Dialog (5)

sumber ilustrasi: unsplash

5 Mei 2025 11.15 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Pengantar – berikut ini adalah dialog lanjut antara X (yang dalam hal ini dianggap mewakili tradisi desa), Y (yang diandaikan boleh mewakili tradisi ilmu) dan Z (yang diandaikan bukan dari keduanya). Jika dalam edisi lalu [Dialog (4)], telah ditampilkan percakapan ketiganya, terkait ciri ketiga yakni partisipatif – pengetahuan lahir dari keterlibatan, bukan (sekedar) pengamatan netral, maka pada edisi ini, akan dipercakapkan ciri keempat, yaitu berwujud – dalam hal ini dipahami sebagai “tidak hanya ide, tapi menjelma dalam tindakan dan tubuh”. Dalam makna ciri ini, pengetahuan diwujudkan dalam praktik hidup: menanam, merawat, berdoa. Berada dalam keterampilan, bukan hanya sebagai data.

Keterbatasan bahasa, sebagaimana yang sedikit diungkap dalam Dialog (2), membentuk kesadaran penuh tentang keterbatasan yang diungkap dan tentu selalu ada potensi terbaca secara kurang tepat atau tidak mencapai sebagaimana maksudnya, dan juga punya potensi terbaca sebagai pengulangan dari apa yang mungkin dianggap telah disampaikan sebelumnya. Dalam kesadaran itu pula, dialog ini ditampilkan, tentu untuk lebih membuka diri dan dalam keterbukaan itu pula, diharapkan dapat diperoleh gambar yang lebih lengkap tentang suatu pengetahuan yang bermukim. Semoga dapat dimengerti.

Beginilah percakapan umum atas masalah tersebut:

X:

Pengetahuan setempat bersifat inkarnatif dan berwujud. Artinya, tidak hadir semata sebagai representasi mental, proposisi verbal, atau sistem konsep yang otonom, melainkan menjelma langsung dalam bentuk tindakan, keterampilan, artefak, lanskap, tubuh, dan gerak hidup sehari-hari. Dalam struktur epistemiknya, pengetahuan setempat tidak dipisahkan dari proses perwujudan: tidak “diketahui” sebelum dijalani, tidak “dipahami” sebelum dirasakan (langsung), dan tidak “dimiliki” sebelum “ditubuhkan” dalam praktik. Klaim bahwa pengetahuan setempat bersifat inkarnatif bukan hanya sebuah pengamatan antropologis atau deskriptif, melainkan sebuah prinsip epistemologis yang tersendiri: bahwa mengetahui berarti mengerjakan, mengalami, dan menjelmakan.

Dalam kerangka ini, pengetahuan tidak sekadar hadir sebagai isi pikiran yang dapat diungkapkan dalam pernyataan (kata, Bahasa). Akan tetapi menyatu dengan laku, dengan ritme tubuh, dengan keterampilan tangan, dan dengan pengulangan tindakan dalam konteks kehidupan tertentu. Pengetahuan tentang bagaimana menenun, meramu obat, mengolah tanah, atau membaca tanda langit tidak berasal dari rumusan teoretis, tetapi dari pengalaman yang dijalankan dan dibentuk oleh tubuh yang terlibat penuh. Tubuh bukan hanya medium pelaksana, tetapi merupakan ruang epistemik itu sendiri—wadah yang menampung dan mengolah pengetahuan dalam bentuk yang konkret.

Dalam masyarakat yang hidup dengan pengetahuan setempat, kita mendapati bahwa pengetahuan tidak dikodifikasikan dalam bentuk buku atau naskah, melainkan dilestarikan dalam teknik, dalam cara berjalan di desa, dalam tata cara menata ruang rumah, atau dalam detail pergerakan saat mengolah bahan pangan. Hal-hal ini bukan sekadar kebiasaan, melainkan pengetahuan yang telah menjadi “darah daging”. Dalam setiap gerakan yang tampak sederhana, tersembunyi keputusan epistemik yang tidak selalu dapat dirumuskan secara verbal tetapi dapat dilacak melalui ketepatan hasil dan resonansinya dengan tatanan hidup yang dijaga.

Inkarnasi pengetahuan dalam bentuk praktik juga membuatnya memiliki dimensi performatif yang kuat. Mengetahui dalam konteks ini berarti melakukan dengan benar, dan melakukan dengan benar berarti mengikuti suatu ritme atau pola yang diwariskan dan terus disempurnakan. Dalam proses ini, kebenaran tidak diukur dengan korespondensi proposisi terhadap fakta eksternal, tetapi dengan kesesuaian tindakan terhadap konteks hidup dan harmoni relasional yang dituju. Ketika seorang pengrajin kayu tahu kapan harus berhenti mengukir karena bentuk telah “cukup”, atau seorang dukun tahu ramuan mana yang “dirasakan pas” oleh tubuh pasien, maka pengetahuan itu tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh sistem formal; diketahui secara langsung dalam tindakan yang “berhasil”.

Karena berwujud dalam praktik dan artefak, pengetahuan setempat juga memiliki dimensi material yang tidak dapat dipisahkan dari bentuk hidupnya. Perahu tradisional, rumah adat, alat pertanian, dan pakaian ritual bukan hanya benda-benda pasif; kesemuanya penyimpan dan penjaga pengetahuan. Setiap bentuk, ukuran, bahan, dan teknik pembuatan mengandung keputusan epistemik yang bertumpu pada pengalaman kolektif yang panjang. Artefak-artefak ini bukan sekadar “hasil” dari pengetahuan; mereka adalah pengetahuan itu sendiri dalam bentuk yang dapat disentuh, dilihat, dan digunakan. Dalam masyarakat semacam ini, museum terbaik bukanlah gedung pameran, tetapi kehidupan sehari-hari yang terus menjalankan pengetahuan dalam bentuknya yang utuh dan fungsional.

Oleh sebab itulah, dapat dibayangkan apa yang sebenarnya terjadi ketika sebuah desa digusur untuk kepentingan proyek pembangunan. Warga diusir dari pemukimannya, dengan cara tempatnya bermukim digenangi air, dan membuatnya tidak punya pilihan kecuali “pindah”. Di hadapan yang tidak bermukim, apa yang nampak hanya suatu pergeseran fisik. Seakan-akan yang ditinggalkan hanya tanah dan rumah. Sementara kebudayaan dan dalam hal ini pengetahuan dan sistem pengetahuan itu sendiri tidak pernah masuk dalam perhitungan, karena memang hal tersebut tidak dalam penglihatan dari mereka yang tidak bermukim. Jalan desa, pohon-pohon di sudut-sudut tertentu, dinding rumah, dan semuanya, yang menyimpan memori warga dan sekaligus merupakan pengetahuan itu sendiri, lenyap begitu saja seiring dengan lenyapnya kebermukiman.

Kejadian itu, mungkin dapat mengingatkan bahwa keberwujudan pengetahuan juga menandai bahwa ciri pengetahuan ini, memperlihatkan ketidakmungkinan suatu reduksi, dimana pengetahuan direduksi menjadi informasi yang bisa diduplikasi sembarangan. Pengetahuan yang inkarnatif tidak sepenuhnya dapat ditransfer melalui narasi atau instruksi verbal; ia memerlukan kehadiran, pengamatan langsung, dan latihan berulang. Inilah mengapa dalam banyak tradisi, belajar berarti ikut serta dalam kerja, bukan mendengarkan penjelasan. Transmisi pengetahuan tidak hanya mentransfer isi, tetapi juga melatih cara merasakan dan bereaksi terhadap dunia. Proses ini jauh lebih kompleks daripada sekadar pengalihan data; ia menuntut keterlibatan emosional, kesabaran, dan kedewasaan tertentu dalam menilai waktu yang tepat untuk bertindak.

Dengan demikian, pengetahuan setempat yang inkarnatif dan berwujud tidak hanya menantang definisi modern tentang pengetahuan sebagai sistem proposisi, tetapi juga mengajukan cara lain dalam memahami epistemologi: bahwa mengetahui tidak selalu terletak dalam “kepemilikan atas konsep”, tetapi dalam kecakapan menjalani dunia dengan cara yang tepat dan bermakna. Dalam pengetahuan semacam ini, pikiran tidak lebih utama daripada tubuh, bahasa tidak lebih murni daripada tindakan, dan teori tidak lebih sah daripada keterampilan yang dijalankan dengan ketepatan yang telah teruji oleh waktu.

Oleh karena itu, untuk benar-benar memahami pengetahuan setempat, tidak cukup untuk mewawancarai narasumber atau mencatat pernyataan. Dalam konteks ini, suatu “pengetahuan” hanya dapat dipahami melalui keterlibatan dalam bentuk hidup, dengan ikut menjalaninya, mengerjakannya, dan membiarkan tubuh sendiri belajar membedakan mana yang terasa “benar” dan mana yang tidak. Dalam dunia semacam ini, pengetahuan bukan sesuatu yang dijelaskan, tetapi sesuatu yang “diwujudkan”. Inkarnasi bukan pelengkap dari kognisi; suatu bentuk kognisi itu sendiri, yang tidak bisa dipisahkan dari dunia yang dihidupi dan dari “wujud” yang menampungnya.

Y:

Klaim bahwa pengetahuan setempat bersifat inkarnatif dan berwujud — yakni bahwa pengetahuan menjelma dalam tubuh, tindakan, artefak, dan lanskap — menimbulkan pertanyaan serius terkait validitas, sistematisasi, dan reproduktabilitas pengetahuan. Dalam tradisi keilmuan, pengetahuan dianggap sah sejauh dapat diformulasikan dalam proposisi eksplisit, diuji secara sistematik, dan dipisahkan dari ekspresi individual atau partikular. Maka, ketika pengetahuan dikatakan hidup dalam tindakan atau melekat dalam keterampilan tubuh, ilmu pengetahuan menilai bahwa kita berhadapan bukan dengan pengetahuan dalam pengertian teknis, tetapi dengan bentuk keahlian, kebiasaan, atau tradisi, yang belum tentu memenuhi kriteria rasionalitas atau keabsahan epistemik.

Pengetahuan, dalam pengertian keilmuan, adalah struktur yang memungkinkan abstraksi dan replikasi. Pengetahuan justru disusun agar dapat dilepaskan dari konteks pengamatan dan dipindahkan ke tangan siapa pun yang memiliki akses terhadap metode dan instrumen. Pengetahuan harus dapat diuji secara proposisional: “jika A, maka B”, dan klaim semacam ini harus bisa diverifikasi tanpa harus mengalami dunia yang sama seperti sang penutur. Kritik terhadap gagasan pengetahuan sebagai sesuatu yang “ditubuhkan” (diwujudkan) dalam tindakan adalah bahwa tubuh bersifat tak terstandar, penuh ambiguitas, dan cenderung menampung intuisi yang tidak dapat difalsifikasi. Dengan demikian, jika pengetahuan tidak dapat diungkapkan dalam bentuk proposisi yang eksplisit, ilmu mempertanyakan: bagaimana dapat diuji, disempurnakan, atau bahkan dipertukarkan?

Lebih jauh, bentuk pengetahuan yang diklaim hadir dalam artefak atau tindakan tubuh tidak memiliki kapasitas untuk menjelaskan dirinya sendiri secara kritis. Jika pengetahuan hadir dalam bagaimana seseorang menenun, menebang pohon, atau mengukir kayu, maka di mana letak evaluasi terhadap prinsip-prinsip yang mendasarinya? Dalam sains, evaluasi dilakukan melalui penjelasan, pembuktian, dan uji hipotesis yang dapat dikomunikasikan dalam bahasa umum. Tetapi jika pengetahuan hanya bisa dipahami melalui “pengalaman menjalankan” atau tindakan “mewujudkan”, maka kita menghadapi epistemologi yang eksklusif, yaitu yang hanya dapat diakses oleh mereka yang telah dilatih secara khusus dalam satu tradisi setempat, dengan cara yang tak selalu bisa diaudit dari luar. Hal ini akan punya resiko menciptakan semacam wilayah epistemik yang eksklusif, tertutup terhadap koreksi atau kontribusi eksternal.

Kritik keilmuan juga menyoroti bahwa keterampilan praktis tidak selalu identik dengan pengetahuan. Seorang tukang kayu bisa sangat terampil tanpa tahu prinsip fisika yang menjelaskan kestabilan struktur yang ia bangun. Seorang tabib tradisional bisa tahu ramuan mana yang efektif tanpa mengerti reaksi kimiawi yang terjadi di dalam tubuh pasien. Maka keterampilan atau keahlian bukan pengetahuan dalam pengertian teoritis, tetapi praktik empiris yang belum mengalami elaborasi konseptual. Pengetahuan ilmiah dibangun bukan hanya dari mengetahui “bagaimana”, tetapi dari mengetahui “mengapa”. Tanpa elaborasi atas sebab-akibat, prinsip, dan kondisi pembenaran, apa yang disebut “pengetahuan berwujud” hanya dapat dianggap sebagai pra-pengetahuan atau pra-teori. Suatu bentuk awal yang dapat dikatakan belum matang secara epistemik.

Ilmu juga akan mempersoalkan klaim bahwa tindakan dan artefak dapat menyimpan pengetahuan secara utuh. Artefak tidak menjelaskan dirinya sendiri; benda tidak bicara. Tanpa interpretasi konseptual, benda hanya memberi isyarat samar tentang praktik yang melahirkannya. Rumah adat, perahu tradisional, atau alat pertanian tidak dapat mengungkapkan prinsip yang mendasari pembuatannya tanpa kerangka penjelas yang dapat dikomunikasikan lintas waktu dan komunitas. Dalam epistemologi ilmiah, pengetahuan yang tidak bisa diartikulasikan adalah pengetahuan yang rapuh, sebab tidak bisa dipertahankan ketika generasi berikutnya tidak lagi menjalankan praktik yang sama. Maka, keberwujudan pengetahuan dianggap sebagai pelengkap, bukan dasar: pengetahuan sejati tetap harus dapat dijelaskan, ditulis, dan dikritisi.

Kritik juga muncul terhadap bentuk transmisi pengetahuan inkarnatif yang bergantung pada kehadiran, pengamatan langsung, dan latihan tubuh. Dari sudut pandang keilmuan, cara ini memerlukan waktu lama, tidak efisien, dan rentan terhadap distorsi. Dalam ilmu, proses belajar dipercepat dengan artikulasi eksplisit, metode demonstratif, dan sistem representasi visual atau matematis. Jika pengetahuan hanya bisa dipelajari dengan “melihat dan melakukan bersama”, maka tidak mungkin dapat menyebar luas, tidak bisa berkembang secara cepat, dan tidak bisa dimanfaatkan oleh komunitas yang berbeda konteks. Di dunia yang membutuhkan solusi cepat terhadap krisis ekologis, kesehatan, dan sosial, pengetahuan inkarnatif dianggap terlalu lamban dan terlalu setempat untuk menjawab tantangan global.

Sekali lagi, dari sudut pandang ilmu, pengakuan bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang “ditubuhkan” membawa risiko epistemik yang besar: bahwa kebenaran menjadi sangat subjektif, sangat partikular, dan sangat sulit dipisahkan dari otoritas tradisi. Jika pengetahuan tidak dibentuk melalui proses reflektif, jika ia tidak terbuka terhadap revisi karena terlalu erat dengan bentuk hidup, maka ia menjadi tidak hanya tertutup, tetapi juga rentan membeku sebagai doktrin. Ilmu bertanya: bagaimana membedakan antara praktik yang terus dijalankan karena efektif, dan praktik yang terus dijalankan karena tak pernah dipertanyakan?

Dengan demikian, dari perspektif keilmuan, gagasan bahwa pengetahuan bersifat inkarnatif dan berwujud harus dihadapi dengan skeptisisme epistemik yang tajam. Keterampilan, tindakan, dan artefak memang penting sebagai bagian dari proses pembentukan pengetahuan, tetapi pengetahuan yang sahih harus bisa dilepaskan dari bentuk-bentuk partikular tersebut agar dapat diuji, dikembangkan, dan digunakan oleh siapa pun. Mengetahui, dalam pengertian ilmiah, adalah soal mengerti dan menjelaskan—bukan sekadar menjalankan. Jika pengetahuan berhenti pada tubuh dan tidak melangkah ke refleksi konseptual, maka ia berisiko menjadi pengetahuan yang tidak bisa diajukan dalam percakapan epistemik lintas dunia. Dan bagi ilmu, percakapan semacam itulah yang memungkinkan pengetahuan menjadi milik bersama umat manusia.

