Sumber ilustrasi: Pixabay
23 Oktober 2025 09.25 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Melalui pengamatan satelit, para ilmuwan dapat mendeteksi perubahan kecil dalam ketinggian tanah dari waktu ke waktu. Data global menunjukkan bahwa kawasan Asia Tenggara menjadi wilayah dengan laju penurunan tanah tercepat di dunia, seiring pertumbuhan pesat kota-kotanya. Meskipun laju penurunan di beberapa kota telah berkurang dalam sepuluh tahun terakhir, sebagian daerah masih terus menurun, meningkatkan risiko banjir yang berulang.
Dalam menghadapi tantangan ini, beberapa negara mulai mencari solusi inovatif. China, misalnya, mengembangkan konsep “kota spons” (sponge city) yang bertujuan mengatur keseimbangan antara kekeringan dan banjir. Melalui atap hijau, trotoar berpori, dan sistem penyimpanan air hujan, kota dapat menyerap air berlebih saat hujan dan menyimpannya untuk digunakan kembali pada musim kering. Pendekatan ini tidak hanya membantu mengurangi banjir, tetapi juga memungkinkan pengisian ulang air tanah secara alami.
Sementara itu, di Amerika Serikat, program SWIFT (Sustainable Water Initiative for Tomorrow) di negara bagian Virginia berfokus pada pengembalian air limbah yang telah dimurnikan ke dalam akuifer. Program ini terbukti mampu meningkatkan tekanan air tanah dan mengurangi intrusi air asin dari laut. Dengan cara ini, wilayah yang sebelumnya mengalami penurunan tanah kini menunjukkan peningkatan kecil namun terukur pada permukaan tanahnya.
Di Eropa, Belanda menghadapi tantangan serupa di wilayah gambutnya. Sejak berabad-abad lalu, lahan gambut dikeringkan untuk pertanian dan peternakan, yang akhirnya menyebabkan penurunan tanah hingga empat meter di bawah permukaan laut. Para peneliti kini mengembangkan pendekatan baru bernama paludiculture, yakni pertanian di lahan basah dengan menanam tanaman seperti alang-alang, buluh, padi, dan cranberry. Pendekatan ini memungkinkan tanah tetap lembap dan mendorong pembentukan kembali lapisan gambut, sehingga permukaan tanah perlahan naik.
Namun demikian, pertanian basah juga memiliki konsekuensi lingkungan, seperti peningkatan emisi gas metana yang berpotensi memperburuk perubahan iklim. Karena itu, para ilmuwan tengah mencari cara untuk mengurangi emisi tersebut sambil tetap menjaga manfaat ekologisnya. Pendekatan berbasis alam seperti restorasi lahan basah dan pengendapan alami sedimen juga sedang dikembangkan sebagai solusi jangka panjang untuk memperlambat penurunan tanah dan mengembalikan keseimbangan ekosistem.
Fenomena penurunan tanah merupakan hasil dari kombinasi faktor alam dan aktivitas manusia, terutama eksploitasi air tanah yang berlebihan. Jika dibiarkan, masalah ini akan memperparah risiko banjir dan mengancam keberlanjutan kehidupan di wilayah perkotaan, khususnya di kota-kota pesisir seperti Jakarta, Taipei, dan Amsterdam. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa dengan pengelolaan air yang bijak dan kebijakan pembangunan yang memperhatikan keseimbangan lingkungan, laju penurunan tanah dapat dikendalikan.
Upaya inovatif seperti kota spons di China, pengisian ulang akuifer di Amerika Serikat, serta pertanian lahan basah di Eropa membuktikan bahwa manusia mampu menyesuaikan diri dengan tantangan geologis ini. Dengan kerja sama lintas disiplin dan kebijakan berbasis sains, kota-kota di dunia berpeluang untuk kembali “bangkit”, tidak hanya secara fisik, tetapi juga dalam menciptakan masa depan yang lebih tangguh dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.
Diolah dari artikel:
“Cities across the world are sinking. Here’s how they might rebound” oleh Alison Pearce Stevens.
Note: This article was made as part of a dedicated effort to bring science closer to everyday life and to inspire curiosity in its readers.
Link: https://www.snexplores.org/article/cities-sinking-floods-groundwater