sumber ilustrasi: unsplash
25 Apr 2025 07.50 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Kita berasumsi bahwa ekonomi, bukan arena eksklusif, melainkan arena publik. Artinya, siapa saja punya kesempatan yang sama untuk membuat refleksi atas keadaan ekonomi, terlebih karena dampak sosial (publik) atas kinerja ekonomi. Justru dengan eksplorasi pandangan publik, akan terbuka horizon yang lebih luas, sehingga bukan saja terbuka kemungkinan-kemungkinan baru dalam mengatasi masalah ekonomi, namun juga terbuka untuk pertama-tama membuat rumusan masalah yang lebih akurat.
***
Belum lama ini otoritas keuangan menyampaikan, bahwa pemerintah akan terus menarik utang baru secara hati-hati dan terukur dengan memperhatikan proyeksi defisit APBN 2025. Pemerintah telah menarik utang baru sebesar Rp 250 triliun sejak Januari hingga akhir Maret 2025. Jumlah tersebut setara dengan 40,6 persen dari total target pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang ditetapkan Rp 775,9 triliun.
Realisasi penarikan utang yang tinggi sejak awal tahun itu merupakan strategi front loading (penarikan utang di awal) yang diambil pemerintah di tengah ekonomi global yang semakin tidak pasti. Terutama setelah Amerika Serikat menerapkan tarif impor tinggi terhadap puluhan negara. (Kompas.id., 24 Apr 2025 18:28 WIB)
Pernyataan tersebut cukup jelas. Kendati hanya potongan berita, namun dapat dilihat beberapa hal yang penting, dan mungkin mendasar, yakni: (1) bahwa utang secara nyata telah menjadi bagian dari ekonomi kita, bahkan dapat dikatakan telah menjadi salah satu andalan dalam mengatasi utang (lama) dan pembiayaan pembangunan; (2) bahwa ekonomi kita hari-hari ini, berada dalam tekanan, dan oleh sebab itu, digunakan apa yang disebut oleh otoritas sebagai strategi front loading. Untuk menjaga agar tidak ada salah persepsi, otoritas menjelaskan bahwa penarikan utang baru dalam jumlah besar pada awal tahun bukan karena negara tidak memiliki penerimaan yang mencukupi untuk memenuhi belanja, melainkan untuk mengantisipasi gejolak pasar keuangan dunia akibat perang tarif; dan (3) bahwa dari situ pula, secara implisit termuat pesan bahwa situasi eksternal (perang tarif), akan mempengaruhi ekspor kita.
Informasi dari otoritas keuangan yang disampaikan dengan sangat terukur tersebut, dapat dipahami sepenuhnya, karena memang dalam konstelasi ekonomi dewasa ini, issue menjadi salah satu faktor yang tidak bisa diabaikan. Mengapa? Karena issue dapat memicu persepsi tertentu, dan bukan tidak mungkin persepsi tersebut akan memberi pengaruh pada pasar. Oleh sebab itulah, otoritas keuangan secara konsisten dan terukur, terus menyampaikan pesan ke publik, bahwa ekonomi dalam satu dekade ini memperlihatkan stabilitas. Fiskal dikelola secara kredibel. Meskipun pertumbuhan ekonomi belum bisa meroket, atau belum mampu mencapai angka delapan persen sebagaimana yang dijanjikan, namun tetap “terjaga” berada di kisaran lima persen. Inflasi relatif terjaga. Neraca perdagangan mencatat surplus, terutama berkat ekspor komoditas primer. Dan seterusnya.
Publik tentu memahami pentingnya stabilitas. Mengapa? Karena tanpa stabilitas, ekonomi akan mudah terguncang, terlebih jika otoritas politik menggunakan ekonomi sebagai peralatan dalam melakukan konsolidasi politik. Akan tetapi, kesadaran akan pentingnya stabilitas, tentu tidak mengurangi hak publik untuk mengetahui lebih dalam, apakah yang tampak di permukaan, sepenuhnya mencerminkan apa yang ada di bawah permukaan? Apakah di balik stabilitas makro yang tampak di permukaan, tersembunyi masalah struktural yang jauh lebih dalam? Dengan optik yang berbeda, akan terbaca: pertumbuhan yang stagnan, ketergantungan pada arus modal asing, pembiayaan fiskal yang rapuh, dan lemahnya strategi industrialisasi telah membentuk fondasi ekonomi yang tidak berkelanjutan. Para ahli, barangkali akan menunjukkan bahwa masalah-masalah tersebut, salah satunya dipicu oleh adanya ketergantungan pada tiga pilar utama yang menopang struktur ekonomi, yakni: ekspor komoditas, konsumsi domestik, dan pembiayaan utang. Ketiga pilar ini tidak secara inheren buruk, tetapi dalam praktiknya, ketiganya tidak menopang transformasi struktural yang diperlukan untuk membangun ketahanan ekonomi jangka panjang.
Ekspor komoditas merupakan sumber utama devisa dan surplus perdagangan. Namun, struktur ekspor Indonesia masih sangat bergantung pada komoditas mentah seperti batu bara, kelapa sawit, dan nikel, yang semuanya rentan terhadap fluktuasi harga global. Absennya rantai pasok industri yang kuat membuat ekspor hanya menjadi saluran pelepasan nilai tambah ke luar negeri. Ketika harga komoditas tinggi, ekonomi tampak sehat; tetapi ketika harga jatuh, fondasi yang lemah segera terlihat. Ketergantungan ini juga menyebabkan ekspor tidak mendorong pembentukan kapasitas produksi domestik secara sistemik. Sebagian dari kita mengatakan bahwa keadaan tersebut disebabkan telah terjadinya perubahan, yakni yang sebelumnya mengandalkan barang industri berpindah kepada komoditas primer. Meskipun mungkin tidak didesain berkelanjutan, namun secara faktual mengakibatkan perdagangan komoditas primer akan lebih menguntungkan ketimbang membangun industri – belum lagi jika dikaitkan dengan “biaya ekonomi tinggi”.
Sementara itu, konsumsi domestik menjadi motor utama pertumbuhan PDB. Namun pertumbuhan konsumsi ini tidak diikuti oleh pertumbuhan pendapatan riil atau produktivitas tenaga kerja yang signifikan. Sebaliknya, konsumsi didorong oleh ekspansi belanja negara, subsidi, dan insentif fiskal yang bersifat jangka pendek. Konsumsi meningkat, tetapi tidak menghasilkan efek pengganda dalam bentuk investasi baru atau peningkatan kapasitas produksi. Yang terjadi justru pembentukan pertumbuhan yang bersifat nominal, dangkal, dan mudah terguncang oleh tekanan eksternal. Hal ini pula yang menjelaskan mengapa kebijakan efisiensi yang dijalankan otoritas telah langsung memberi dampak pada masyarakat. Sebagian analisis mengatakan turunnya pemudik, dan kelesuan ekonomi yang berkembang, salah satunya disebabkan oleh kebijakan efisiensi.
Pilar ketiga adalah pembiayaan utang yang semakin dominan dalam struktur fiskal. Defisit APBN dibiayai terutama melalui penerbitan Surat Berharga Negara, yang dalam beberapa waktu terakhir menunjukkan kenaikan yield signifikan. Hal ini menandakan bahwa pasar menilai risiko fiskal Indonesia meningkat, terutama karena utang digunakan bukan untuk pembiayaan investasi produktif, tetapi untuk belanja rutin dan konsumsi fiskal. Dalam situasi ini, utang menjadi alat stabilisasi jangka pendek, bukan sebagai instrumen pembangunan jangka panjang. Intervensi Bank Indonesia yang membeli SBN dalam jumlah besar di pasar sekunder untuk menjaga stabilitas pasar menunjukkan bahwa permintaan terhadap instrumen keuangan negara mulai melemah di kalangan investor (lihat: BI Borong SBN Rp 80,98 Triliun Demi Jaga Rupiah, cnbcindonesia.com., 23 April 2025 15:18). Apa yang dikhawatirkan adalah bahwa situasi ini mengarah pada risiko fiskal yang lebih besar di masa mendatang.
Sekali lagi, dengan optik yang berbeda, kinerja ketiga pilar tersebut memperlihatkan satu pola yang konsisten: tidak satupun diarahkan untuk membangun kapasitas struktural ekonomi. Ekspor tidak memperkuat industri nasional, konsumsi tidak meningkatkan produktivitas, dan utang tidak digunakan untuk mendorong transformasi ekonomi. Hasilnya adalah struktur ekonomi yang bekerja secara administratif dan makro, tetapi tidak membentuk ketahanan atau daya saing jangka panjang. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa masalah ekonomi kekinian tidaklah terletak pada angka defisit yang tinggi atau pertumbuhan yang rendah (stagnan), tetapi pada absennya visi struktural yang berorientasi pada pembentukan basis ekonomi yang produktif, otonom, dan berkelanjutan. Ketika kebijakan ekonomi hanya diarahkan untuk menjaga stabilitas jangka pendek, sementara pilar-pilar fondasinya tidak diperkuat, maka ekonomi menjadi rapuh terhadap guncangan eksternal dan kehilangan kepercayaan dari pelaku pasar. Lebih jauh itu, formasi yang demikian, akan sangat sulit membangun masyarakat adil dan makmur, yang merupakan perintah konstitusi. Persis pada bagian akhir, kita dapat membuat refleksi lebih jauh dan mendalam, dengan mengajukan pertanyaan substantial: dimana “yang sosial” dalam keseluruhan bangunan ekonomi? [Desanomia – 25.4.25 – TM]