X:

Kritik ilmu terhadap klaim bahwa pengetahuan setempat yang bersifat inkarnatif dan berwujud, bahwa pengetahuan menjelma dalam tindakan, tubuh, benda, dan ruang — secara nyata menyingkap bias epistemologis yang telah lama bercokol dalam filsafat sains: yaitu keyakinan bahwa pengetahuan hanya sah jika dapat diformulasikan secara proposisional, diuji secara netral, dan dipisahkan dari partikularitas tubuh serta konteks kehidupan. Kritik tersebut, meskipun dikemas dalam bahasa rasionalitas, sebagaimana disebutkan dalam dialog sebelumnya, sebenarnya mewarisi sebuah paradigma lama: bahwa mengetahui berarti menjelaskan, bukan menjalani, bahwa validitas terletak dalam abstraksi, bukan dalam pengalaman, dan bahwa bentuk paling murni dari pengetahuan adalah yang bebas dari tubuh dan dunia. Namun justru asumsi-asumsi inilah yang perlu terus dipertanyakan secara mendalam dan jujur.

Ilmu mengukur pengetahuan berdasarkan kemampuannya untuk direduksi menjadi proposisi yang bisa diuji ulang oleh siapa pun dalam kondisi laboratorium yang steril. Tetapi pertanyaan mendasarnya adalah: mengapa harus proposisi? Mengapa pengalaman langsung yang menjelma dalam gerakan tubuh, dalam keterampilan tangan, dalam pengulangan ritus dan kerja, dianggap bukan sebagai bentuk pengetahuan sejati? Ini bukan sekadar perbedaan bentuk, melainkan perbedaan dalam cara memahami hakikat pengetahuan itu sendiri. Dalam pengetahuan setempat, tubuh bukan penghalang bagi pengetahuan, tetapi wadahnya; tindakan bukan hanya hasil dari berpikir, melainkan cara berpikir itu sendiri.

Ilmu modern terlalu terbiasa memisahkan knowing dari doing, dan lebih jauh lagi, knowing dari being. Kritiknya terhadap pengetahuan yang inkarnatif berangkat dari anggapan bahwa hanya pengetahuan yang bisa “dilepaskan” dari subjeknya yang bisa dianggap universal dan sah. Tetapi mengapa pengetahuan harus bisa dilepaskan? Mengapa pengetahuan harus netral? Netralitas semacam itu justru merupakan fiksi epistemologis yang dibangun dalam sejarah tertentu. Sejarah yang menjauhkan pengetahuan dari kehidupan, dari relasi, dan dari dunia yang konkret. Dalam kerangka pengetahuan setempat, kedekatan adalah keabsahan, bukan gangguan terhadap validitas. Mengetahui berarti terlibat, hadir, dan membiarkan tubuh menjadi bagian dari proses pengujian itu sendiri.

Ketika ilmu menyatakan bahwa pengetahuan yang tidak dapat diekspresikan secara proposisional tidak bisa diuji, maka ia secara tidak sadar mengesampingkan seluruh dimensi pengetahuan yang bekerja melalui keterampilan. Mengetahui bagaimana menebang pohon agar tidak melukai desa, bagaimana mengatur irama gerak saat menenun, bagaimana meracik bahan alami berdasarkan perubahan rasa dan suhu. Semua itu adalah bentuk pengetahuan yang tidak bisa dikodifikasi dalam kalimat, tetapi jelas dapat diuji melalui hasil dan resonansinya dalam praktik. Hanya karena sesuatu tidak bisa difalsifikasi, tidak lantas berarti tidak dapat diuji. Dalam dunia pengetahuan “mewujud”, pengujian berlangsung dalam waktu, dalam pengulangan, dan dalam respon halus terhadap perubahan konteks. Tubuh (atau komunitas) dan tindakan adalah medan pengujian itu sendiri.

Lebih dari itu, kritik bahwa artefak tidak dapat menjelaskan dirinya sendiri sepenuhnya mengabaikan bahwa dalam banyak kebudayaan, pengetahuan tidak dibentuk melalui sistem representasi verbal, tetapi melalui struktur material yang menyimpan makna dan orientasi hidup. Perahu, rumah, alat, dan lanskap bukan sekadar hasil dari pengetahuan, tetapi pengatur pengetahuan itu sendiri. Dalam dunia seperti ini, benda tidak hanya pasif; mengajarkan, membentuk, dan membimbing. Kritik ilmu yang meminta agar semua pengetahuan “dijelaskan” gagal melihat bahwa tidak semua pengetahuan perlu dijelaskan agar berfungsi dan bernilai. Ada bentuk-bentuk tahu yang hanya dapat diakses dengan mengalami—dan ini bukan kelemahan epistemik, melainkan kekayaan cara hidup.

Ketika ilmu mengatakan bahwa transmisi inkarnatif lamban dan sulit diperluas, maka pengetahuan setempat dengan tenang menjawab: memang tidak semua hal harus dipercepat dan diperluas. Kecepatan dan skalabilitas adalah nilai ekonomi-industrial, bukan nilai epistemik universal. Pengetahuan yang bertumpu pada keterlibatan tubuh dan pelatihan waktu panjang justru menghasilkan kedalaman, bukan sekadar sebaran. Dalam dunia yang kini krisis karena terlalu banyak solusi cepat yang melupakan kompleksitas setempat, mungkin justru pengetahuan yang berwujud dan inkarnatiflah yang dapat mengajarkan kembali ritme ketelitian, kesabaran, dan perasaan halus terhadap tanda-tanda dunia yang tak dapat dijelaskan dalam grafik atau formula.

Dan, kritik bahwa pengetahuan yang terlalu terikat pada praktik dan tubuh rentan terhadap dogmatisme atau stagnasi juga perlu dilihat ulang. Stagnasi bukan hasil dari keterikatan pada tubuh atau bentuk hidup, tetapi dari ketertutupan terhadap refleksi. Dan refleksi tidak harus selalu bersifat proposisional. Pengetahuan setempat memiliki mekanisme refleksi internalnya sendiri: dalam bentuk pembandingan hasil, dialog antar generasi, ritus korektif, dan pengamatan terus-menerus terhadap tanda-tanda perubahan. Tidak anti-refleksi, tetapi hanya tidak menyandarkan refleksi pada sistem teoritik yang terpisah dari praktik. Kritik yang mengasumsikan bahwa satu-satunya bentuk refleksi adalah kritik formal, sekali lagi, mengungkap sempitnya horizon epistemiknya sendiri.

Dengan demikian, respon terhadap kritik ilmu terhadap pengetahuan yang inkarnatif dan berwujud bukan sekadar pembelaan terhadap bentuk alternatif pengetahuan, tetapi sekaligus ajakan untuk meninjau ulang apa yang selama ini dianggap sebagai kriteria pengetahuan yang sah. Apakah pengetahuan harus bisa dilepaskan dari tubuh? Apakah kebenaran hanya hadir dalam bentuk kata-kata atau angka? Apakah hanya yang bisa difalsifikasi yang layak disebut ilmiah? Pertanyaan-pertanyaan ini membuka kemungkinan bagi horizon epistemik yang lebih inklusif dan bijak: di mana mengetahui tidak selalu harus berarti menjauh dari dunia, tetapi justru menyatu dengannya melalui tindakan, keterampilan, dan keberadaan yang penuh perhatian. Dalam dunia yang semakin dipisahkan oleh abstraksi, mungkin justru pengetahuan yang berwujudlah yang menjaga kita tetap dekat pada apa yang paling nyata: bermukim.

Z:

Percakapan tentang sifat inkarnatif dan berwujud dari pengetahuan setempat, menampilkan dua posisi epistemologis tampil yang pada dirinya memiliki dasar pembenar yang kokoh, karena itu, ada terasa ketegangan dalam dialog di atas. Di satu sisi, pengetahuan setempat menegaskan bahwa pengetahuan bukan sekadar konstruksi proposisional atau sistem representasi, melainkan bentuk keterlibatan langsung yang menjelma dalam tindakan, tubuh, artefak, dan kehidupan sehari-hari. Pada sisi yang lain, ilmu mempersoalkan validitas epistemik dari bentuk pengetahuan semacam itu: bagaimana mungkin pengetahuan dianggap sah jika tidak dapat diformulasikan, diuji secara sistematis, atau dipertukarkan melalui struktur konseptual yang eksplisit? Dalam benturan dua posisi ini, pihak ketiga hadir bukan untuk menengahi secara artifisial, tetapi untuk memetakan ulang medan epistemologis yang terlalu lama dibatasi oleh oposisi kaku antara konsep dan praktik, abstraksi dan pengalaman, universalitas dan keterbatasan.

Pihak pertama, menawarkan visi pengetahuan sebagai sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan yang dijalani. Dalam pandangan ini, mengetahui berarti mengalami, menjalani, dan menubuhkan atau mewujudkan. Pengetahuan tidak hadir terlebih dahulu sebagai gagasan yang kemudian diterapkan, melainkan tumbuh langsung dari interaksi tubuh dengan dunia. Makna tidak ada sebelum percakapan, melainkan makna “terbentuk” dan menubuh dalam percakapan. Gerakan, ritus, kebiasaan kerja, dan relasi manusia dengan lanskap bukanlah sekadar “medium” dari pengetahuan, tetapi substansi dari pengetahuan itu sendiri. Di sini, pengetahuan tidak tinggal di kepala, akan tetapi dikatakan hidup di tangan, di kaki, dalam gerak ritmis kerja, dan dalam bentuk-bentuk material yang diwariskan dan diubah dari generasi ke generasi.

Sementara itu, pihak kedua, memusatkan argumennya pada perlunya artikulasi, pembuktian, dan reproduktabilitas. Menurut mereka, pengetahuan sejati harus bisa dilepaskan dari pengalaman partikular, bisa dijelaskan dalam bahasa proposisional, dan bisa diuji oleh siapa saja, kapan saja. Jika pengetahuan hanya bisa dipahami melalui tindakan yang dijalani secara setempat, maka ia tidak dapat disampaikan secara luas, tidak dapat dikritik dari luar, dan tidak dapat disempurnakan dalam sistem akumulatif yang menjadi ciri khas ilmu modern. Pengetahuan inkarnatif, dalam pandangan ini, terlalu terikat pada pengalaman individual atau komunitas kecil, sehingga tidak cukup kuat untuk menyumbang pada bangunan pengetahuan global.

Apabila kita melihat dengan cara yang berbeda, maka barangkali akan tampak bahwa kedua belah pihak sebenarnya sama-sama mengandung daya dan titik buta. Jika kita mampu berada tidak diantara keduanya, maka dari kedua kutub ini dapat dilihat bahwa percakapan keduanya sebenarnya – sebagaimana telah disinggung dalam dialog sebelumnya – menyentuh  dua mode epistemik yang berbeda dalam hal orientasi, cara kerja, dan horizon praksis. Yang satu mengakar pada dunia yang dijalani bersama, penuh keterlibatan, lambat dan dalam; yang lain mengarah pada dunia yang dapat diabstraksikan, dijelaskan, dan disusun secara sistematis untuk kebutuhan komunikasi dan kontrol dalam skala besar. Keduanya tidak bisa dibandingkan dalam satu kerangka tunggal karena keduanya bekerja dalam horizon yang berlainan.

Jika boleh dilakukan penilaian, maka mungkin kita dapat mengatakan bahwa kedua belah pihak terasa hendak memaksakan kerangka kerjanya untuk menilai yang lain. Ketika sains modern menuntut pengetahuan setempat untuk membuktikan dirinya dalam bentuk proposisional, maka yang terjadi adalah ketidakmampuan untuk melihat bahwa validitas tidak harus datang dari keterpisahan, tetapi bisa juga dari keintiman relasional dan ketepatan performatif dalam konteks tertentu. Di sisi lain, ketika pengetahuan setempat menolak semua bentuk artikulasi eksplisit atas nama pengalaman, mereka berisiko memenjarakan pengetahuan dalam keterwarisan tertutup, dan kehilangan daya kritis terhadap dirinya sendiri. Dalam kasus seperti ini, partisipasi (ciri ketiga) dan keberwujudan bisa berubah menjadi pembekuan bentuk hidup, bukan pengayaan pengalaman epistemik.

