Ketika Uang Mengalahkan Barang

sumber ilustrasi: freepik

Oleh: Untoro Hariadi
21 Apr 2025 13.10 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Selama ribuan tahun, manusia membangun sistem ekonomi berdasarkan kebutuhan nyata: makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan keamanan hidup. Barang-barang kebutuhan itu diproduksi, ditukar, dan dikonsumsi dalam siklus yang jelas dan langsung. Uang, ketika ditemukan, berfungsi untuk memudahkan proses tukar-menukar—alat bantu, bukan tujuan.

Namun, dalam beberapa dekade terakhir, posisi uang berubah secara drastis. Ia tak lagi sekadar alat tukar atau penyimpan nilai, melainkan menjadi komoditas utama. Uang diperjualbelikan, dispekulasikan, bahkan “diciptakan” dalam sistem finansial melalui utang, derivatif, dan instrumen digital. Di sinilah kita menyaksikan satu pergeseran besar: ekonomi uang telah mengalahkan ekonomi barang.

Tirani Abstraksi

Di pasar global hari ini, satu klik dapat memindahkan miliaran rupiah dari satu bursa ke bursa lain, dari satu aplikasi ke dompet digital dalam hitungan detik. Nilai-nilai ini bergerak tanpa perlu menyentuh barang apa pun. Bayangkan: selembar roti bisa memakan waktu berjam-jam untuk dibuat, tapi nilai jutaan roti bisa berpindah tangan dalam sekejap mata melalui transaksi saham perusahaan roti.

Inilah yang para pemikir seperti Jean Baudrillard sebut sebagai “hiperrealitas” – kondisi di mana simbol (uang) telah menjadi lebih nyata daripada yang disimbolkan (barang). Kita sudah tidak bicara lagi tentang “berapa banyak roti yang bisa kubeli,” tapi “berapa persen nilai investasiku naik hari ini.” Uang tidak lagi mewakili barang, tapi mewakili dirinya sendiri.

Pertumbuhan ekonomi pun kini sering diukur dari naiknya indeks saham, bukan dari ketersediaan pangan atau kebutuhan dasar masyarakat. Investor dan pemilik modal bisa mendapatkan imbal hasil besar hanya dari permainan nilai. Sementara petani yang menanam beras, nelayan yang menjaring ikan, dan pengrajin yang membuat pakaian, justru terjebak dalam rantai ekonomi yang semakin panjang dan tidak adil.

Nilai Tersembunyi

Aristoteles dulu membedakan antara “oikonomia” (pengelolaan rumah tangga untuk mencukupi kebutuhan) dan “chrematistike” (seni mengakumulasi kekayaan demi kekayaan itu sendiri). Pikiran sederhana Aristoteles ini masih relevan: ketika uang menjadi tujuan, kita lupa apa gunanya uang itu sebenarnya.

Dampaknya nyata dalam kehidupan sehari-hari. Ketika ekonomi terlalu bergantung pada uang, kita menciptakan sistem yang rapuh seperti rumah kartu. Coba tengok krisis 2008: awalnya hanya masalah kredit perumahan di Amerika, tapi berakhir dengan jutaan orang kehilangan pekerjaan di seluruh dunia. Kenapa? Karena kita terlalu sibuk memperjualbelikan “janji” dalam bentuk sekuritas dan derivatif, sampai lupa bahwa di ujung rantai ada rumah nyata dan keluarga yang tinggal di dalamnya.

Dominasi ekonomi uang juga menciptakan ketimpangan luar biasa. Mereka yang memiliki akses terhadap informasi, teknologi, dan modal dapat bermain di pasar uang dan memperkaya diri dengan cepat. Bayangkan: seorang trader bisa mendapatkan bonus setahun yang lebih besar dari penghasilan seumur hidup seorang petani. Padahal, siapa yang memberi kita makanan sehari-hari?

Dalam sistem seperti ini, kita dipaksa untuk terus “menghasilkan uang” tanpa pernah benar-benar bertanya: uang itu untuk apa? Filsuf Martin Heidegger mengajarkan tentang “keterlemparannya” manusia modern – kondisi di mana kita terjebak dalam rutinitas dan pola pikir tertentu tanpa mempertanyakan dasarnya. Bukankah kita seperti itu dengan uang sekarang?

Kembali Berefleksi

Saat pandemi, banyak dari kita mendadak tersadar: uang di bank tidak bisa dimakan. Saat toko-toko tutup dan pasokan terbatas, nilai sesungguhnya ada pada barang yang memenuhi kebutuhan dasar. Filosof Epicurus pernah mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati terletak pada pemenuhan kebutuhan dasar dan hubungan sosial yang bermakna, bukan pada kemewahan dan status. Pandemi seolah memaksa kita kembali ke filosofi Epicurus ini.

Karl Polanyi, seorang pemikir ekonomi, pernah mengingatkan bahwa pasar yang tidak tertanam dalam struktur sosial dan nilai-nilai komunitas akan menghancurkan fondasi kehidupan bersama. Dia menyebutnya “disembedded economy” – ekonomi yang terlepas dari masyarakat. Lihat saja bagaimana desa-desa dikorbankan demi pembangunan mal dan apartemen, atau bagaimana lahan pertanian berubah menjadi perumahan elite. Kita memilih uang di atas ketahanan pangan.

Maka, sudah saatnya kita bertanya ulang dengan bahasa sederhana: apakah kita mau terus hidup dalam ekonomi yang menjadikan uang sebagai raja, atau kita ingin ekonomi yang benar-benar memenuhi kebutuhan hidup kita?

Penutup

Keterpisahan ekonomi uang dari ekonomi barang bukanlah takdir yang tidak bisa diubah. Ini adalah hasil dari pilihan-pilihan kita sebagai masyarakat. Seperti kata filsuf Hannah Arendt, kebesaran manusia terletak pada kemampuannya untuk memulai sesuatu yang baru, untuk tidak sekedar mengikuti arus.

Saat ini, banyak gerakan alternatif yang mencoba mengembalikan ekonomi pada fungsi dasarnya: bank waktu yang menghargai waktu sama dengan uang, ekonomi berbagi yang mengurangi konsumsi berlebihan, atau koperasi yang memberikan kuasa ekonomi kembali ke tangan komunitas. Semua ini adalah cara-cara praktis untuk melawan “tirani uang” dalam kehidupan kita.

Tantangan kita bukanlah menolak uang secara total—itu mustahil dan tidak bijak—melainkan menempatkannya kembali sebagai alat, bukan tuan. Filsuf Yunani kuno Epictetus mengajarkan kita untuk membedakan antara hal yang bisa kita kendalikan dan yang tidak. Uang seharusnya menjadi sesuatu yang kita kendalikan, bukan sebaliknya.

Jadi, mulailah dari hal kecil: tanyakan pada diri sendiri setiap kali berbelanja, “Apakah aku benar-benar membutuhkan ini, atau hanya ingin merasakan kepuasan sesaat dari menghabiskan uang?” Ketika kita semua mulai berpikir seperti ini, perlahan tapi pasti, kita bisa mengembalikan uang ke tempat yang seharusnya: sebagai pelayan kebutuhan manusia, bukan penguasanya.

Dr. Untoro Hariadi
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Janabadra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *