Sumber ilustrasi: unsplash
Oleh: Pinurba Parama Pratiyudha
5 Mei 2025 09.10 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Prolog: Sebuah Paradoks yang Reflektif
Tulisan ini adalah tanggapan saya secara singkat membaca argumen ‘bermukim’ dalam artikel Desanomia pada Dialog 1. Sebagai seorang pembelajar akademis yang hampir dalam kurun 10 tahun mempelajari diskusi soal isu-isu urbanisme, pembacaan atas artikel Dialog 1 memberikan suatu refleksi yang menggelitik dan membawa pikiran ini memasuki alam wondering. Bermukim bilamana diterjemahkan dalam makna lain khususnya dalam konteks alam pikir kajian urban dimaknai sebagai residing atau dwelling, dua kata yang diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai makna bermukim secara fisik. Para peneliti perkotaan melihat kata-kata ini sebagai interpretasi atas bagaimana masyarakat memilih untuk bertempat tinggal, hidup dalam ruang tinggal mereka, dan membangun suatu sistem sosial bertahan hidup.
Namun dalam kajian urban sendiri, pemaknaan bermukim memunculkan suatu pertanyaan besar dalam membangun suatu identifikasi akademis ketika realita bermukim kota sangatlah berbeda dari apa yang dibayangkan. Laju perputaran manusia dan modal di tengah kota menjadikan bermukim tidak bisa dilihat secara statis bahkan seutuhnya menjadi proses yang dinamis baik secara material maupun imaterial. Eksistensi manusia dan kelompok manusia dalam suatu kawasan perkotaan cenderung berputar secara cepat dan berganti-ganti dalam kurun waktu yang tidak pendek. Lebih dari itu, kota telah hadir dalam realitas yang menembus batas bermukim yang diam dan membangun keterkaitan dengan sistem masyarakat global yang kompleks. Dalam tradisi kajian perkotaan realitas ini akhir-akhir ini sering dimaknai sebagai worlding cities.
Kehadiran penulis sebagai bagian dari Desanomia membawa suatu paradoks yang eksploratif dengan pra-eksistensi sebagai manusia yang belajar kajian perkotaan. Wacana ‘bermukim’ sebagai salah satu karakter khas bagaimana Desa menjadi salah satu produsen pengetahuan membawa pada diskusi batin atas pemahaman makna ‘bermukim’ yang dibangun dalam studi-studi urban. Tulisan ini ingin menghadirkan suatu diskusi bagaimana penulis memahami secara kosong di awal terkait tulisan pada artikel Dialog 1 dan kemudian membangun suatu perdebatan dari sudut tradisi kajian urban terkait pemaknaan ‘bermukim’. Alih-alih mengarahkan suatu batasan tegas antara desa dan kota, tulisan ini berusaha membawa suatu narasi keterkaitan antara desa dan kota yang seimbang dengan adanya integrasi di antara keduanya.
Memahami Tradisi Pengetahuan Desa dalam Bermukim
Dalam narasi yang muncul pada artikel Desanomia dengan judul Dialog 1, kita disajikan suatu diskusi dua cara pandang memaknai tradisi bermukim baik dan sebuah upaya menggapai respons atas dua cara pandang tersebut. Cara pandang pertama lahir dari X yang melihat adanya kondisi-kondisi partikular yang perlu dilihat dalam produksi pengetahuan, dan yang kedua adalah dari Y yang memahami sebuah universalitas dari membahasakan gejala-gejala kehidupan yang tersebar. Di tengah-tengah diskusi ini muncul karakter Z yang berusaha memahami kedua sudut pandang ini sebagai entitas yang saling setara.
Menengahkan pada fenomena-fenomena yang muncul secara partikular di desa, pemikiran X mengutarakan posisi pengetahuan yang harus semakin dekat dengan realitas yang diangkat. Lahirlah kemudian argumen akan ‘bermukim’, yang tidak hanya lekat dengan fenomena manusia yang menetap pada konteks batasan geografis maupun sosial, namun lebih dari itu mendorong suatu promosi produksi pengetahuan yang dekat dan lahir dari realitas itu sendiri. Pada sudut lain muncul klaim dari Y yang melihat konteks ‘bermukim’ pada tradisi pengetahuan menyimpan kendala akan bukti kebenaran yang dapat tidak terhindar dari kelekatan pada suatu identitas tertentu.
Sesederhana pemahaman penulis memahami eksistensi dua pemikiran X dan Y ini ialah kehadiran perdebatan ontologis dari mana pengetahuan berasal. Argumen akan ‘bermukim’-nya suatu pengetahuan dimaknai sebagai gugatan atas kemapanan ilmu pengetahuan modern yang berusaha menarik garis universalitas dalam tajuk objektif bebas nilai. Sudah barang tentu argumen ini setali dua uang dengan gugatan tradisi paska-positivistik yang menilai pendekatan ilmu pengetahuan bebas nilai khas positivistik memberikan suatu batasan dari eksistensi suatu fenomena dalam perdebatan akademis. Akan tetapi kritik ini tidak lepas pula dari kritik terkait bagaimana ilmu pengetahuan tidak bisa dilihat secara partikular bermukim pada satu konteks tertentu. Mengangkat produksi pengetahuan yang terlalu spesifik sudah barang tentu akan membawa unsur subjektivitas yang cukup besar, dan pada tradisi pengetahuan yang mapan hal tersebut rentan akan bias dan kendala akan kesahihan metode.
Ilmu pengetahuan yang ‘bermukim’ membawa pada kedekatan manusia produsen pengetahuan yang semakin lekat dan reflektif dengan realitas. Hal ini yang kemudian dibawa oleh perspektif Z yang melihat eksistensi pengetahuan yang mampu lekat dan lahir dari realitas perlu dipertimbangkan sebagai kontrol atas proses epistemologi yang jujur. Lebih jauh lagi (bilamana boleh mengaitkan dengan tradisi masyarakat desa), pada dasarnya manusia sudah meletakan proses refleksi pengetahuan sedari awal peradaban yang muncul dari komunitas desa sebagai komunitas masyarakat mula-mula.
Tradisi desa yang lambat laun hanya diposisikan sebagai objek dari suatu tulisan jurnal ilmiah menyimpan suatu pengetahuan yang historis, serta senyata-nyatanya memiliki posisi yang harus setara dengan produksi pengetahuan di ruang kampus. Realitas akademis akhir-akhir ini sering menjadikan desa hanya sebagai ruang penelitian dan proyek riset semata namun sangat minim menengahkan narasi-narasi lokalitas sebagai bagian dari kontribusi penelitian itu sendiri. Gamblangnya desa hanya menjadi lokasi riset dan riset itu akhirnya hanya menjadi kredit bagi peneliti semata.
Akan tetapi memukimkan pengetahuan dari desa di tengah diskusi akademisi yang setara tidaklah semudah itu. Kemapanan berpikir yang sudah hidup dalam tradisi pengetahuan barat yang penuh dengan batasan-batasan metodologi dan universalitas epistemis menjadikan penengahan pengetahuan yang ‘bermukim’ secara partikular terkesan kurang sahih dan rawan terhadap subjektivikasi klaim-klaim pengetahuan itu sendiri. Hal inilah yang pada akhirnya bagi perspektif Z memosisikan pengetahuan yang bermukim di desa perlu sebagai pengakuan akan realitas pengetahuan yang hidup; namun satu sisi perlu mempertimbangkan eksistensi epistemis yang juga sudah hidup dalam ruang akademis yang mapan.
Bermukim dan Worlding Cities
Melihat pada sisi tradisi pengetahuan yang lain – yaitu tradisi kajian perkotaan, pemaknaan terkait memukimkan suatu pengetahuan juga sudah menjadi pekerjaan rumah. Dalam kajian studi perkotaan upaya membangun pengetahuan yang ‘bermukim’ sering dimasukkan dalam ruang kajian studi urban postcolonial atau urban paska-kolonial. Kelahiran kajian ini berangkat dari eksistensi pengetahuan studi urban yang didominasi oleh perspektif Anglo-Saxon khususnya Amerika. Perspektif lawas ini memosisikan kota hanya sebagai sebatas ruang mati yang bebas untuk dibangun dan diubah. Hal ini sering kali menjadikan posisi masyarakat kota sebagai variabel kontrol yang tidak memiliki kebebasan dalam membentuk ruang kota. Di sinilah kemudian berkembang perspektif paska-kolonial sebagai pisau kritis atas produksi pengetahuan kota yang timpang.
Mengapa disebut urban paska-kolonial tidak lepas dari kehadiran kritik atas pembangunan-pembangunan perkotaan di Global South yang rata-rata adalah kota bekas kolonial. Kota-kota ini dibangun dalam citra kolonial atas negara-negara jajahan mereka dan kemudian terus dilestarikan paska gelombang kemerdekaan negara kolonial melalui kolonialisasi pengetahuan perencanaan urban. Kata paska sendiri dalam paska-kolonial kemudian menjadi upaya untuk melakukan dekonstruksi pengetahuan yang mapan dan kemudian berusaha menangkap gejala-gejala partikular yang muncul dalam masyarakat perkotaan. Tujuan besar dari perspektif urban paska-kolonial ialah menengahkan fenomena-fenomena partikular tersebut sebagai bagian tersendiri dalam tradisi epistemologi kajian urban.
Namun dalam tradisi kajian urban mengangkat pengetahuan yang bermukim menemui tiga tantangan. Tantangan pertama ialah besarnya variabel-variabel yang terbentuk dalam realitas kehidupan masyarakat perkotaan. Beberapa peneliti luar dan dalam negeri yang meneliti terkait kehidupan masyarakat di bantaran Kali Ciliwung banyak sekali menemukan suatu pertalian atas satu hal dengan hal lainnya. Pengetahuan masyarakat dalam menangani bencana banjir semisal, tidak hanya kemudian melihat adanya realitas informal masyarakat miskin kota dalam bertahan hidup namun juga bersinggungan akan kontestasi politik air yang hidup di Jakarta yang saling tumpang tindih. Contoh ini menggambarkan bagaimana keluasan variabel – yang bahkan kadang melintasi batasan sosial dan geografis – menjadikan pengetahuan yang muncul di kawasan urban tidaklah berdiri sendiri. Pengetahuan ini realitasnya saling bertaut dengan berbagai lapisan pengetahuan yang luas pula.
Tantangan kedua adalah realitas kota sebagai suatu influx. Makna influx diartikan sebagai titik pertemuan yang tidak hanya pertemuan manusia namun juga pertemuan antara pengetahuan, modal kapital, hingga cara berkehidupan yang kemudian saling berinteraksi satu sama lain. Wujud influx ini tidak hanya berkaitan dengan fenomena perpindahan penduduk dari desa ke kota semata, namun berkaitan pula dengan posisi kota sebagai hub dari konektivitas perkembangan dunia global. Hal ini kemudian menjadikan upaya mengangkat pengetahuan lokal di kawasan perkotaan tidak bisa terlepas dari pra-teks dari manusia yang datang sekaligus pengaruh fenomena global yang terjadi. Konteks bermukim nya pengetahuan di perkotaan kemudian menjadi pertanyaan ketika akar realitas pengetahuan tersebut sangat beragam dan bisa jadi jauh dari realitas perkotaan itu sendiri.
Bentuk tantangan yang terakhir berkaitan dengan realitas bermukim masyarakat kota yang tidak menetap dan berpindah-pindah. Hal ini jamak ditemukan di kelompok masyarakat miskin perkotaan yang cenderung hidup dalam hunian informal yang tidak permanen. Faktor akses atas hunian layak dan perubahan status sosial mereka yang cepat menjadikan masyarakat perkotaan memiliki kecenderungan untuk tidak menetap. Realitas ini semakin menjadikan tantangan ketika proses produksi pengetahuan yang muncul justru mencapai anti-klimaks ketika keberadaan manusia yang ada di dalamnya berubah dan berganti dengan manusia baru.
Ketiga tantangan tersebut kemudian direfleksikan oleh beberapa ahli urban dalam melahirkan istilah worlding cities. Bilamana diterjemahkan dalam bahasa Indonesia makna worlding cities akan tereduksi menjadi ‘kota yang mendunia’; sementara konteks worlding cities yang dimaksud ialah kehadiran kota yang hidup dalam identitas dan relasi yang lebih dari sekedar kelokalan di dalam kota namun bersangkut pada relasi dengan kota-kota ataupun desa-desa lain. Pemaknaan ini kemudian membawa pada hadirnya pengetahuan-pengetahuan lokal kawasan urban yang memiliki keterjaringan dengan kawasan-kawasan di belahan lain.
Worlding cities memberi suatu pemahaman yang luas atas produksi pengetahuan di kawasan perkotaan, pun sekaligus menjadikan pemaknaan atas bermukim menjadi tidak bisa dilihat pada lingkup lokalisir yang sederhana. Pengetahuan masyarakat kota atas adaptasi dan berkehidupan pada konteks urban cenderung hidup sebagai suatu sintesis dari pengalaman hidup dan interaksi dengan influx pengetahuan impor yang hadir. Hal ini juga melihat bagaimana pergantian penduduk kota yang sangat cepat dan perputaran kapital yang dinamis sehingga secara material aktivitas produksi pengetahuan yang terjadi di kota sangat cair dan dinamis. Realitas ini sekaligus membawa refleksi menarik untuk melihat konteks ‘bermukim’ dalam masyarakat urban.
Epilog: Menuju pada Jembatan Desa-Kota
Pemaknaan menarik terkait konteks bermukim dalam artikel Desanomia dengan judul Dialog 1 membawa suatu pengalaman epistemis menarik akan perlunya pengetahuan yang mampu lekat dengan realitas. Desa sebagai akar dasar peradaban manusia menyimpan pengetahuan yang telah hidup dan bermukim historis. Hal ini yang kemudian membawa munculnya diskusi ontologis dan epistemologis dalam menengahkan cerita-cerita tersebut sebagai pengetahuan yang duduk setara dengan pengetahuan yang telah mapan. Pada sisi lain usaha memunculkan pengetahuan yang bermukim menjadi salah satu kajian yang ‘hits’ dalam studi urban. Namun berbanding dengan desa, kawasan perkotaan tumbuh dalam peradaban yang seakan seperti benang kusut sehingga membawa tantangan-tantangan tersendiri dalam memukimkan pengetahuan tersebut.
Proses epistemologis antara desa dan kota dalam bermukim – melalui tulisan ini – tidak serta merta membawa pada upaya membangun jembatan pemisah di antara keduanya. Proses memukimkan pengetahuan desa menjadi hal penting dalam melahirkan refleksi pengetahuan yang kontekstual dan memosisikan masyarakat desa sebagai bagian penting di dalam produksi tersebut. Hal yang sudah dimulai oleh kajian perkotaan dalam bahasa urban paska-kolonial perlu dimakna sebagai ruang membangun konektivitas dan pembelajaran di antara keduanya. Kota sudah hidup dalam peradaban yang bercampur aduk dan berkembang dalam cara yang cukup sporadis. Pemaknaan pengetahuan yang bermukim pun pada akhirnya harus cukup kontekstual pula menangkap hal tersebut.
Sehingga diharapkan pula penjelasan atas dua tradisi, yang sering kali diartikulasi dalam pemisahan ruang fisik, mampu membuka ruang jembatan pengetahuan bermukim yang lebih luas. Pengetahuan kota sudah barang tentu tidak bisa lepas dari pengetahuan yang hidup di desa pula; apalagi ketika melihat fenomena urbanisasi dan kehidupan sosial tradisional yang masih hidup di kota (khususnya kota-kota di Indonesia). Dialog pengetahuan lebih lanjut sangat diperlukan untuk mendudukkan kedua pengetahuan ini secara setara dan dapat saling melengkapi satu dengan lainnya.
Pinurba Parama Pratiyudha, S.Sos., M.A.
Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fisipol, UGM