Sumber ilustrasi: Freepik
9 Oktober 2025 11.10 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Ekonomi pembangunan selama beberapa dekade telah menjadi kerangka utama dalam mengarahkan kebijakan negara dan strategi global untuk mencapai kesejahteraan. Didasarkan pada asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi akan mengalirkan manfaat ke seluruh lapisan masyarakat, pendekatan ini menggabungkan peningkatan output, perluasan infrastruktur, serta modernisasi sektor produksi sebagai tolok ukur kemajuan. Dalam penerapannya, indikator makro seperti produk domestik bruto (PDB) dan produk nasional bruto (GNP) digunakan untuk menilai keberhasilan suatu negara dalam mencapai tujuan pembangunan.
Namun, dalam beberapa waktu terakhir, muncul gejala-gejala yang menunjukkan semakin menjauhnya antara asumsi dasar pembangunan dan realitas sosial-ekonomi. Pertumbuhan PDB yang tetap berlangsung tidak selalu dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan mayoritas warga. Ketimpangan pendapatan dan konsentrasi kekayaan justru meningkat, sementara sebagian besar populasi tidak mengalami perbaikan nyata dalam taraf hidup. Angka-angka makro yang terus naik seringkali tidak mencerminkan situasi ekonomi rumah tangga yang sesungguhnya.
Kondisi ketenagakerjaan mengalami tekanan struktural yang serius. Meningkatnya jumlah pekerja paruh waktu, informal, dan setengah menganggur menunjukkan bahwa sistem produksi formal tidak mampu menyerap angkatan kerja secara layak. Lapangan kerja yang tersedia lebih banyak berada di sektor jasa berupah rendah, dengan jam kerja tidak penuh dan tanpa jaminan sosial. Sementara itu, sektor manufaktur, yang selama ini dianggap sebagai tulang punggung transformasi struktural, terus menunjukkan tanda-tanda kontraksi.
Di tengah keterbatasan serapan tenaga kerja, konsumsi rumah tangga menurun. Daya beli masyarakat melemah karena pendapatan stagnan dan harga kebutuhan pokok terus meningkat. Situasi ini diperburuk oleh banjirnya barang impor murah yang menekan produk lokal dan mempersulit pertumbuhan usaha kecil dan menengah. Ketergantungan terhadap barang konsumsi dari luar negeri memperbesar defisit neraca perdagangan dan menekan stabilitas ekonomi domestik.
Ruang fiskal semakin terbatas. Belanja negara dihadapkan pada beban tetap yang besar, sementara kemampuan untuk meningkatkan penerimaan pajak terbentur pada struktur ekonomi yang tidak inklusif. Sebagian besar kegiatan ekonomi rakyat tidak tercatat dan tidak terhubung dengan sistem perpajakan. Dalam situasi ini, kebijakan fiskal kehilangan efektivitasnya sebagai alat intervensi yang mampu mendorong pertumbuhan dan pemerataan secara bersamaan.
Instrumen moneter pun menghadapi keterbatasan. Suku bunga dan likuiditas yang dikelola bank sentral tidak secara otomatis mampu memulihkan sektor riil. Sementara perbankan menghadapi fenomena kredit menganggur dalam jumlah besar, pelaku usaha memilih untuk menunda ekspansi karena ketidakpastian pasar. Kondisi global turut memperumit situasi, dengan tekanan dari arus modal asing, fluktuasi nilai tukar, dan ketidakpastian geopolitik.
Produksi nasional tidak berkembang secara merata di seluruh wilayah. Konsentrasi ekonomi terjadi di kawasan-kawasan tertentu, sementara daerah lain tertinggal tanpa infrastruktur pendukung. Akses terhadap pasar, modal, dan teknologi masih sangat terbatas bagi pelaku usaha di lapisan bawah. Akibatnya, kesenjangan antarwilayah dan antarkelompok sosial semakin lebar, dan dinamika ekonomi hanya dirasakan oleh kelompok tertentu.
Kepercayaan masyarakat terhadap sistem ekonomi formal menunjukkan kecenderungan menurun. Ketika lapangan kerja layak tidak tersedia, harga-harga tidak stabil, dan intervensi negara dianggap tidak menyentuh kebutuhan nyata, sebagian besar warga mengalami keterputusan dari struktur ekonomi dominan. Pilihan untuk bertahan hidup dilakukan di luar sistem resmi, baik melalui sektor informal, kerja fleksibel, maupun jaringan sosial lokal yang tidak terhubung dengan kebijakan negara.
Struktur konsumsi menunjukkan pergeseran. Barang kebutuhan pokok semakin mendominasi pengeluaran rumah tangga berpendapatan rendah, sementara akses terhadap layanan pendidikan, kesehatan, dan perumahan layak menjadi semakin sempit. Dalam kondisi ini, fungsi ekonomi tidak lagi menjamin pemenuhan kebutuhan dasar secara merata, melainkan menciptakan stratifikasi dalam akses dan kualitas layanan publik.
Sektor keuangan tumbuh lebih cepat dibandingkan sektor produksi. Aktivitas investasi lebih banyak diarahkan pada instrumen keuangan dibandingkan pengembangan kapasitas produksi nyata. Kesenjangan antara akumulasi modal dan penciptaan nilai nyata menyebabkan terjadinya dislokasi antara uang dan kerja. Sementara dana tersedia dalam sistem perbankan, mekanisme penyalurannya ke sektor produktif mengalami hambatan.
Angka kemiskinan mengalami peningkatan menurut standar internasional yang lebih sensitif terhadap daya beli riil. Sementara data nasional menunjukkan penurunan kemiskinan ekstrem, ukuran baru memperlihatkan bahwa sebagian besar penduduk hidup di bawah standar penghidupan layak. Perbedaan ini mengindikasikan adanya ketimpangan dalam definisi, pemetaan, dan penanganan persoalan kemiskinan.
Kehadiran barang-barang luar negeri dalam berbagai sektor konsumsi memperlihatkan lemahnya posisi produksi domestik dalam rantai pasok global. Ketergantungan pada impor menyebabkan rentannya harga terhadap fluktuasi eksternal dan mengurangi kesempatan bagi sektor lokal untuk berkembang. Di sisi lain, kualitas barang lokal yang tidak kompetitif menunjukkan bahwa kebijakan industrialisasi belum berhasil menciptakan ekosistem produksi yang tangguh.
Ketidakstabilan harga bahan baku dan energi semakin memperberat beban produsen. Biaya produksi yang tinggi tidak selalu dapat diteruskan kepada konsumen karena lemahnya daya beli. Hal ini menyebabkan stagnasi produksi dan penurunan kapasitas utilisasi sektor riil. Produsen menghadapi dilema antara menjaga kelangsungan usaha dan mempertahankan daya saing harga di pasar.
Distribusi subsidi menjadi isu penting dalam ruang fiskal yang menyempit. Program bantuan sosial yang bersifat luas mulai dievaluasi efektivitasnya, sementara subsidi sektor strategis seperti energi dan pangan menyerap porsi besar dari anggaran. Pertanyaan mengenai ketepatan sasaran, efisiensi, dan dampak jangka panjang subsidi semakin mengemuka dalam perdebatan publik dan kebijakan.
Ketika seluruh variabel tersebut terjadi secara simultan—dari stagnasi produksi, krisis ketenagakerjaan, hingga kontraksi konsumsi—ekonomi tidak hanya mengalami perlambatan, melainkan juga kehilangan fungsi sosialnya sebagai pengatur kehidupan bersama. Kondisi ini menandai keterbatasan struktural dari pendekatan pembangunan yang telah berlangsung selama beberapa dekade. Kehidupan ekonomi tidak lagi dipandu oleh relasi produktif yang menyeluruh, tetapi oleh mekanisme-mekanisme teknis yang kehilangan keterhubungan dengan kenyataan sosial. Apakah kesemuanya ini dapat dikatakan sebagai signal akan perlunya suatu pendekatan baru? [desanomia – 091025 – dja]