sumber ilustrasi: unsplash
Oleh: Pandu Sagara
13 Apr 2025 08.05 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Dalam kehidupan sosial yang kompleks, pengetahuan tidak bisa disederhanakan dengan menempatkannya hanya sebagai soal kebenaran ilmiah atau informasi netral. Para pemikir dunia akademi, tentu memahami masalah ini. Yakni bahwa dalam ruang publik, yang bekerja bukan hanya pikiran jernih, melainkan ragam pikiran dengan pluralitas maksud. Yang menjadi tantangan adalah ketika dalam arena yang rapuh tersebut, bekerja suatu maksud tertentu yang berpotensi merugikan kepentingan publik, dengan cara “membusukkan” pengetahuan.
Dari sudut pandang publik, dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan suatu kekuatan tersendiri. Yang dimaksud di sini tentu bahwa pengetahuan membentuk cara kita memahami dunia, menilai kebijakan, dan menentukan arah tindakan kolektif. Tidak heran jika pengetahuan, dalam batas-batas tertentu diidentikkan dengan kekuasaan. Dan sebagaimana kekuasaan lainnya, pengetahuan pun rentan terhadap penyimpangan.
Dalam kerangka itulah “korupsi epistemik”hendak dipahami. Yang dimaksud adalah suatu bentuk kerusakan (baca: pembusukan) dalam ranah kognitif dan moral. Masalah ini perlu dikaji secara seksama, terutama menghadapi banjir informasi dan ketika di tengah publik berkembang apa yang disebut sebagai krisis kepercayaan.
Bagi bangsa yang sedang membangun, masalah tersebut tentu bukan hal yang baik. Mengapa? Karena semakin besar problem yang dihadapi, semakin beser pula kebutuhan akan “kebersamaan”. Hanya dengan sinergi, suatu bangsa akan mencapai “keberhasilan”. Sinergi adalah manifestasi dari sikap saling percaya, sikap saling respek dan sikap saling bersedia bekerjasama untuk kebaikan publik.
Memang keadaan ideal sulit ditemui di dunia nyata. Dalam kenyataan, kebaikan mudah dieksklusi. Sebaliknya, keburukan punya kecanggihan untuk menyamar atau melakukan operasi wajah, sehingga yang tampak adalah kebaikan. Orang-orang di masa lalu menyebut serigala berbulu domba. Suatu lukisan yang menggambarkan banyaknya kemungkinan di arena publik. Artinya, ruang publik punya kerapuhan tersendiri, yang membuatnya mudah dimanipulasi.
Pada titik inilah kita menaruh perhatian lebih, yakni terhadap kemungkinan bekerjanya yang disebut di atas sebagai korupsi epistemik. Yakni ketika proses pembentukan, penyebaran, atau pengelolaan pengetahuan dimanipulasi sedemikian rupa sehingga menghambat tercapainya pemahaman yang jujur dan menyeluruh. Informasi tidak lagi mengalir sebagai sarana pencarian kebenaran, melainkan sebagai instrumen untuk melanggengkan kepentingan tertentu.
Fakta disembunyikan, data dipilih secara selektif, narasi dikonstruksi untuk mengaburkan realitas, dan suara-suara kritis dikecilkan atau didelegitimasi. Dalam iklim seperti ini, masyarakat tidak hanya disesatkan, tetapi juga dilemahkan secara intelektual —kehilangan kapasitas untuk menilai, menyanggah, dan membayangkan alternatif. Kita khawatir yang terselenggara adalah “manut-isme”.
Dari pengalaman di banyak negara, kita dapat menyodorkan gambaran kongkrit bagaimana kinerja dari korupsi epistemik. Dalam soal ini, para ahli ilmu politik mungkin akan menyebut propaganda dan diinformasi sebagai contohnya. Mereka yang berkepentingan dengan keadaan tertentu, pada umumnya akan membungkus tindakan manipulasi dengan bahasa yang persuasif atau mungkin meminjam otoritas teknokratik.
Singkatnya kendali atas informasi menjadi alat vital untuk mempertahankan dominasi atau bahkan hegemoni. Yang penuh masalah diubah menjadi narasi keberhasilan – biasanya dengan memainkan angka-angka statistik. Di masa kolonial, apa yang dapat disebut sebagai tindakan yang merendahkan martabat kemanusiaan, dengan mudah diubah dengan narasi menjaga ketertiban umum.
Masalahnya tentu bukan terletak pada berapa banyak yang telah diambil. Masalah mendasar yang menjadi concern publik adalah ketika “kebenaran menjadi relatif” di hadapan otoritas. Yang akan membusuk bukan hanya kredibilitas institusi, tetapi juga etos berpikir masyarakat itu sendiri.
Lebih berbahaya lagi, korupsi epistemik sering kali tidak disadari oleh mereka yang terdampak. Masyarakat yang telah lama terpapar narasi yang dibelokkan akan mulai menganggapnya sebagai hal wajar. Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan budaya “manut-isme”, di mana ketidaksetujuan dianggap ancaman dan pertanyaan dipandang sebagai ketidakpatuhan.
Yang benar-benar mencemaskan adalah ketika pertanyaan dan kemampuan publik untuk bertanya melemah atau bahkan hilang. Dalam situasi yang demikian itu, dunia akademi tentu akan menjadi korban utamanya. Karena tanpa tradisi bertanya, dunia akademi akan menjadi rumah tanpa penghuni. Megah tapi tidak ada kehidupan di dalamnya.
Oleh karena itu, mencegah hadirnya korupsi epistemik bukan hanya tugas akademisi atau jurnalis, tetapi juga tanggung jawab etis seluruh warga yang ingin mempertahankan martabat berpikir. Dalam dunia yang semakin dikendalikan oleh arus data dan opini, menjaga integritas epistemik adalah bagian dari tanggung jawab moral kita untuk menciptakan masyarakat yang adil, sadar, dan berdaya.