Apakah ekonomi desa ada? Jika ada, apa maksud dari ekonomi desa? Apakah yang dimaksud dengan ekonomi desa sebenarnya adalah ekonomi rakyat? Jika memang ekonomi rakyat, maka wujudnya adalah suatu kehidupan ekonomi yang berakar pada pemanfaatan sumber daya lokal dengan karakteristik (1) “tradisional”, (2) berorientasi pada kebutuhan sendiri – cenderung berada dalam kerangka mempertahankan hidup, dan (3) berskala kecil.
Suatu produksi tidaklah dipimpin oleh orientasi surplus. Kalaupun akhirnya terjadi “surplus”, karena keadaan memberikan dukungan dan tidak dikalkulasi sebelumnya, maka kelebihan tersebut akan dilepas: (i) bisa dibagikan kepada keluarga atau handai tolan; (ii) dijual – baik kepada para pedagang atau dibawa ke pasar tradisional.
Barangkali pengertian itulah yang dominan dalam memahami ekonomi rakyat. Yakni ekonomi yang bersifat menjawab kebutuhan, ketimbang mengejar “surplus”. Sifat yang demikian ini, mungkin lebih dekat dengan makna dasar dari ekonomi, yang dapat dikatakan bahwa pada awalnya, makanya lebih merupakan hal-ihwal tentang mata pencarian, atau urusan rejeki. Ekonomi rakyat dibedakan dari ekonomi “dominan”, karena ekonomi “dominan” dipimpin oleh pengejaran surplus, sedangkan ekonomi rakyat, dimaknai sebagai “hanya bertahan hidup”.
Jika demikian, apakah benar bahwa ekonomi desa adalah ekonomi rakyat? Ataukah, ekonomi desa melampaui ekonomi rakyat? Kita ingin mengambil posisi bahwa beberapa ciri dari ekonomi rakyat, memiliki kemiripan dengan ekonomi desa. Ekonomi desa sendiri, lebih kompleks. Dan karena itu, jika ekonomi desa identik dengan ekonomi rakyat, barangkali terlalu menyederhakan. Ekonomi desa, adalah suatu kesadaran bahwa ekonomi ada di dalam ruang hidup masyarakat dan ada dalam ruang ekologi setempat. Memang kalau kita mengatakan demikian, aka nada tuduhan bahwa pemikiran tersebut terlalu romantik, atau tidak sesuai dengan kenyataan.
Jika kita menyatakannya demikian, tentu bukan karena tidak menyadari bahwa perubahan telah berlangsung. Sebaliknya, dengan suatu kesadaran bahwa desa telah ada sebelum negara. Artinya, desa telah hidup dalam periode yang lebih dahulu, dan bukan tidak mungkin di beberapa wilayah, telah berkembang suatu sistem ekonomi, yang membuatnya mampu bertahan hingga kini. Dan kalaupun jika menyebutkan bahwa dengan sistem tersebut desa mampu bertahan, maka hal itu bukan berarti bahwa sistem yang berkembang adalah suatu sistem yang digerakkan oleh tenaga subsisten. Kita hendak mengatakan bahwa tata yang ada di desa, lebih kompleks.
Mengapa? Pertama, karena ekomomi desa memiliki “sarang” yang jelas, yakni desa itu sendiri. Terlebih jika mengingat keberadaan desa yang telah lama, dimana negara sendiri mengakui bahwa keberadaan desa telah lebih dahulu daripada negara, dan karena itu negara mengakui, menghormati dan akan mengingati keberadaan tersebut. Dengan begitu, kita ingin mengatakan bahwa “pergulatan desa dalam mengembangkan mata pencarian” yang berbasis sumberdaya local, telah merupakan menjadi bagian dari keberadaan desa itu sendiri. Kalau desa hingga kini masih bertahan, kenyataan itu memperlihatkan bahwa desa memiliki “daya hidup” yang luar bisa, dan dengan demikian juga ekonomi desa.
Kedua, bahwa oleh karena ekonomi desa “bersarang” di desa, maka dengan sendirinya, ekonomi desa tidak hanya sekedar suatu kegiatan pencarian rejeki, melainkan tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan menjaga keberlangsungan desa. Artinya, ekonomi desa tidak hanya berkedudukan sebagai jalan menciptakan kekayaan (rejeki, sistem produksi menjadi bagian daripadanya), tetapi juga sebagai ruang sosial yang menopang kehidupan komunitas secara kolektif. Tentu hal ini dimungkinkan karena komunitas pada dirinya memiliki komitmen untuk menjaga desa, dengan cara membangun relasi yang tidak semata-mata relasi ekonomi, namun lebih utama relasi sosial-budaya. Relasi itulah yang menjadi faktor kunci dari keberlangsungan desa sebagai institusi sosial-budaya.
Ketiga, meskipun kini beberapa desa, atau mungkin banyak desa, telah tidak lagi bergantung pada sektor pertanian, terutama daerah pesisir dan yang berbatasan dengan kota-kota besar, namun (tetap) dapat dikatakan bahwa aktivitas ekonomi desa berpusat pada pertanian dan kegiatan yang berhubungan dengannya, seperti peternakan, perikanan, dan perkebunan. Keadaan ini membuat ekonomi desa, dapat dikatakan rentan terhadap perubahan iklim yang dapat memicu gagal panen dan berbagai kejadian lainnya. Ketidakpastian itulah yang membuat ekonomi desa cenderung fluktuatif, dan dalam batas-batas tertentu menjadi sulit untuk diandalkan oleh desa sendiri. Mungkin karena itu pula, desa telah tidak dianggap sebagai masa depan.
Keempat, yang tidak kalah penting, atau bahkan yang paling utama dibandingkan dengan soal ketidakpastian adalah kenyataan bahwa kekayaan yang dapat dihasilkan oleh ekonomi desa tidak besar, alias kecil dan sederhana. Akibatnya, pendapatan tenaga kerja desa, berada di bawah pendapatan para pekerja di kota. Meskipun produksi pertaniaan sepenuhnya berada dalam kendali para petani, namun dalam soal penjualan hasil pertanian, para petani tidak cukup memiliki daya tawar, sehingga harga “komoditas” pertanian pada umumnya tidak memberikan keuntungan yang memadai, dan tidak jarang justru merugi. Terutama karena pada masa panen raya, harga justru anjlok. Kendati pemerintah telah berusaha menahan dengan memberikan ketentuan-ketentuan, namun dalam praktek tetap tidak banyak membantu mendongkrak pendapatan para petani.
Empat hal tersebut, tentu hanya sebagian dari banyak faktor yang membentuk ciri atau karakter dari ekonomi desa. Beberapa yang lain misalnya, terkait dengan kenyataan bahwa orang desa pada umumnya hidup sederhana, dan bahkan kualitas hidupnya masih berada dalam kategori “sederhana” atau sangat sederhana. Pada sisi yang lain, meskipun tidak terungkap secara jelas, namun dapat dikatakan bahwa di desa masih dapat ditemukan mereka yang menganggur atau setengah menganggur, baik karena kerja pertanian bersifat musiman, ataupun karena ketrampilan yang kurang memadai untuk bekerja di luar sektor pertanian. Hendak dikatakan di sini bahwa kehidupan ekonomi desa sangat kompleks, dengan tantangan yang mencakup kemiskinan, pengangguran, ketimpangan sosial, dan ketergantungan pada pertanian tradisional.
Dengan pengertian yang demikian itu, dapat dikatakan bahwa ekonomi desa, memang tidak bisa disederhanakan sebagai ekonomi rakyat. Suatu sistem yang kompleks, yang dapat digambarkan sebagai: Pertama, bahwa ekonomi desa pada dasarnya merupakan manifestasi dari kebutuhan hidup yang mendasar. Pada hakikatnya, ekonomi desa berangkat dari upaya memenuhi kebutuhan dasar manusia dan komunitas: pangan, sandang, dan papan. Namun, tidak seperti ekonomi modern yang berorientasi pada pertumbuhan untuk pertumbuhan, ekonomi desa lebih menekankan pada konsep kecukupan, keadilan, dan keberlanjutan. Sangat mungkin pandangan ini dianggap tidak sesuai dengan kenyataan, terutama karena “ide pertumbuhan” telah masuk sangat jauh, dan memberi pengaruh pada perilaku ekonomi komunitas.
Kedua, bahwa ekonomi desa tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan tarik-menarik kepentingan yang berada di luar kapasitas desa untuk meresponnya. Katakan saja jika di desa tersebut merupakan wilayah dimana suatu tambang strategis berada. Pertanyaan sederhananya, apakah desa akan bertahan atau dipertahankan? Ataukah, akan ada tindakan atas nama “kepentingan yang lebih besar”, yang membuat desa harus menerima jika terjadi perubahan mandasar atas hidup dan kehidupannya. Jika hal tersebut yang terjadi maka hampir pasti ekonomi desa akan mengalami perubahan. Dan bukan tidak mungkin akan lenyap. Tentu kasus tersebut, hanya satu contoh dari tekanan yang dihadapi desa. Contoh yang lebih dekat adalah bekerjanya ekonomi uang, dan proses integrasi desa ke dalam mata rantai ekonomi global. Kesemuanya itu berpotensi mengubah ekonomi desa.
Apa yang diubah? Bukan hanya prakteknya, akan tetapi pertama-tama adalah kesadarannya. Bahwa ekonomi yang berkembang, bukan lagi ekonomi yang berbasis kesadaran akan posisinya yang berada dalam ruang sosio-ekologi setempat, melainkan akan “tercerabut” dari akar ruang hidup tersebut, dan menjadi ekonomi yang berjalan tidak mengikuti ketentuan “kesetempatan”. Keadaan tersebut sebenarnya bukan hanya “mencerabut” ekonomi, akan tetapi seluruh kehadiran desa. Artinya, meskipun kata desa tetap dipertahankan, akan tetapi kata tersebut bukan lagi rumah dari kesadaran sosio-ekologi setempat, melainkan rumah bagi entitas lain, yang “ada” untuk mengejar surplus, dan tidak peduli dengan keadaan ekologi setempat. Pada titik inilah ekonomi desa dihadirkan, sebagai sebuah kesadaran. [Desanomi – 03.25. TM]