Dalam formasi yang demikian ini, ketiga dapat memberikan saran, tentang perlunya keluar dari dikotomi “pengetahuan sebagai proposisi” versus “pengetahuan sebagai tindakan”. Dunia epistemologi tidak harus terbagi antara teori dan praktik, antara konsep dan tubuh. Justru dalam banyak kebudayaan, termasuk dalam tradisi ilmiah itu sendiri, kita melihat bahwa pengetahuan selalu melibatkan keduanya—namun dengan proporsi, bentuk, dan peran yang berbeda-beda. Dalam fisika eksperimental, misalnya, tubuh tetap diperlukan dalam pengamatan dan manipulasi alat. Dalam kedokteran, intuisi dan sentuhan sering kali mendahului diagnosis berbasis laboratorium. Bahkan dalam matematika, ketajaman konseptual bergantung pada latihan panjang dan pengalaman internal terhadap pola-pola abstrak. Maka keterlibatan tubuh dan pengalaman bukanlah hal asing dalam pengetahuan ilmiah; hanya saja, ia sering kali disembunyikan di balik layar struktur formal.

Kita mungkin juga melihat bahwa keberwujudan pengetahuan tidak menolak artikulasi, melainkan mengundang bentuk artikulasi yang sesuai. Bahasa tidak selalu harus proposisional atau sistematis; dapat pula bersifat naratif, metaforis, simbolik, atau bahkan gestural. Artinya, pengetahuan yang berwujud bukan tidak dapat dikomunikasikan, tetapi ia menuntut cara komunikasi yang tidak memisahkan bentuk dari makna. Tantangan epistemologi ke depan bukanlah menyeragamkan bentuk-bentuk pengetahuan agar sesuai dengan standar sains, tetapi mengembangkan pluralitas bentuk artikulasi yang setara dalam martabat epistemiknya. Di sinilah kita ketiga melihat kemungkinan pertemuan yang lebih sehat antara bentuk pengetahuan inkarnatif dan bentuk pengetahuan konseptual.

Jika dimungkinkan, amat perlu dicari cara agar pendekatan baru yang lebih kreatif, misalnya, bukan pengetahuan inkarnatif yang harus membuktikan keabsahannya dengan cara ilmiah, tetapi paradigma ilmiah yang perlu belajar menyusun ulang pengertiannya tentang pengetahuan dengan mendengar secara serius cara hidup dan cara tahu yang tidak berbicara dalam bahasa formal. Ini bukan relativisme, melainkan refleksivitas epistemik yang mendalam—kesediaan untuk mengakui bahwa tidak ada bentuk pengetahuan yang bebas nilai, bebas tubuh, atau bebas dunia. Semua pengetahuan adalah hasil dari cara manusia menanggapi dunia yang dihadapinya—dalam situasi yang beragam, dengan sarana yang berbeda, dan dengan horizon tujuan yang tak selalu dapat dibandingkan secara linier.

Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa percakapan tentang ciri keempat telah mampu menyingkap bahwa yang sedang dipercakapan tidak semata menyangkut isi pengetahuan, tetapi menyentuh struktur epistemik dari cara berpikir modern itu sendiri. Kita tentu tidak memilih salah satu pihak untuk dibenarkan, tetapi mengajak untuk melampaui pertentangan yang dibangun atas dasar penyederhanaan bentuk-bentuk tahu. Mengetahui, dalam pandangan ini, adalah spektrum yang mencakup keterlibatan langsung dan refleksi formal, keterampilan tubuh dan representasi simbolik, artefak konkret dan ide abstrak. Tantangan ke depan bukan memilih satu sisi, tetapi merancang ruang epistemik di mana semua bentuk itu bisa berbicara, saling menyela, dan saling mengasah—bukan untuk mencapai satu kebenaran tunggal, tetapi untuk menjaga kelimpahan dunia yang tak bisa diringkas dalam “satu bentuk” tahu saja. [Desanomia – 5.5.25 – TM]

One thought on “Dialog (5)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *