sumber ilustrasi: unsplash
13 Apr 2025 10.45 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Jika koperasi merupakan bahan kajian publik, maka besar kemungkinan akan muncul berbagai pemikiran, baik sebagaimana yang termuat dalam teks hukum, atau mungkin yang didasarkan pada pengalaman langsung. Soal ini sangat perlu diangkat menjadi diskursus publik, tentu agar tidak terjadi pemusatan pemikiran, atau eksklusi atas pemikiran yang dipandang tidak mencerminkan pemikiran arus utama. Untuk itulah, ruang kesempatan bagi berkembangnya pemikiran tentang koperasi perlu dibuka seluas-luasnya.
Koperasi
Dalam konteks Indonesia, tentu yang dimaksud adalah dalam kerangka pemikiran kenegaraan, istilah koperasi kali pertama muncul pada penjelasan pasal 33 UUD’45. Pada bagian itu, dikatakan:
Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi, ekonomi produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.
Pasal 33 UUD’45 (sebelum amandemen) berbunyi:
- Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
- Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
- Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Apa makna dari penjelasan tersebut? Penjelasan ini memuat substansi yang memperdalam makna pasal 33 UUD’45, dan sangat penting sebagai fondasi filosofis dan normatif bagi koperasi sebagai bentuk usaha yang paling selaras dengan cita-cita ekonomi Indonesia. Dalam penjelasan itu ditegaskan bahwa “kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang”, dan karena itu, “bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.” Pernyataan ini menjadikan koperasi bukan sekadar bentuk kelembagaan yang diizinkan, tetapi sebagai bentuk yang dikehendaki oleh konstitusi. Artinya, koperasi merupakan struktur nilai yang diwujudkan dalam organisasi konkret, yang menjadi lokomotif dalam mewujudkan perekonomian nasional yang adil, emansipatif dan berkelanjutan. Jika kemakmuran Masyarakat merupakan ide dasarnya, maka koperasi adalah tubuhnya.
Dalam UU No.25 tahun 1992, Koperasi didefinisikan sebagai: badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Adapun prinsip koperasi disebutkan: a. keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka; b. pengelolaan dilakukan secara demokratis; c. pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota; d. pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal; e. kemandirian. Sangat jelas bahwa koperasi merupakan: (i) Kumpulan orang, dan bukan kumpulan uang; (ii) dibentuk secara sukarela, bukan instruksi dari luar dirinya; (iii) merupakan gerakan ekonomi rakyat, bukan proyek politik.
Ketika UUD’45 diamandemen, perkataan koperasi hilang dari konstitusi. UU No. 25 tahun 1992, digantikan dengan UU No. 17 tahun 2012. Pada bagian penjelasan umum UU No. 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian, dikatakan: “Dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Ketentuan tersebut sesuai dengan prinsip Koperasi, karena itu Koperasi mendapat misi untuk berperan nyata dalam menyusun perekonomian yang berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi yang mengutamakan kemakmuran masyarakat bukan kemakmuran orang-seorang.” Hal ini dapat ditafsirkan bahwa kendati perkataan koperasi telah tidak ada dalam konstitusi, namun jejaknya dan spiritnya tetap ada. UU No. 17 tahun 2012, membawa pengertian baru tentang koperasi:
Koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi (pasal 1 ayat 1).
Sementara, prinsip koperasi yang dimaksud adalah:
Koperasi melaksanakan Prinsip Koperasi yang meliputi: a. keanggotaan Koperasi bersifat sukarela dan terbuka; b. pengawasan oleh Anggota diselenggarakan secara demokratis; c. Anggota berpartisipasi aktif dalam kegiatan ekonomi Koperasi; d. Koperasi merupakan badan usaha swadaya yang otonom, dan independen; e. Koperasi menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi Anggota, Pengawas, Pengurus, dan karyawannya, serta memberikan informasi kepada masyarakat tentang jati diri, kegiatan, dan kemanfaatan Koperasi; f. Koperasi melayani anggotanya secara prima dan memperkuat Gerakan Koperasi, dengan bekerja sama melalui jaringan kegiatan pada tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional; dan g. Koperasi bekerja untuk pembangunan berkelanjutan bagi lingkungan dan masyarakatnya melalui kebijakan yang disepakati oleh Anggota. (pasal 6 ayat 1)
Jika dibandingkan dua definisi di atas, antara definisi pada UU No. 25 Tahun 1992 dan definisi UU No. 17 Tahun 2012, mengenai pengertian koperasi menunjukkan adanya pergeseran konseptual yang penting, baik dalam hal cara pandang terhadap koperasi maupun struktur nilai yang menjiwainya. Apakah dengan perubahan tersebut keberadaan dan kinerja koperasi akan semakin dekat dengan masyarakat, atau justru menjauhkannya dari semangat sebagai gerakan ekonomi rakyat. Kita bisa meninjau beberapa aspek berikut:
- Frasa “gerakan ekonomi rakyat”. Pada UU No. 25 tahun 1992, secara eksplisit menyebut koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat, yang menempatkan koperasi sebagai kekuatan sosial-politik yang hidup di tengah masyarakat. Pada UU No. 17 tahun 2012, frasa tersebut dihapus sepenuhnya. Sebagian pihak memandang bahwa penghilangan ini melemahkan posisi koperasi sebagai subjek kolektif rakyat, dan menggesernya menjadi entitas netral, administratif, atau teknis. Koperasi tidak lagi diposisikan sebagai bagian dari perjuangan rakyat dalam menata ekonomi secara adil, melainkan cenderung menjadi badan hukum ekonomi biasa.
- Asas Kekeluargaan sebagai Akar Eksistensial. Pada definisi awal, ditegaskan bahwa koperasi berdasar atas asas kekeluargaan, menyiratkan bahwa koperasi adalah bentuk relasi sosial yang berakar pada nilai-nilai hidup bersama (komunitas). Sementara pada definisi yang baru menyebut “nilai dan prinsip koperasi” secara umum, tanpa menyebut asas kekeluargaan secara eksplisit. Peristiwa ini oleh sebagian kalangan dinilai bahwa dengan tidak menyebutkan asas kekeluargaan sebagai fondasi, koperasi dalam pengertian baru tersebut, akan cenderung kehilangan jiwa etisnya. Asas kekeluargaan bukan sekadar nilai tambahan, melainkan identitas filosofis koperasi dalam konteks Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 33 UUD 1945. Hilangnya ekspresi ini mencerminkan pergeseran ideologis dari koperasi sebagai etika hidup bersama menjadi koperasi sebagai instrumen usaha.
Selain ada yang hilang, ada pula yang ditambahkan:
- Satu. Koperasi sebagai badan hukum dengan pemisahan kekayaan. Pada pengertian baru (UU No. 17 tahun 2012), menekankan koperasi sebagai badan hukum dengan pemisahan kekayaan para anggota sebagai modal usaha. Perubahan dipandang oleh sebagian kalangan sebagai telah terjadinya pergeseran koperasi ke arah pendekatan korporatis dan legalistik, yang menekankan struktur formal dan pemisahan entitas ekonomi dari individu anggotanya. Ini dapat memperkuat legitimasi koperasi sebagai subjek hukum di ranah ekonomi formal, tetapi berpotensi menjauhkan koperasi dari kedekatan relasional antara anggota dan organisasi — dari keluarga ke korporasi.
- Dua. Prinsip yang lebih teknis dan ekspansif. Dengan menambahkan prinsip-prinsip seperti: Pendidikan dan pelatihan bagi anggota dan Masyarakat; Kerja sama dalam jaringan nasional hingga internasional; dan Pembangunan berkelanjutan bagi lingkungan dan masyarakat, dipandang oleh sebagian kalangan sebagai langkah memperluas cakupan tanggung jawab koperasi dalam dimensi edukatif, ekologis, dan kolaboratif. Secara positif, ini menunjukkan upaya modernisasi dan internasionalisasi koperasi. Namun, dalam konteks lokal, perlu dicermati apakah prinsip-prinsip tersebut tetap berakar pada kondisi dan nilai-nilai sosial komunitas, atau justru menjadi daftar normatif yang menjauh dari praksis kerakyatan koperasi itu sendiri.
Meskipun “jagad teks” berbeda dengan “jagat nyata”, namun apa yang berlangsung dalam jagat teks, perlu pula dilihat dengan jernih, bahwa suatu pergeseran telah terjadi. Koperasi sebagai gerakan rakyat yang hidup dalam relasi kekeluargaan, berdiri dari bawah, dan berjuang untuk keadilan dan keberlanjutan ekonomi, secara tekstual bergerak menuju koperasi sebagai badan hukum modern, otonom, profesional, dan terhubung dalam sistem ekonomi nasional dan global. Apa yang mungkin dapat ditangkap adalah terjadinya apa yang ingin disebut di sini sebagai abstraksi institusional: semakin terstruktur secara legal dan teknis, tetapi berisiko kehilangan tubuh sosialnya. Ia menjadi semakin bisa dihitung, tapi semakin sulit dirasakan sebagai milik kolektif. Apa yang kita duga tidak diinginkan oleh para perintis adalah tergelincirnya makna koperasi menjadi “perusahaan bersama”, bukan perjuangan bersama. Yang pertama lebih merujuk pada upaya “akumulasi”, yang kedua merujuk pada “emansipasi”. Tentu kita berharap bahwa koperasi dalam praktek tetap setia pada nilai-nilai dasar pembentuknya.
Desa
Ada dua problem mendasar yang memaksa kita untuk membuat refleksi yang mendalam, yakni: (1) masalah sosial-ekonomi, yang ditandai oleh kemiskinan yang merendahkan martabat kemanusiaan dan kesenjangan sosial, yang membuat kohesi sosial sangat sulit untuk dipertahankan dari keretakan; dan (2) kerusakan daya dukung lingkungan, yang tidak saja membawa korban hari ini, namun juga berpotensi merampas hak generasi yang akan datang untuk hidup lebih layak di planet bumi ini. Jika kita menganggap bahwa dua problem tersebut datang dari pikiran-pikiran yang kini telah menjadi mainstream, maka untuk mengatasi dua problem tersebut, tidaklah mungkin jika masih mengandalkan pikiran-pikiran yang ada. Kita membutuhkan pemikiran baru yang melampaui pikiran yang ada. Suatu pemikiran yang tidak datang dari “dunia lain”, melainkan datang dari bumi nyata, yakni dari realitas sosio-ekologi. Agar sampai pada pikiran baru tersebut, suatu kesadaran baru juga dibutuhkan.
Dalam kerangka itulah, kita hendak mengambil inisiatif untuk membawa gagasan koperasi ke desa. Apa yang dimaksud adalah suatu upaya untuk “memberi rumah” dari konsep koperasi. Pemikiran ini, didasarkan pada kesadaran bahwa kita semua berada dalam realitas yang kongrit, yakni realitas sosio-ekologi setempat. Sebagaimana pemikiran memberi demos rumah di desa, yang ingin ditawarkan adalah mentransformasikan subyek yang abstrak menjadi subyek yang kongkrit yang bergulat dalam realitas sosio-ekologi setempat, dan dengan itu, subyek menyadari bahwa karena kenyataannya tersebut, adalah mungkin subyek akan merusak atau menghancurkan ruang hidupnya sendiri. Koperasi, seperti demokrasi (lihat: dari Demos ke Desa, atau Berakar di Desa, Bertumbuh dalam Musyawarah), harus mengalami penubuhan konkret dalam ruang hidup nyata — yaitu desa. Di sini, desa tidak sekadar dipahami sebagai lokasi geografis, tetapi sebagai struktur kehidupan sosial-ekologis yang riil, tempat nilai-nilai kekeluargaan, gotong royong, dan batas ekologis masih memiliki daya hidup. Maka, koperasi yang semula abstrak dalam definisi yuridis atau ideal normatif, menjadi entitas yang hidup ketika diberi “tubuh” di dalam desa — melalui praktik, relasi, dan kebutuhan hidup sehari-hari komunitas.
Sekali lagi, sebagaimana demos dalam demokrasi harus diwujudkan dalam komunitas konkret — dari sekadar rakyat abstrak menjadi warga yang bermukim dalam realitas sosio-ekologi setempat — demikian pula koperasi harus mengalami transformasi dari gagasan kelembagaan menjadi tubuh sosial yang hidup dalam komunitas setempat yang berada dalam ruang ekologi yang spesifik. Di desa, koperasi tidak sekadar menjalankan prinsip formal seperti satu anggota satu suara, tetapi prinsip itu menjadi praktik relasional: warga yang saling mengenal, saling percaya, dan saling berbagi kebutuhan serta sumber daya. Di titik inilah, koperasi bukan sekadar instrumen ekonomi, tetapi menjadi perpanjangan dari struktur sosial-ekologi yang menghidupi dan dihidupi. Ketika koperasi “berumah” di desa, ia tidak hanya hadir sebagai organisasi usaha, tetapi sebagai organ kehidupan: mengelola kebutuhan dengan kesadaran batas, menumbuhkan kebersamaan dalam produksi dan distribusi, serta menjaga keberlangsungan sumber daya untuk generasi berikutnya. Dengan demikian, koperasi tidak lagi sekadar definisi dalam pasal hukum, tetapi menjelma menjadi cara hidup yang berakar — dari konsep abstrak menjadi realitas yang membumi dalam konteks sosio-ekologis setempat. Inilah penjelmaan koperasi sebagai praksis kehidupan yang bernilai, bermakna, dan berkelanjutan.
Pengertian tersebut, dalam batas tertentu akan memunculkan beberapa makna yang lebih mendasar dan akan hidup dalam praksis, antara lain:
- Satu. Koperasi sebagai tubuh sosial ekonomi, bukan sekadar entitas formal. Koperasi yang abstrak adalah koperasi yang menjelma menjadi struktur administratif, lepas dari konteks budaya, relasi sosial, kebutuhan nyata masyarakat yang diwakilinya dan realitas ekologi setempat. Ia hadir dengan perangkat hukum, notaris, dan laporan keuangan — tetapi sering kali tidak berakar pada nilai-nilai hidup kolektif desa. Sebaliknya, koperasi yang berumah di desa adalah koperasi yang hidup dari dalam, bukan dibawa dari luar. Ia lahir dari kebersamaan, gotong-royong, dan kebutuhan bersama. Dalam desa yang sesungguhnya, koperasi bukanlah institusi asing, melainkan perpanjangan dari tubuh sosial yang telah ada: lumbung desa, simpan-pinjam antarwarga, kerja bakti, atau pranata adat, dan berbagai keutamaan lainnya. Maka koperasi bukanlah organisasi yang dibentuk, tetapi hidup bersama yang disadari dan diorganisasi — ia adalah bentuk dari kecukupan yang disepakati bersama.
- Dua. Koperasi harus tumbuh dari logika kecukupan, bukan akumulasi. Koperasi dalam pengertian ini, tidak bisa dijalankan dengan logika perusahaan konvensional: mencari margin, mengefisiensikan tenaga kerja, atau memperluas pasar tanpa batas. Ia harus berlandaskan pada kebijaksanaan cukup — yakni pemenuhan kebutuhan anggota, keberlanjutan usaha, dan keadilan distribusi. Ketika koperasi menjadi terlalu besar, terlalu tersentralisasi, atau terlalu terobsesi dengan pertumbuhan, ia kehilangan jiwanya yang berakar — dan menjadi institusi ekonomi seperti yang lain: abstrak, eksploitatif, dan terlepas dari tubuh komunitas, serta realitas sosio-ekologi setempatnya. Koperasi dalam makna ini lebih merupakan cara merawat kehidupan, agar berkecukupan, berkeadilan dan berkelanjutan.
- Tiga. Desa sebagai “akar” dan praksis hidup bersama. Desa menyediakan kondisi ontologis yang memungkinkan koperasi untuk menjadi bukan hanya alat ekonomi, tapi cara hidup bersama: (a) Relasi sosial yang kuat: Kepercayaan, kedekatan, dan memori kolektif yang memungkinkan praktik ekonomi yang berbasis pada etika timbal balik; (b) Ekonomi lokal yang nyata: Produksi pangan, kerajinan, dan jasa yang terikat pada siklus alam dan kebutuhan harian warga; dan (c) Kearifan ekologis: Prinsip keberlanjutan, kehati-hatian dalam pemanfaatan sumber daya, dan penghormatan terhadap bumi. Dalam konteks ini, koperasi menjadi organ ekonomi dari tubuh sosial desa, bukan tubuh asing yang menempel dan kemudian mengambil alih nadi kehidupan.
- Empat. Koperasi sebagai jalan mewujudkan keadilan sosial-ekologis desa. Koperasi yang hidup di desa memiliki peluang menjadi wahana emansipasi — tidak hanya dari kemiskinan, tetapi juga dari ketergantungan terhadap pasar monopoli, tengkulak, dan sistem moneter yang tak berpihak. Ia adalah wahana rekonstruksi menuju tata yang lebih adil dan berkelanjutan: kecukupan atas pangan, harga, kerja, dan masa depan. Ia bukan hanya tempat menyimpan kelebihan, tetapi tempat merawat nilai bersama. Di sinilah koperasi menjadi jalan praksis bagi kecukupan: ia mengelola sumber daya agar tak diakumulasi yang membahayakan hidup bersama, ia membagikan hasil dengan prinsip adil, dan ia menjaga agar kehidupan bersama tetap layak dan bermartabat.
- Lima. Koperasi dan cukup: dua pilar desa yang cukup, adil dan berkelanjutan. Dalam relasi ini, kita dapat mengatakan: Cukup adalah nilai — prinsip etis yang memberi arah: jangan lebih, jangan kurang, cukup untuk semua. Koperasi adalah bentuk — struktur kelembagaan yang membuat nilai ini menjadi nyata dalam transaksi, produksi, dan konsumsi. Maka koperasi tanpa cukup akan kehilangan arah, dan cukup tanpa koperasi akan kesulitan menjelma menjadi tatanan ekonomi yang bertahan. Keduanya bersatu dalam tubuh desa: satu sebagai semangat, satu sebagai wadah. Keduanya menciptakan desa sebagai ruang peradaban berkelanjutan yang tidak tunduk pada logika pasar monopoli, tetapi mengedepankan hidup yang selaras dan bersama. (bersambung) [Desanomia – 13.4.25 – TM]