanku”.

Dalam perspektif ini, sebagai pihak di luar X dan Y, tidak akan memberikan tawaran kompromistik, tetapi jalan reflektif yang lebih dalam: pengetahuan sebagai rumah yang berpintu, di mana pengalaman dan universalisme tidak harus saling menghapus, tetapi bisa saling memperjelas. Pintu itu tidak selalu terbuka, dan tidak semua yang datang harus diterima, tetapi rumah yang sepenuhnya tertutup tidak akan tahu bahwa dunia telah berubah. Maka, gagasan pengetahuan yang bermukim tetap penting, namun ia akan lebih kuat bukan ketika menolak dunia luar, tetapi ketika ia tahu kapan dan bagaimana membuka pintunya. Dan sebaliknya, sains tidak kehilangan nilainya ketika ia belajar bahwa tidak semua hal harus dijelaskan dari luar, dan bahwa kadang yang paling benar adalah yang paling lama tinggal. [Desanomia – 30.4.25 – TM]

3 thoughts on “Dialog (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *