Sumber ilustrasi: pixabay
4 Mei 2025 10.00 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Desanomia [04.5.2025] Sebuah studi baru yang dilakukan oleh peneliti dari Universitas Potsdam, Jerman, telah memberikan jawaban atas salah satu pertanyaan besar dalam ilmu iklim: bagaimana hubungan suhu dengan peningkatan curah hujan ekstrem, terutama dalam konteks perubahan iklim global. Isu ini telah diperdebatkan selama hampir dua dekade, sejak munculnya studi dari Belanda pada tahun 2008 yang menyatakan bahwa peningkatan hujan ekstrem akibat suhu jauh lebih besar dari yang diperkirakan oleh teori klasik.
Dalam ilmu atmosfer, hujan terbentuk saat uap air di atmosfer mencapai titik jenuh dan mengembun menjadi tetesan air. Teori fisika yang dikenal sebagai hubungan Clausius-Clapeyron menyatakan bahwa untuk setiap kenaikan suhu satu derajat Celsius, udara mampu menahan sekitar 7% lebih banyak uap air. Ini menyebabkan peningkatan potensi hujan ekstrem, dan sering dianalogikan seperti spons yang semakin banyak menyerap air saat lebih hangat, lalu melepaskannya dalam jumlah besar ketika diperas.
Namun, pada tahun 2008, Lenderink dan van Meijgaard dari Belanda menganalisis data jangka panjang dan menemukan bahwa dalam kasus hujan badai, peningkatan intensitas bisa mencapai 14% per derajat Celsius, dua kali lipat dari prediksi Clausius-Clapeyron. Temuan ini menimbulkan perdebatan luas karena jika benar, maka risiko banjir akibat perubahan iklim akan jauh lebih besar dari perkiraan saat ini.
Selama 17 tahun sejak publikasi studi tersebut, berbagai penelitian telah mencoba menguji atau menantang kesimpulan tersebut, namun tidak ada yang mampu secara tegas mengonfirmasi atau membantahnya. Salah satu kendala utama adalah sulitnya memisahkan secara statistik berbagai jenis curah hujan yang memiliki karakteristik sangat berbeda, seperti hujan stratiform yang merata dan berlangsung lama, dan hujan badai yang intens serta berlangsung singkat.
Dalam studi terbaru ini, para peneliti menggunakan dataset curah hujan resolusi tinggi dari Jerman, yang memungkinkan analisis presisi pada skala waktu sangat pendek. Dataset ini kemudian dikombinasikan dengan data deteksi petir yang baru, yang berfungsi sebagai indikator langsung aktivitas badai petir. Dengan metode ini, tim peneliti dapat memisahkan dengan akurat hujan akibat badai petir dari hujan stratiform biasa.
Hasilnya sangat mencolok. Ketika hujan badai dianalisis secara terpisah, tren peningkatan ekstrem terhadap suhu hampir sepenuhnya konsisten dengan prediksi Clausius-Clapeyron, yakni sekitar 7% per derajat. Hal yang sama juga ditemukan pada hujan stratiform. Hanya ketika kedua jenis hujan digabung dalam analisis statistik, muncul peningkatan ekstrem yang jauh lebih tinggi, sebagaimana yang ditemukan oleh studi Belanda sebelumnya. Para peneliti menyimpulkan bahwa peningkatan “super-Clausius-Clapeyron” ini adalah hasil dari superposisi statistik semata, bukan refleksi dari mekanisme fisik yang berbeda.
Meski temuan ini secara ilmiah berhasil menyelesaikan kontroversi lama, studi tersebut juga menekankan sisi praktis yang tetap perlu diwaspadai. Dalam kenyataan atmosferik, hujan ekstrem yang paling berbahaya seperti banjir bandang seringkali berasal dari sistem awan campuran yang mengandung elemen stratiform dan badai petir sekaligus. Oleh karena itu, meskipun peningkatan ekstrem yang lebih tinggi bukan berasal dari satu jenis hujan, efek gabungannya tetap menghasilkan curah hujan intens yang sangat berisiko.
Para peneliti juga menyoroti bahwa dalam konteks perubahan iklim yang diproyeksikan akan terus meningkatkan suhu global dalam beberapa dekade ke depan, risiko terhadap infrastruktur dan keselamatan manusia bisa meningkat tajam. Dampaknya diperkirakan akan paling terasa di daerah perkotaan yang memiliki kerentanan tinggi terhadap limpasan air dan keterbatasan sistem drainase.
Buah Pikiran
Studi ini menunjukkan bahwa sains tidak hanya bergantung pada data, tetapi juga pada ketelitian metodologi dalam membedakan fenomena fisik yang kompleks. Dengan memisahkan jenis hujan berdasarkan indikator yang relevan seperti petir, peneliti berhasil mengembalikan kepercayaan terhadap teori dasar atmosferik yang telah digunakan selama lebih dari satu abad. Kejelasan ini sangat penting untuk merancang model iklim yang akurat dan kebijakan mitigasi yang berbasis bukti.
Meski demikian, hasil penelitian ini juga menyadarkan bahwa ancaman hujan ekstrem tidak serta-merta berkurang hanya karena kontroversi teoretis telah diselesaikan. Realitasnya, jenis hujan yang paling berisiko tetap akan meningkat intensitasnya dalam skenario pemanasan global. Penting bagi kita untuk memperkuat sistem peringatan dini, memperbarui infrastruktur drainase, dan mengembangkan strategi adaptasi perkotaan guna mengurangi dampak dari peristiwa cuaca ekstrem yang kian tak terelakkan. (NJD)
Sumber: ScienceDaily
Link: https://www.sciencedaily.com/releases/2025/04/250428221220.htm