Sumber ilustrasi: Wikimedia Commons
28 Juli 2025 15.15 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Desanomia [28.07.2025] Kabul, ibu kota Afghanistan, berada di ambang krisis air bersih yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah kota modern. Kota ini menghadapi penurunan cadangan air tanah yang signifikan dan terus berlangsung akibat berbagai tekanan lingkungan dan sosial. Dalam laporan terbaru dari organisasi kemanusiaan Mercy Corps, disebutkan bahwa sistem air tanah di Kabul sedang menuju titik kolaps, yang dapat menjadikan kota ini sebagai ibu kota pertama di era modern yang benar-benar kehabisan air.
Populasi Kabul yang kini mencapai sekitar 5 hingga 6 juta jiwa mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses terhadap air bersih yang terjangkau. Laporan tersebut juga menyoroti bahwa sekitar separuh dari sumur bor di Provinsi Kabul telah mengering, menunjukkan tingkat pengambilan air tanah yang jauh melampaui kemampuan alam untuk mengisinya kembali.
Kekeringan ekstrem yang terjadi di Kabul bukan semata-mata disebabkan oleh faktor alam. Laju urbanisasi yang tidak terkendali, pengelolaan sumber daya air yang buruk, dan penurunan bantuan kemanusiaan sejak kembalinya kekuasaan Taliban pada Agustus 2021 turut memperburuk keadaan. Mercy Corps menyebut bahwa tanpa perubahan besar dalam pengelolaan air, Kabul berisiko mengalami bencana kemanusiaan dalam waktu dekat.
Setiap tahunnya, Kabul mengalami defisit air tanah sekitar 44 juta meter kubik. Akuifer kota telah mengalami penurunan kedalaman sekitar 30 meter dalam satu dekade terakhir. Akibatnya, warga kota terpaksa mengalokasikan hingga 30% dari pendapatan mereka hanya untuk membeli air bersih.
Mohammed Mahmoud, seorang ahli kebijakan air dan iklim dari United Nations University, menyatakan bahwa situasi ini mencerminkan sistem air yang sedang runtuh. Ia menyoroti fakta bahwa eksploitasi air kini melebihi tingkat pengisian ulang alami dengan selisih puluhan juta meter kubik per tahun, yang menunjukkan krisis struktural jangka panjang. Selain itu, penurunan tajam permukaan air tanah juga berimplikasi pada kesehatan publik, stabilitas ekonomi, dan potensi perpindahan penduduk dalam skala besar.
Meskipun kondisi Kabul tampak ekstrem namun situasi serupa juga terjadi di berbagai belahan dunia. Studi tahun 2016 yang diterbitkan dalam Scientific Reports mengungkapkan bahwa antara tahun 1900 hingga 2000-an, jumlah penduduk dunia yang mengalami kelangkaan air meningkat drastis dari 240 juta menjadi 3,8 miliar orang.
Wilayah seperti Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia Selatan berada dalam zona risiko tinggi akibat perubahan iklim dan tekanan populasi. Di Timur Tengah khususnya, pengambilan air tanah yang berlebihan sudah menjadi praktik umum, sementara perubahan pola curah hujan semakin membatasi ketersediaan air tawar. Mahmoud menegaskan bahwa apa yang terjadi di Kabul adalah refleksi dari tren global yang lebih luas: over-ekstraksi air, degradasi lingkungan, dan kelambanan kebijakan.
Kota-kota besar lain juga pernah nyaris mengalami kehabisan air. Cape Town, Afrika Selatan, pada 2018 hampir mencapai “Hari Nol” akibat kekeringan parah. Demikian pula Chennai, India, yang pada 2019 mengalami pengeringan total empat reservoir utamanya, memicu krisis besar dalam distribusi air bersih.
Krisis air di Kabul harus menjadi alarm bagi komunitas global tentang pentingnya tata kelola air yang berkelanjutan. Permasalahan ini tidak sekadar soal lingkungan, tetapi juga berkaitan erat dengan kesehatan masyarakat, ketahanan pangan, dan stabilitas sosial. Kota-kota lain, terutama di wilayah rentan, berpotensi mengalami nasib serupa jika tidak ada investasi besar dalam infrastruktur air, sistem konservasi, dan tata kelola berbasis data ilmiah.
Sebagaimana yang ditekankan oleh Mercy Corps dan para ahli, kebijakan pengelolaan air yang tidak berorientasi jangka panjang hanya akan mempercepat kehancuran sistem yang sudah rapuh. Upaya adaptasi terhadap perubahan iklim harus menjadi prioritas dimana air harus diperlakukan sebagai sumber daya yang tak tergantikan dan bukan sekadar komoditas. (NJD)
Diolah dari artikel:
“Kabul could become the first modern capital to run out of water” oleh Patrick Pester.