Ketahanan Termal Tubuh Manusia di Tengah Perubahan Iklim (Bagian 2)

Sumber ilustrasi: Freepik

3 Oktober 2025 08.30 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Desanomia [03.10.2025] Kota Jacobabad di Pakistan tercatat telah melampaui suhu basah 95°F setidaknya sebanyak empat kali. Kota-kota lain seperti La Paz (Meksiko), Port Hedland (Australia), dan Abu Dhabi (UEA) juga pernah mencatat suhu basah di atas 90°F (32°C). Dengan pemanasan global yang terus berlangsung, frekuensi kejadian serupa diperkirakan akan meningkat di wilayah-wilayah seperti Meksiko barat laut, India utara, Asia Tenggara, dan Afrika Barat dalam 30 hingga 50 tahun mendatang.

Raymond mengungkapkan bahwa bahkan jika seluruh emisi gas rumah kaca dihentikan saat ini, pemanasan yang telah terkunci secara sistemik akan tetap menyebabkan suhu bumi meningkat dalam beberapa dekade mendatang. Artinya, wilayah-wilayah tersebut kemungkinan besar akan terus menghadapi suhu ekstrem secara berulang.

Lebih jauh lagi, sejumlah peneliti berpendapat bahwa batas suhu basah 95°F sebenarnya masih terlalu tinggi jika mempertimbangkan variasi kondisi manusia. Pope Moseley, peneliti dari Arizona State University, mengingatkan bahwa batas tersebut didasarkan pada kondisi tubuh manusia ideal dalam skenario terbaik. Kenyataannya, banyak orang memiliki keterbatasan fisiologis yang membuat mereka tidak mampu bertahan di suhu yang jauh lebih rendah.

panas memperburuk kondisi medis yang sudah ada sebelumnya seperti tekanan darah tinggi, penyakit jantung, gangguan ginjal, hingga gangguan psikologis berat.

Faktor-faktor seperti usia lanjut, penyakit kronis, penggunaan obat tertentu (seperti antipsikotik), dan kondisi hormonal atau obesitas, semuanya bisa mengurangi kemampuan tubuh untuk mengatur suhu. Dalam kasus seperti ini, seseorang dapat mengalami serangan panas bahkan sebelum suhu basah mencapai 95°F.

Moseley juga mencatat bahwa banyak kematian selama gelombang panas tidak tercatat sebagai kematian langsung akibat panas. Sebaliknya, panas memperburuk kondisi medis yang sudah ada sebelumnya seperti tekanan darah tinggi, penyakit jantung, gangguan ginjal, hingga gangguan psikologis berat. Kondisi ini menyebabkan kematian, tetapi tidak tercatat secara langsung sebagai akibat dari suhu ekstrem.

Karena itu, panas ekstrem sering berperan sebagai “pengganda penyakit”, yaitu faktor yang memperparah berbagai kondisi medis yang sudah ada. Oleh karena itu, dampak panas terhadap kesehatan masyarakat jauh lebih luas daripada yang terlihat di permukaan.

Fenomena suhu basah menjadi ukuran penting dalam menentukan kemampuan tubuh manusia bertahan dalam kondisi panas ekstrem. Meskipun batas teoritis suhu basah yang dapat ditoleransi adalah 95°F (35°C), kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak individu tidak mampu bertahan di suhu lebih rendah akibat kondisi fisik, penyakit, atau lingkungan yang tidak mendukung. Risiko ini diperparah oleh akses terbatas terhadap sistem pendinginan dan kondisi infrastruktur yang tidak merata di berbagai wilayah panas di dunia.

Dengan perubahan iklim yang terus berlangsung, frekuensi kejadian suhu ekstrem diprediksi akan meningkat, memperluas wilayah-wilayah yang terdampak secara signifikan. Penting bagi kebijakan publik dan sistem kesehatan untuk mempertimbangkan kerentanan populasi terhadap panas ekstrem sebagai prioritas dalam perencanaan adaptasi iklim, terutama bagi kelompok rentan yang bisa mengalami krisis kesehatan bahkan sebelum suhu mencapai ambang yang dianggap “mematikan”.

Diolah dari artikel:
“What’s the hottest temperature the human body can endure?” oleh Marilyn Perkins dan Tyler Santora.

Note: This article was made as part of a dedicated effort to bring science closer to everyday life and to inspire curiosity in its readers.

Link: https://www.livescience.com/hottest-temperature-people-can-tolerate.html

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *