Kalender Desa

29 Mei 2025 10.25 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Apa itu kalender? Kamus Bahasa menyebutkan bahwa kalender adalah (1) daftar hari dan bulan dalam setahun; penanggalan; almanak; takwim; dan (2) jadwal kegiatan di suatu perguruan atau lembaga. Dari pengertian ini, dapat dikatakan bahwa kalender merupakan sistem penandaan waktu yang tersusun melalui pembagian hari, minggu, bulan, dan tahun. Fungsi utamanya adalah memberi struktur bagi pengalaman temporal manusia, menjadikan waktu sebagai sesuatu yang dapat dikenali, diatur, dan diantisipasi. Sangat mungkin, bentuk dasar kalender berakar dari pengamatan terhadap siklus alam—pergerakan matahari, bulan, musim, dan fenomena ekologis lain—yang kemudian dikodifikasi ke dalam sistem simbolik untuk keperluan sosial, religius, dan ekonomis. Dengan cara berpikir ini, rasanya sangat logis jika dikatakan bahwa kalender sesungguhnya memiliki sifat kesetempatan atau bersifat lokal.

Apakah benar demikian? Diskusi tentu perlu dibuka selebar-lebarnya. Tentu saja ini mengandaikan bahwa hal tentang kalender, tentang konsep waktu, dan sejarah (sebagaimana yang dibahas dalam edisi lalu – dengan judul Sejarah Desa, 27/5/2025), merupakan obyek kajian publik. Dalam hal sejarah, misalnya, sebagaimana diketahui bahwa sejarah dipahami sebagai perspektif, yang secara demikian, pada dirinya seharusnya memiliki watak terbuka, oleh karena merupakan medan atau ruang pertempuran penapsiran. Yang dimaksudkan dengan ruang dalam konteks sejarah, adalah ruang memori kolektif. Justru dengan keterbukaan dan emansipasi dalam pemikiran, akan memberikan kekayaan pandangan, sedemikian sehingga apa yang lalu, tidak saja tentang yang lalu itu sendiri, melainkan menjadi wahana pematangan kesadaran kolektif. Dasar inilah yang hendak dijadikan landasan dalam memahami tentang apa yang di sini akan dibahas, yakni kalender desa.

***

Atas dasar pengertian sederhana di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa kalender sesungguhnya tidak hanya merepresentasikan waktu, melainkan juga menyusun cara suatu masyarakat menghayati dunia. Mereka yang terlibat dalam segala hal perencanaan, tentu sangat mengerti maksudnya, bahwa inti dari perencanaan adalah waktu, atau “mengatur waktu” – kapan terjadi apa. Dengan lain perkataan bahwa kalender berfungsi sebagai medium epistemologis yang menata pengalaman, membentuk ritme hidup, dan menjadi sarana bagi transmisi nilai serta pengetahuan. Jika kita sempat melakukan studi menyeluruh tentang kalender dari banyak negeri, barangkali akan ditemukan bahwa dalam banyak komunitas, kalender berkembang dari interaksi mendalam antara manusia dan lingkungannya atau manusia atau komunitas dengan realitas sosio-ekologinya, yang secara demikian, kalender menjadi sebagai cermin dari relasi ekologis dan kultural yang khas.

Bahkan mungkin kita dapat mengatakan bahwa dalam lanskap kehidupan komunitas (desa), keberadaan kalender tidak sekadar berfungsi sebagai alat penanda waktu, melainkan sebagai fondasi ontologi dan epistemologisnya, yang menopang ritme hidup bersama. Kalender desa merepresentasikan relasi antara manusia, alam, dan ritus yang membentuk kesinambungan kehidupan. Kehidupan desa tersusun atas siklus kerja, musim, perayaan, dan perenungan, yang kesemuanya tertanam dalam struktur temporal yang tumbuh dari pengalaman lokal. Kalender tersebut lahir dari pengetahuan yang mengendap dalam tubuh komunitas: kapan hujan pertama turun, kapan padi ditanam, kapan waktu bagi desa untuk bersyukur. Dengan demikian, dapat dibayangkan apa yang akan terjadi jika desa tidak memiliki kalendernya sendiri. Jika diperkenankan, mungkin kita akan mengatakan bahwa momen tersebut seperti kesaksian dari hilang cara komunitas desa memahami dan menghayati dunia.

***

Penyelenggaraan kalender yang tidak berakar dari realitas sosio-ekologi desa, tentu akan menjadi tantangan tersendiri. Jelas kalender dimaksud akan tidak selaras dengan ritme lokal, dan dengan demikian berpotensi mengubah struktur waktu yang sebelumnya bersifat kontekstual dan ekologis, menjadi sistem yang seragam, terstandarisasi, dan administratif. Kalender yang tidak berakar dari realitas sosio-ekologi, akan mengatur kerja bukan berdasarkan siklus tanah dan cuaca, melainkan berdasarkan jadwal yang dirancang dari pusat kalender. Waktu menjadi komoditas yang diatur dari luar pengalaman hidup. Dalam struktur seperti ini, kalender setempat atau siklus hidup setempat, tergantikan oleh logika industrial yang menetapkan ritme hidup berdasarkan target dan efisiensi. Struktur kerja, pendidikan, dan bahkan perayaan dipaksa mengikuti irama yang tidak berakar dari kehidupan desa sendiri.

Konsekuensi dari penggantian ini sangat mendalam. Ketika waktu desa sepenuh-penuhnya diatur berdasarkan kalender yang tidak berakar, maka kebermukiman kehilangan landasan eksistensialnya. Desa tidak lagi hadir sebagai ruang keberadaan yang memiliki ritmenya sendiri, melainkan sebagai ruang produksi yang menunggu instruksi temporal dari sistem eksternal. Kehidupan yang sebelumnya tumbuh dari tanah dan langit kini diarahkan oleh instrumen administrasi atau bahkan “algoritma” yang tidak mempertimbangkan kedalaman pengalaman setempat. Keberadaan desa tetap berlanjut secara fisik, namun kehilangan poros pemaknaan.

Situasi ini memunculkan gejala disorientasi ontologis. Kalender yang tidak berakar, menggeser struktur pengetahuan komunitas yang selama ini diturunkan melalui praktik, ritual, dan kerja bersama. Pengetahuan yang lahir dari pengamatan terhadap alam dan pengalaman turun-temurun digantikan oleh instruksi cetak dan sistem administratif. Perubahan ini menandai momen paling krusial dalam keberadaan desa: momen di mana cara mengetahui dan mengalami waktu tidak lagi tumbuh dari dalam, melainkan ditanam dari luar.

Dalam konteks ini, sangat mungkin fenomena urbanisasi dibaca dengan cara yang berbeda, yakni bahwa urbanisasi mencerminkan pergeseran bukan hanya dalam ruang, tetapi juga dalam makna waktu. Ketika waktu desa tidak lagi memberikan orientasi eksistensial, kehidupan di kota muncul sebagai bentuk lain dari ritme yang sudah dilembagakan, setidaknya memberikan kompensasi dalam bentuk mobilitas, akses, dan peluang. Desa kehilangan kemampuannya untuk merumuskan kehidupan secara mandiri, sehingga tidak mampu lagi mempertahankan makna sebagai ruang bermukim.

Pemulihan kalender desa tidak dapat dipandang sebagai usaha romantik terhadap masa lalu atau suatu resistensi. Langkah ini merupakan proses strategis untuk menyusun ulang epistemologi desa, memperkuat daya hidup komunitas, serta memulihkan kebermukiman sebagai ruang penghayatan dunia yang bermakna. Menyusun kalender dari pengalaman warga, dari tubuh tanah dan kerja harian, adalah bentuk praksis filosofis yang mengembalikan otonomi komunitas atas waktunya sendiri. Dari titik ini, desa dapat mulai menulis ulang narasinya, melalui waktu yang tumbuh, bukan waktu yang ditetapkan. Tentu pemulihan di sini bukan langkah negasi atas sistem yang ada, melainkan upaya melengkapi dan memperkaya sistem yang ada, sehingga bhinneka tunggal ika menjadi kebenaran yang nyata. Pada ujungnya tentu adalah meningkatnya kapasitas desa dalam menyelesaikan masalah-masalah aktual yang dihadapinya. [Desanomia – 29.5.25 – TM]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *