Sumber ilustrasi: Pixabay
18 Juli 2025 10.55 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Desanomia [18.07.2025] Seiring dengan meningkatnya penggunaan kecerdasan buatan (AI) di berbagai sektor, muncul tantangan besar yang kini menghantui dunia teknologi dalam bentuk adanya krisis energi. AI saat ini sangat bergantung pada pusat data (data center) yang membutuhkan daya besar untuk menjalankan server, mendinginkan perangkat keras, serta memproses data dalam jumlah luar biasa. Menurut Badan Energi Internasional (IEA), pusat data dapat menyumbang hingga tiga persen konsumsi listrik global pada tahun 2030, dua kali lipat dari tingkat konsumsi saat ini.
Fenomena ini memunculkan kekhawatiran di kalangan peneliti dan industri teknologi, terutama karena kebutuhan energi tersebut tumbuh lebih cepat daripada ketersediaan energi bersih dan efisien. Konsultan global McKinsey menyebutkan bahwa dunia sedang berada dalam “perlombaan” membangun pusat data yang cukup untuk mengimbangi pertumbuhan AI, namun sekaligus berhadapan dengan potensi kekurangan energi listrik global.
Menghadapi tantangan ini, para ahli teknologi dan akademisi menyarankan dua pendekatan utama. Pendekatan tersebut adalah meningkatkan pasokan energi, atau mengurangi konsumsi energi melalui efisiensi teknologi. Mosharaf Chowdhury, profesor ilmu komputer di Universitas Michigan, menegaskan bahwa solusi yang cerdas dapat ditemukan di semua lapisan, baik perangkat keras maupun perangkat lunak. Laboratoriumnya telah mengembangkan algoritma yang mampu mengukur kebutuhan daya listrik setiap chip AI secara akurat sehingga diharapkan dapat menghemat konsumsi energi hingga 30 persen.
Perkembangan ini sejalan dengan tren efisiensi di pusat data modern. Dua dekade lalu, sistem pendingin dan infrastruktur pendukung menggunakan energi hampir sama banyaknya dengan server itu sendiri. Kini, berkat kemajuan teknologi, operasional non-server hanya menggunakan sekitar 10 persen energi, menurut Gareth Williams dari firma konsultan Arup. Pusat data modern bahkan telah menggunakan sensor berbasis AI yang memungkinkan pengendalian suhu lebih presisi di setiap zona ruang, alih-alih mendinginkan seluruh bangunan secara merata.
Salah satu inovasi yang tengah banyak dilirik adalah teknologi liquid cooling atau pendinginan cair, yang menggantikan sistem pendinginan berbasis udara. Sistem ini menggunakan cairan pendingin yang langsung mengalir melalui perangkat keras, mengurangi kebutuhan energi yang selama ini terserap oleh pendingin udara berkapasitas besar. Amazon Web Services (AWS), misalnya, telah mengembangkan teknologi pendingin cair internal untuk GPU Nvidia yang mereka gunakan, tanpa harus membangun ulang pusat data yang ada.
Meski demikian, masalah skalabilitas tetap menjadi tantangan. Dave Brown, Wakil Presiden Komputasi dan Pembelajaran Mesin di AWS mengatakan bahwa kapasitas pendingin cair untuk mendukung skala yang dituju tidak akan cukup.
Di sisi lain, efisiensi perangkat keras juga terus meningkat. Chip generasi baru cenderung lebih hemat energi, dan penelitian oleh Yi Ding dari Universitas Purdue menunjukkan bahwa chip-chip ini dapat beroperasi lebih lama tanpa kehilangan performa. Akan tetapi tantangan berikutnya muncul dari sisi bisnis, yakni perusahaan semikonduktor enggan mendorong pelanggan mempertahankan chip lama karena akan berdampak pada pendapatan mereka.
Meskipun berbagai inovasi dalam pendinginan dan efisiensi chip mampu memperlambat laju pertumbuhan konsumsi energi, tren secara keseluruhan tetap meningkat. Yi Ding mengatakan bahwa konsumsi energi akan terus naik namun menambahkan bahwa mungkin tidak secepat sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa solusi teknologi perlu dibarengi dengan transformasi energi yang lebih besar dan sistemik.
Di tengah perlombaan global menuju supremasi AI, dimensi geopolitik pun ikut berperan. Tiongkok, melalui startup seperti DeepSeek, menunjukkan bahwa efisiensi algoritma dapat menjadi keunggulan strategis. Dengan menggunakan chip yang lebih lemah dan melewatkan proses pelatihan intensif energi, mereka berhasil menciptakan model AI yang kompetitif secara global, dengan konsumsi daya yang lebih rendah.
Kekhawatiran muncul dari potensi keunggulan Tiongkok dalam hal akses terhadap energi murah, termasuk dari sumber terbarukan dan nuklir. Di sisi lain, Amerika Serikat mulai melihat energi sebagai bagian penting dari strategi nasionalnya untuk mempertahankan dominasi di bidang AI.
Dalam menghadapi krisis energi ini, dunia teknologi dituntut untuk tidak hanya menciptakan AI yang cerdas, tapi juga berkelanjutan. Tanpa pendekatan yang menyeluruh, kemajuan AI bisa berubah menjadi beban berat bagi planet ini.
Diolah dari artikel:
“AI Is Heading For an Energy Crisis That Has Tech Giants Scrambling” oleh Thomas Urbain (AFP).
Link: https://www.sciencealert.com/ai-is-heading-for-an-energy-crisis-that-has-tech-giants-scrambling