Dialog (8)

Sumber ilustrasi: unsplash

7 Mei 2025 11.45 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Pengantar – berikut ini adalah dialog lanjut antara X (yang dalam hal ini dianggap mewakili tradisi desa), Y (yang diandaikan boleh mewakili tradisi ilmu) dan Z (yang diandaikan bukan dari keduanya). Pada edisi lalu [Dialog (7)], telah ditampilkan percakapan keenam, yakni tentang ciri plural. Dalam percakapan, telah diuraikan tentang ketiadaan satu suara yang dominan. Pengetahuan setempat mengakui: Banyak suara dan makna hidup berdampingan. Interpretasi berkembang sesuai perubahan zaman dan kebutuhan komunitas. Edisi kali ini, akan mempercakapkan bagian yang sulit, yakni tentang waktu. Apa yang akan dibahas adalah tentang ciri temporalitas siklikal. Yakni suatu pandangan yang memaknai waktu sebagai yang tidak linier dan progresif, tetapi berirama dan “mengulang”. Pengetahuan setempat: menyatu dengan musim, generasi, perayaan, dan ingatan leluhur. Diwariskan (bahkan mungkin sudah selalu begitu), bukan ditemukan; dihidupi, bukan ditarik (diambil) dari luar.

Namun, sebelum percakapan dilangsungkan, hendak diungkapkan di sini suatu kesulitan yang dapat dikatakan sangat mendasar. Yang dimaksud terkait dengan dua hal. Pertama, adalah tentang Bahasa. Kedua, tentang pengetahuan itu sendiri, yakni tentang bagaimana “yang dialami” hendak diungkapkan, dengan menggunakan Bahasa. Pada yang pertama, sebagaimana telah disinggung pada bagian pengantar dan juga mungkin muncul dalam percakapan, bahwa dalam dialog ini kita punya problem dengan Bahasa. Masalahnya terletak pada keterbatasan yang melekat didalamnya. Masalah yang dimaksud adalah bagaimana mungkin kita dapat seutuhnya mengungkapkan hal “yang dialami”, yang dalam hal ini, hanya dapat diketahui sebagaimana adanya, jika dan hanya jika, dengan pengalaman eksistensial pula. Pernyataan ini tentu bukan menjadi bagian dari kritik atas pengetahuan setempat, melainkan keterbatasan Bahasa dalam mengungkap yang tidak mungkin diungkapnya.

Pada yang kedua, hendak dikatakan di sini adalah bahwa usaha untuk mengungkapkan dan kemudian daripadanya memahami, tidak bisa sepenuhnya dilepaskan dari pengetahuan awal. Oleh sebab itulah, jika diperhatikan dengan seksama, diksi-diksi utama yang digunakan, akan menampakkan bayangan dari pengetahuan lain. Hal ini tampak dari dominannya penggunaan diksi “bukan”, “tidak”, atau segala diksi negasi lainnya. Ketika pengetahuan setempat dijelaskan dengan menggunakan frasa “bukan demikian”, “tidak seperti itu”, atau “berbeda dari”, maka yang berlangsung adalah bahwa pengetahuan setempat tidak berbicara dari dirinya sendiri, tetapi dari bayangan yang bukan dirinya sendiri. Tampak sebagai reaksi, bukan sebagai eksistensi yang mandiri. Sebagai akibatnya, pengetahuan setempat tampil hanya sebagai derivasi, karena keterungkapannya hanya terjadi melalui oposisi terhadap sistem yang telah ada.

Keadaan ini mirip dengan suatu konstitusi makna melalui negasi. Sesuatu yang baru tidak diungkap melalui dirinya, melainkan melalui apa yang bukan dirinya. Model semacam ini boleh dibilang merupakan warisan dari struktur berpikir diferensial: sesuatu hanya bisa muncul melalui perbedaan dari yang lain. Dalam struktur semacam ini, makna selalu dibentuk oleh penolakan, oleh negasi, oleh penanda yang telah ada sebelumnya. Ini sangat tampak dalam bahasa yang ada. Ketika menjelaskan, kita mengatakan “bukan ini”, “tidak seperti itu”, sebelum akhirnya menyebut apa yang kita maksud atau bahkan karena ketidaksanggupan untuk menyebut, maka yang digunakan hanya negasi. Situasi inilah yang berlangsung dalam percakapan, sejak awal hingg kini, dan mungkin pada ujungnya.

Beginilah percakapan umum atas masalah tersebut:

X:

Waktu dalam pengetahuan setempat tidak digambarkan sebagai garis lurus yang tak terbagi, tempat kejadian-kejadian berurutan menumpuk tanpa kembali. Sebaliknya, hadir sebagai alur melingkar yang merawat dan menghidupkan kembali pengalaman, bukan sebagai urutan yang membuang apa yang telah lampau. Dalam kehidupan sehari-hari “masyarakat desa”, waktu bukan dihitung, tetapi dirasakan; bukan dikalkulasi, tetapi dialami. Waktu bukan sesuatu yang berlalu dan ditinggalkan, melainkan yang kembali dan menuntut perhatian. Pola-pola musim, peredaran bulan, dan ritus-ritus tahunan bukan sekadar tanda perulangan, melainkan penanda keterlibatan yang terus-menerus antara manusia dan dunia.

Struktur waktu yang demikian tidak mendorong ide tentang masa depan yang terputus dari masa lalu. Sebaliknya, masa depan hanya bisa didekati melalui pengenalan kembali terhadap apa yang telah terjadi. Dengan kata lain, masa lalu tidak mati, tetapi hanya berubah posisi: dari sesuatu yang sudah terjadi menjadi sesuatu yang kembali hadir dalam bentuk pengalaman kolektif yang diperbarui. Di sinilah mengapa peristiwa, kisah, dan ritus diulang. Hal itu bukan karena stagnansi, melainkan dengan cara itulah komunitas merawat kontinuitas dan menjaga arah. Pengulangan bukanlah bentuk pengingkaran terhadap perubahan, tetapi strategi untuk tetap setia pada makna yang ditemukan dalam lintasan waktu yang telah dialami bersama.

Pengetahuan yang terikat dalam struktur waktu semacam ini bukanlah pengetahuan yang tergesa-gesa mencari hal baru. Pengetahuan berkembang secara bertahap, tumbuh, tidak karena obsesi terhadap inovasi, tetapi karena kehati-hatian dalam menguji apa yang layak dibawa ke masa kini. Dalam logika ini, sebuah praktik atau kepercayaan tidak diubah hanya karena telah menjadi tua, dan tidak diterima hanya karena sebagai sesuatu yang diwariskan. Akan tetapi diperiksa terus-menerus dalam ruang waktu yang bersiklus — dengan pertanyaan, dengan pengalaman baru, dan dengan ingatan kolektif yang dijaga dalam laku, bukan dalam dokumen (arsip). Sejarah tidak ditulis sebagai rangkaian peristiwa yang dipaku pada tahun dan tanggal, tetapi dibacakan kembali melalui tindakan yang dilakukan bersama.

Siklus panen, misalnya, bukan hanya soal kapan menanam dan memanen, tetapi juga tentang kapan harus berhenti, kapan harus memberi waktu bagi tanah untuk pulih, kapan harus mengingat apa yang pernah terjadi ketika tanah diabaikan. Peristiwa ekologi menjadi peristiwa moral, dan waktu menjadi ruang pertimbangan. Dengan demikian, waktu dalam pengetahuan setempat memuat dimensi tindakan. Tidak hanya mengingatkan, tetapi juga menuntun. Bukan catatan statis, tetapi irama yang menjadi dasar gerak sosial dan ekologis.

Dalam kerangka seperti ini, tidak ada pemisahan yang tajam antara sejarah dan masa kini. Keduanya berjalin dalam kesadaran yang terus diperbaharui. Seorang anak tidak hanya tumbuh dalam dunia yang baru, tetapi juga dalam cerita-cerita lama yang masih hidup. Bukan sekadar pewaris, tetapi juga pelaku dalam sejarah yang sedang dijalankan ulang. Ini berarti bahwa pengetahuan tidak disimpan untuk dikaji kemudian, tetapi dikerjakan sebagai bagian dari hidup. Maka, sejarah dalam pengertian pengetahuan setempat tidak berakhir di museum atau naskah, melainkan berlangsung dalam sawah, dalam ruang upacara, dan dalam keputusan-keputusan sehari-hari yang kelihatannya kecil, tetapi dibentuk oleh panjangnya ingatan kolektif.

Melalui struktur waktu yang siklikal dan historis, pengetahuan setempat menemukan cara untuk menjembatani perubahan tanpa kehilangan identitas. Kita dapat mengatakan “mengalir” tetapi tidak hanyut. Dalam hal ini, tidak terseret dalam arus yang hanya memuja kemajuan linier, tetapi juga tidak menutup diri dari penyesuaian. Keunggulannya bukan pada kecepatannya menyerap hal baru, tetapi pada kedewasaannya dalam mengenali kapan sesuatu betul-betul perlu diubah, dan kapan sesuatu justru harus dipertahankan. Dalam ruang waktu ini, yang baru dan yang lama bukan musuh, tetapi dua bentuk dari kesinambungan yang sama-sama dihormati. Dan dengan begitu, waktu menjadi dasar dari kebijaksanaan: bukan karena mengabsolutkan masa lalu, tetapi karena yang lalu mengajarkan bagaimana menapaki masa kini dengan jejak yang tidak dihapus, melainkan dijaga dan dirawat.

Jika pengetahuan lahir dari pengalaman yang dialami dan diingat secara kolektif, maka waktu dalam kerangka ini bukan hanya wadah, tetapi juga medium pembentuk cara tahu. Waktu dengan demikian memungkinkan keterhubungan antara generasi, antara manusia dan lanskap, antara tindakan dan makna. Oleh sebab itu, waktu bukanlah instrumen, melainkan bagian dari epistemologi itu sendiri. Dalam dunia yang cenderung mempercepat segala sesuatu, dan menjadikan waktu sebagai garis ke depan yang harus ditempuh tanpa henti, struktur waktu dalam pengetahuan setempat menghadirkan kemungkinan lain: bahwa untuk mengetahui, seseorang tidak harus bergerak lebih cepat, tetapi cukup “menetap” lebih lama dalam apa yang telah, sedang, dan terus terjadi.

Y:

Jika ditanyakan kepada ilmu, bagaimana memahami penjelasan tersebut? Jawabnya tentu baik. Bahwa penjelasan yang diberikan tentang konsep waktu dari sudut pandang pengetahuan setempat memuat hal-hal baru yang menarik untuk menjadi bahan kajian dan jelas menampilkan suatu horizon baru. Namun, pertanyaannya mengarah pada apakah pandangan tersebut dapat diterima dan dapat menjadi kerangka dalam membentuk suatu ilmu, barangkali pada titik ini masalah akan muncul. Meskipun kedengarannya klise, namun demikian itulah adanya. Ketika waktu yang digambarkan sebagai siklus yang memelihara ingatan dan mengulang makna, tentu akan menimbulkan pertanyaan krusial tentang efektivitas dan keluwesan epistemik dalam merespons dunia yang berubah cepat dan tidak menunggu. Ilmu berangkat dari kebutuhan untuk memahami perubahan, memetakan pola yang kompleks, dan memproyeksikan kemungkinan masa depan secara rasional berdasarkan data dan pengujian berulang. Dalam kerangka ini, waktu bukan sekadar ritme yang dihayati, melainkan variabel yang dapat diukur, dimodelkan, dan digunakan untuk mengambil keputusan dalam skala luas dan presisi tinggi.

Gagasan tentang waktu sebagai ruang pengulangan simbolik atau ritus kultural—sebagaimana ditampilkan dalam pengetahuan setempat, harus diakui mengandung makna sosial dan emosional yang kuat. Namun demikian, tidak serta-merta mencukupi sebagai dasar pengambilan keputusan dalam dunia kontemporer yang menuntut kalkulasi risiko, evaluasi kecepatan perubahan, dan ketepatan waktu intervensi. Misalnya, dalam konteks perubahan iklim, menanti isyarat alam seperti arah angin atau perubahan perilaku hewan tidak dapat menggantikan kebutuhan untuk menggunakan instrumen presisi dalam memantau suhu global, arus laut, atau distribusi karbon. Dalam hal ini, waktu sebagai entitas yang dapat diprediksi secara statistik lebih dibutuhkan ketimbang waktu yang hadir melalui intuisi atau pengulangan naratif.

Lebih jauh, ketika waktu didefinisikan sebagai sesuatu yang dialami dan dirasakan, bukan dihitung atau dimodelkan, maka kemungkinan untuk membangun sistem respons yang cepat, terukur, dan terstandarisasi menjadi terbatas. Pengetahuan modern lahir bukan dari siklus, tetapi dari gangguan terhadap siklus. Ilmu tidak merawat perulangan, tetapi mengurai keteraturan untuk memahami penyimpangan. Dalam sains, pengulangan tidak dihargai karena kemiripannya dengan masa lalu, melainkan karena kemampuannya menunjukkan pola stabil yang bisa diuji dalam konteks baru. Oleh sebab itu, ketika waktu dianggap tidak linier dan tidak mendorong kemajuan, maka sains melihat bahaya stagnasi, yaitu ketika peristiwa hanya dipahami sebagai pantulan masa lalu, bukan sebagai tanda transformasi menuju masa depan yang tak terduga.

Ilmu pengetahuan menolak pandangan bahwa masa lalu adalah satu-satunya sumber legitimasi bagi pengetahuan. Tradisi, sebagaimana dihormati dalam pengetahuan setempat, memang mengandung stabilitas, tetapi sering juga memelihara konservatisme epistemik, yakni kecenderungan mempertahankan pola yang familiar sekalipun dunia nyata sudah berubah. Dalam sistem ilmiah, masa lalu justru dimungkinkan untuk dikritik secara aktif, karena yang diprioritaskan adalah efektivitas di masa kini dan kesiapan menghadapi masa depan. Pengetahuan yang tidak dievaluasi dengan alat ukur baru akan tertinggal, dan ketika dunia bergerak lebih cepat dari mekanisme respons kultural yang tersedia, maka risiko salah langkah meningkat tajam.

Selain itu, pengetahuan yang terlalu terikat pada siklus waktu simbolik cenderung mengabaikan dimensi kontingensi dan disrupsi yang tidak mengikuti pola. Ilmu pengetahuan bekerja karena mempelajari dengan seksama dan karena itu mampu mengenali bahwa tidak semua hal berjalan dalam irama yang bisa diramalkan oleh pengalaman generasi sebelumnya. Epidemi, krisis energi, keruntuhan ekonomi—semuanya membutuhkan pembacaan waktu yang bukan hanya mengacu pada sejarah, tetapi pada pemodelan dinamis yang berubah dari hari ke hari. Waktu di sini bukan lagi ruang kontemplasi, tetapi “sumber tekanan” untuk bertindak dengan cepat dan tepat. Dalam dunia semacam ini, makna yang hidup dalam pengulangan menjadi tidak cukup. Oleh karena itulah dibutuhkan suatu kejelasan sinyal dan kapasitas prediksi yang dapat dijalankan oleh sistem terkoordinasi.

Tentu, ilmu pengetahuan tidak menolak pentingnya pengalaman historis, tetapi memposisikannya dalam kerangka revisibilitas. Sejarah tidak dianggap sebagai sumber kebijaksanaan mutlak, melainkan sebagai kumpulan data yang harus diuji ulang. Karena bagaimana pun kita hanya bisa mengatakan “apa yang terjadi”, bukan kejadian itu sendiri. Dalam kesadaran itu, suatu proyeksi diambil tidak bersumber dari pengulangan kisah, tetapi dari pemodelan (matematis) yang memungkinkan penilaian berbasis bukti. Di sini, waktu menjadi dimensi yang dibuka, bukan dilipat kembali. Tidak ditarik untuk menegaskan makna, tetapi digunakan untuk mengevaluasi kemungkinan dan menyiapkan alternatif. Dalam logika ini, pengetahuan yang baik adalah yang mampu mempercepat waktu respons, bukan memperpanjang waktu kontemplasi.

Dengan demikian, dari perspektif ilmu, struktur waktu dalam pengetahuan setempat, meski kaya secara simbolik dan penting dalam konteks kultural, menghadapi keterbatasan signifikan ketika harus diintegrasikan dalam sistem pengetahuan yang dituntut untuk adaptif, akurat, dan efisien. Sains tidak sedang menghapus makna waktu sebagai pengalaman manusia, tetapi mengingatkan bahwa dalam banyak situasi, terutama yang menyangkut keselamatan, ekologi global, dan teknologi, waktu tidak bisa hanya dirasakan—ia harus dikuasai. Dan untuk menguasai waktu, kita tidak cukup hanya mengulang; kita harus memproyeksikan, mengkalkulasi, dan bertindak dengan presisi. Dalam dunia yang tidak lagi sabar menunggu, epistemologi tentang waktu harus bergeser dari ritme ke kecepatan, dari ingatan ke perhitungan, dari siklus ke skenario.

X:

Harus diakui bahwa kritik dari sudut pandang ilmu terhadap gagasan waktu dalam pengetahuan setempat terlihat demikian meyakinkan, karena dibungkus dalam kerangka efisiensi, akurasi, dan kemampuan prediktif. Kita dengan terus terang dapat mengatakan bahwa di balik argumen tersebut, sesungguhnya bekerja rasionalitas yang didasarkan pada kepercayaan bahwa pengetahuan yang sah adalah pengetahuan yang dapat dipetakan, dihitung, dan dikendalikan secara universal. Kepercayaan inilah yang perlu terus diungkapkan, agar lebih jelas duduk perkaranya. Pengetahuan setempat menyadari sepenuhnya, bahwa setiap ciri yang diajukannya, pada dasarnya diperiksa dengan dalil yang sama, dan karena itu, nada argumentasi sebenarnya juga sama.

Ilmu bisa saja mengklaim dirinya netral. Bisa saja menyatakan dirinya mengambil jarak, agar dapat mengatasi subyektivitas. Namun jika dilihat bagaimana kritiknya terhadap konsep waktu yang menjadi salah satu ciri penting dari pengetahuan setempat maka akan dapat dilihat dengan jelas, apa yang kita sebut di sini sebagai ambisi epistemik. Suatu ambisi yang kita duga ingin menjinakkan segala bentuk pengalaman manusia, bahkan yang tak dapat direduksi menjadi angka atau model, ke dalam kerangka teknokratik yang homogen. Waktu, dalam pandangan ini, bukan lagi medan hidup yang dirasakan dan dialami, melainkan instrumen kendali.

Apa yang disebut “ketepatan waktu intervensi” atau “respons cepat berbasis data” kerapkali mengabaikan bahwa waktu dalam kehidupan manusia tidak hanya berfungsi sebagai variabel teknis, melainkan sebagai ruang makna, ruang pertimbangan, dan ruang keberlangsungan etis. Ketika waktu direduksi menjadi sekadar kecepatan dan kalkulasi, maka dapat dipastikan akan kehilangan dimensi reflektif yang justru esensial dalam menghindari keputusan yang tergesa-gesa dan berakibat jangka panjang. Pengetahuan setempat tidak menolak perubahan, tetapi menolak tergesa-gesa. Tidak memperlambat karena lamban, melainkan karena memahami bahwa tidak semua hal baik jika dipercepat. Dalam dunia yang dibanjiri oleh krisis akibat tindakan instan yang tidak memikirkan konsekuensinya, mungkin justru ritme kontemplatif pengetahuan setempat yang layak didengar.

Lebih dari itu, gagasan bahwa waktu harus dipisahkan dari pengalaman dan diubah menjadi alat ukur yang objektif mencerminkan ambisi modernisme untuk menstandarkan dunia. Pengetahuan setempat menolak bentuk hegemoni semacam itu, dengan satu kesadaran bahwa tidak semua tempat hidup dalam irama yang sama, dan bahwa waktu bukan satuan tunggal yang berlaku di mana-mana. Ada waktu yang merambat perlahan mengikuti musim, waktu yang bergerak menurut peristiwa komunitas, waktu yang bergantung pada relasi sosial dan ekologis. Ketika sains menuntut waktu tunggal demi “koordinasi sistemik”, yang sebenarnya sedang terjadi adalah upaya penyeragaman budaya dengan dalih efisiensi epistemik.

Kritik terhadap waktu siklikal karena dinilai menghambat “kemajuan” memperlihatkan bias progresivisme yang belum selesai merefleksikan diri. Kemajuan bagi siapa? Dalam arah apa? Dengan ukuran apa? Apakah cepat selalu berarti lebih baik? Sejarah peradaban menunjukkan bahwa banyak kerusakan ekologis, disintegrasi sosial, dan krisis kemanusiaan justru terjadi karena kecepatan menjadi nilai itu sendiri, tanpa disertai pertimbangan etis yang matang. Waktu yang dijalani dalam putaran, sebagaimana dalam pengetahuan setempat, memberi ruang bagi keterhubungan, pengakuan pada ritme alam, serta jeda yang memungkinkan manusia tidak hanya bergerak, tetapi mengerti ke mana bergerak dan mengapa.

Ilmu pengetahuan, tentu, memiliki peran penting dalam membaca dinamika dan pola perubahan. Namun menganggap bahwa pengetahuan yang tidak berorientasi pada masa depan sebagai “ketinggalan zaman” adalah bentuk simplifikasi terhadap kompleksitas cara hidup. Waktu tidak hanya tentang ke depan, tetapi juga tentang kedalaman ke belakang, dan ketepatan dalam mengenali momen kini. Dalam pengetahuan setempat, masa lalu bukan beban, melainkan fondasi pengalaman yang mencegah kesalahan diulang. Ini bukan konservatisme epistemik, melainkan, jika boleh dikatakan, adalah suatu kecermatan historis yang menjaga kesinambungan bukan sebagai pengulangan kosong, tetapi sebagai dasar untuk memilih tindakan secara lebih bijak.

Model waktu sains, dengan segala keunggulan kalkulasinya, dapat saja gagal menangkap bagaimana manusia mengalami waktu. Memang bisa memprediksi tren, tetapi tidak bisa memahami makna kehilangan. Memang bisa mengukur percepatan, tetapi tidak bisa menjawab kapan sebaiknya berhenti. Di sinilah pengetahuan setempat menawarkan sesuatu yang telah lama dikikis: kesadaran bahwa waktu bukan benda yang dapat dimiliki, tetapi medan yang harus dihormati. Dalam komunitas yang hidup berdasarkan waktu alami, keputusan diambil bukan hanya berdasarkan kemungkinan, tetapi juga keselarasan. Tidak semua tindakan tepat dilakukan hanya karena secara teknis mungkin; ada waktu yang tepat bukan karena algoritma, tetapi karena relasi antara manusia, alam, dan sejarahnya menemukan momen perjumpaan.

Maka ketika ada klaim bahwa waktu harus dikuasai, kita perlu bertanya ulang: siapa yang menguasai? Dengan tujuan apa? Dan apa yang dikorbankan dalam proses penguasaan itu? Waktu yang diukur dan dikendalikan adalah waktu yang tunduk pada logika produksi, manajemen, dan prediksi. Ia berguna dalam laboratorium, tetapi belum tentu mencukupi dalam kehidupan yang dijalani bersama tanah, cuaca, dan ingatan. Pengetahuan setempat tidak ingin menguasai waktu, karena menyadari bahwa dalam banyak hal, manusialah yang harus menyesuaikan diri pada waktu, bukan sebaliknya.

Dengan demikian, kritik terhadap waktu setempat yang bersiklus dan historis justru menunjukkan keterbatasan paradigmatik, yang terlalu percaya diri pada kemampuan mengontrol segala hal. Dunia tidak sepenuhnya dapat dikalkulasi. Waktu tidak sepenuhnya dapat dipercepat tanpa kehilangan sesuatu yang berharga. Dalam kesadaran inilah pengetahuan setempat menyimpan kebijaksanaan. Sekali lagi, bukan karena menolak ilmu atau mengingkari pencapaian ilmu, tetapi karena tahu bahwa tidak semua yang bisa dihitung layak dijadikan dasar bertindak, dan tidak semua yang penting bisa dikuantifikasi. Di saat dunia dilanda kelelahan karena ritme yang tak henti memaksa bergerak, waktu setempat hadir sebagai ajakan untuk diam sejenak, mendengar yang lampau, dan menimbang ulang arah langkah. Itu bukan kemunduran, tetapi cara lain untuk melangkah.

Z:

Berbeda pada percakapan sebelumnya, kali perdebatan tidak terlalu tajam. Meskipun memang tidak dapat ditutupi bahwa di balik yang diucapkan, ketegangan tidak mereda. Dalam konteks percakapan kali ini, sangat terlihat bagaimana dua horizon saling mengungkapkan diri dalam memperlihatkan pemahamannya tentang bagaimana manusia memahami perubahan, kesinambungan, dan tanggung jawab terhadap dunia yang dihuni. Keduanya, dengan cara masing-masing, menyentuh soal yang sangat mendasar: bagaimana waktu dipahami, dialami, dan digunakan untuk mengarahkan tindakan. Satu pihak menekankan waktu sebagai entitas yang dapat diukur, diprediksi, dan dikuasai demi ketepatan intervensi, pihak lain mengajukan waktu sebagai pengalaman yang dialami dalam siklus yang kaya makna dan keterhubungan. Bagi kita, di balik percakapan tersebut, terdapat ruang untuk pembacaan yang lebih mendalam terhadap substansi yang sedang dipertaruhkan: bukan mana waktu yang lebih benar, melainkan apa peran waktu dalam membentuk cara tahu dan cara hidup.

Ilmu berpijak pada kepercayaan bahwa waktu harus dipahami sebagai garis berkesinambungan yang bergerak maju, terbagi dalam unit-unit yang presisi, dan dapat digunakan sebagai dasar untuk analisis sebab-akibat maupun simulasi masa depan. Pandangan ini membawa keunggulan besar dalam konteks manajemen risiko, perencanaan, dan pengambilan keputusan dalam sistem sosial dan ekologis yang kompleks. Dalam krisis seperti perubahan iklim, epidemi, atau bencana teknologi, kemampuan untuk merespons cepat, menghitung konsekuensi, dan merumuskan proyeksi menjadi tidak terhindarkan. Di sini, waktu tidak cukup jika hanya dirasakan. Waktu, dalam pengertian ini harus dapat “dikendalikan” agar dapat dilibatkan dalam sistem koordinasi yang luas dan efisien.

Pada sisi yang lain, pengetahuan setempat, menempatkan waktu bukan sebagai yang berdiri di luar kehidupan untuk dimanipulasi. Akan tetapi sebagai bagian dari jaringan relasi antara manusia, alam, dan pengalaman kolektif. Dalam logika ini, waktu bersifat kualitatif: ditentukan bukan oleh panjangnya durasi, tetapi oleh kedalaman keterlibatan. Panen tidak dilakukan karena kalender mengatakan waktunya tiba, tetapi karena tanda-tanda ekologis—warna daun, pola angin, suara burung, telah menunjukkan kesiapan. Perlu digarisbawahi di sini bahwa kritik terhadap sains dari sudut pandang ini bukanlah penolakan terhadap pengetahuan modern, melainkan penolakan terhadap reduksi pengalaman waktu menjadi sistem kuantitatif yang buta terhadap konteks dan makna. Ketergesaan dalam bertindak, secepat dan setepat apa pun, tidak menjamin kebijaksanaan.

Sebagai pihak yang berada diluar keduanya, kita memilih untuk tidak berpihak secara penuh pada salah satu kubu. Kita melihat bahwa keduanya memiliki nilai masing-masing. Namun di samping itu, kita juga melihat adanya potensi dimana keduanya menyimpan kelemahan yang sebenarnya dapat saling melengkapi. Ilmu memiliki kapasitas teknis yang luar biasa dalam mengolah waktu sebagai data. Ilmu mampu menciptakan sistem yang memungkinkan prediksi dan koordinasi global. Tetapi harus diakui pula bahwa sains cenderung mengabsolutkan model linier dan progresif dari waktu, serta mengasumsikan bahwa semua tindakan harus dilakukan dengan percepatan dan efisiensi sebagai standar kebenaran. Akibatnya, mudah kehilangan kedalaman historis dan dimensi etis dari waktu yang dialami komunitas.

Sebaliknya, pengetahuan setempat mengajarkan bahwa waktu memiliki ritme yang tidak bisa diseragamkan. Dalam dunia setempat, tidak ada satu masa yang cocok untuk semua. Waktu adalah hasil dari keterlibatan, dari mendengarkan dunia, dan dari kesabaran untuk menunggu tanda-tanda yang tidak bisa dipercepat. Namun dalam mempertahankan siklus dan kesinambungan, pengetahuan setempat kadang terlalu hati-hati terhadap perubahan. Ada potensi menjadi eksklusif, atau tertutup terhadap urgensi-urgensi baru yang tidak bisa dijawab hanya dengan ritus dan pengulangan. Artinya, pengetahuan setempat belum selalu menyediakan mekanisme untuk menghadapi kejutan-kejutan sistemik dalam skala besar.

Apa yang dapat ditawarkan di sini adalah suatu pembacaan ulang: bahwa waktu tidak harus dipahami secara dikotomis antara linier dan siklikal, antara kuantitatif dan kualitatif, antara dikuasai dan dijalani. Yang perlu dipertanyakan bukan hanya bentuk waktu, tetapi fungsi waktu dalam membimbing tindakan. Tindakan tidak bisa dilepaskan dari kepekaan terhadap kapan momen yang paling tepat, dan kepekaan ini bisa berasal baik dari perhitungan prediktif maupun dari keterbukaan terhadap tanda-tanda relasional. Maka, mungkin yang dibutuhkan adalah suatu bentuk rasionalitas waktu ganda: satu yang menghargai kemampuan teknis untuk membaca perubahan dalam jangka panjang, dan satu lagi yang tetap memberi ruang pada kebijaksanaan setempat yang tahu kapan harus menunggu, kapan harus berhenti, dan kapan harus mendengarkan kembali masa lalu.

Dalam dunia yang makin rapuh secara ekologis dan sosial, waktu tidak bisa hanya dijadikan alat untuk mempercepat produksi atau memperbaiki sistem manajemen. Bagi kita, waktu perlu ditempatkan sebagai bagian dari refleksi etis atas arah hidup bersama. Pengetahuan modern perlu meredam nafsunya untuk menguasai waktu, dan pengetahuan setempat perlu memperluas cakrawalanya untuk menghadapi tantangan lintas-kesetempatan. Kita sendiri, harus tetap dalam sikap kritis, agar tidak melihat ini sebagai upaya mencampur keduanya secara dangkal, tetapi sebagai kesempatan untuk mengakui bahwa waktu, dalam seluruh bentuknya, adalah dasar dari pengambilan keputusan yang tidak hanya benar secara teknis, tetapi juga pantas secara manusiawi. Ketika ilmu dan pengetahuan setempat sama-sama mendengarkan satu sama lain dalam mendefinisikan waktu, maka yang lahir bukan hanya koordinasi, tetapi juga kehati-hatian yang berakar dalam tanggung jawab atas dunia yang tak hanya bergerak, tetapi juga perlu terus dipelihara. [Desanomia – 7.5.25 – TM]

One thought on “Dialog (8)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *