Sumber ilustrasi: Freepik
Oleh: Pandu Sagara
1 September 2025 18.35 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Dalam situasi ketika pembiayaan pembangunan mengalami tekanan, berbagai pandangan muncul untuk menjelaskan dan merespons persoalan tersebut. Dari sudut pandang awam, permasalahan dapat dilihat secara sederhana: ketika pengeluaran negara melebihi pemasukan, maka ketidakseimbangan fiskal menjadi tantangan nyata. Meskipun sebagian pihak berpendapat bahwa defisit fiskal bukan masalah selama digunakan untuk mendorong ekspansi ekonomi, namun persoalan muncul ketika ketidakseimbangan tersebut berasal dari pemborosan, kebocoran, atau ketidaktepatan dalam alokasi anggaran. Dalam keadaan demikian, bukan ekspansi yang terjadi, melainkan stagnasi dan ketidakpercayaan publik terhadap pengelolaan anggaran negara.
Untuk meningkatkan pendapatan, terdapat dua instrumen yang lazim digunakan, yaitu pinjaman dan pajak. Utang sering dianggap sebagai sesuatu yang biasa dalam kebijakan fiskal modern. Namun, tetap perlu ditegaskan bahwa yang menjadi penentu bukanlah keberadaan utang itu sendiri, melainkan bagaimana penggunaannya. Apakah pinjaman tersebut digunakan untuk membangun fondasi ekonomi yang produktif, atau justru habis untuk menambal kekurangan tanpa dampak jangka panjang yang berarti. Hal yang sama berlaku bagi kebijakan perpajakan. Dalam konteks ekonomi yang sedang lesu, rakyat pada umumnya menghadapi tekanan yang tidak ringan. Oleh karena itu, setiap rencana peningkatan pajak perlu dipertimbangkan dengan sangat hati-hati, karena bisa menimbulkan beban tambahan yang tidak proporsional bagi masyarakat luas. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan munculnya penolakan dari warga ketika kebijakan dianggap tidak adil atau mengabaikan kondisi nyata di lapangan.
Dalam ruang fiskal yang semakin sempit, tata kelola pemerintahan menjadi sangat krusial. Transparansi dalam penyusunan dan pelaksanaan anggaran bukan sekadar tuntutan normatif, tetapi kebutuhan strategis untuk membangun kepercayaan publik. Terbukanya ruang partisipasi warga dalam proses ekonomi dapat menjadi alternatif yang konstruktif. Ketika warga dilibatkan dalam perencanaan dan pengawasan pembangunan, maka keberpihakan pada kepentingan publik dapat lebih terjamin. Inisiatif-inisiatif ekonomi rakyat, koperasi, dan usaha kecil menengah harus diberikan ruang, tidak hanya sebagai penerima manfaat, tetapi juga sebagai aktor yang turut menentukan arah pembangunan.
Tindakan represif terhadap suara-suara kritis hanya akan memperkeruh keadaan dan menjauhkan negara dari nilai-nilai demokrasi yang seharusnya menjadi landasan kebijakan publik. Dalam menghadapi kesulitan pembiayaan, solusi bukan terletak pada pembungkaman aspirasi, melainkan pada keterbukaan, dialog, dan kesediaan untuk berbenah. Negara tidak akan kehilangan wibawa dengan mendengar rakyat, justru akan memperkuat legitimasinya ketika kebijakan disusun dengan memperhitungkan suara dan kepentingan masyarakat. Maka, menghadapi tantangan fiskal bukan sekadar soal teknis anggaran, melainkan sekaligus ujian bagi etika pemerintahan dalam menjaga martabat kehidupan bersama.